RSS

Arsip Kategori: (FF) Moonlight Melody

Moonlight Melody Chap 13 (End Chap)

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody

Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

Chapter Sebelumnya 

Ketika bulan memantulkan cahaya peraknya, ijinkanlah aku disana untuk melihatmu.

Ketika angin berhembus di malam hari, ijinkanlah aku menyentuhmu.

Ketika hujan turun, maka ijinkanlah aku pergi dengan semua kerinduan itu.

 

~o~

 

Ya, hanya pada malam-lah, ia mengatakan semua kerinduannya. Hanya pada desauan angin malam, ia mencurahkan betapa ia sangat mencintainya. Walaupun air hujan yang deras membasahi dan menyapu semua ingatan tentangnya, namun tidak ada yang bisa menggantikan ia didalam hatinya. Hanya dengan melihat seulas senyum diwajah indahnya itulah yang menjadi kekuatan untuk Lee menjalani kehidupan ini. Kendati sebuah janji telah ia ucapkan, dan ia coba untuk menepatinya, itu hanyalah alasan agar ia bisa memperlihatkan bagaimana perasaan yang sesungguhnya untuk Putri Kim. Tidak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan hatinya dari Putri Kim. Perasaannya akan tetap sama, sejak awal ia mencintai Putri Kim, hingga akhir hidupnya. Seandainya bisa, walaupun ia tidak bisa memiliki Putri Kim pada kehidupan sekarang, setidaknya dia ingin meskipun sekali, memiliki Putri Kim di kehidupan berikutnya.

 

 

~o~

 

Putri Kim terpejam saat ujung pedang Gubernur Yun menghujam kearah perutnya.

Tenang… bahkan semesta pun menyambut dirinya dengan suasana malam yang sepi. Tiada angin dan tiada sedikitpun suara. Perih, sakit ataupun panas di perutnya, tidak ia rasakan. Bagaimana tajamnya pedang itu merobek kulitnya tidak ia rasakan juga. Beginikah rasanya kematian? Apakah setenang ini? Apakah tiada rasa sakit, kematian untuk orang seperti dirinya?

 

Beberapa detik berlalu, dan Putri Kim merasa ini bukanlah kesunyian yang biasa. Ada sesuatu yang janggal yang ia rasakan. Perlahan, ia memberanikan diri untuk membuka matanya. Satu pemandangan yang ia lihat adalah kaki seseorang yang kini berdiri membelakanginya. Tanpa perlu memperjelas pandangannya, Putri Kim dapat mengenali siapa yang berdiri didepannya saat ini. Mata Putri Kim terbelalak menyadari apa yang ada dihadapannya kini.

 

“Lee…” suara yang lemah, terdengar keluar dari bibirnya yang gemetar.

 

Gubernur Yun tampak menancapkan pedangnya tepat di perut Lee. Pria itu menjadikan dirinya tameng agar pedang itu tidak bisa melukai Putri Kim. Entah apa yang ada dalam pikiran Lee saat ini. Ia telah mempertimbangkan segala kemungkinan, dan menurutnya, keputusan inilah yang dirasakan tepat. Mengorbankan diri untuk keselamatan Putri Kim dan menghabisi Gubernur Yun dengan tangannya sendiri dari jarak yang sangat dekat.

 

Gubernur Yun tampak kaget karena ia tidak menyangka, secepat itu Lee berada dihadapannya dan menghalangi rencananya.

 

“hah, kau pikir kau bisa menyelamatkannya? Bodoh” ejek Gubernur Yun sambil menarik pedang dari perut Lee.

Secara otomatis darah mengalir dari perut Lee. Ia menundukkan tubuhnya sambil berpegangan pada pedang yang ada di tangannya. Pedang yang telah diberikan oleh Tuan Kim untuk keselamatan putrinya.

 

“tunjukkan padaku, apalagi yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan wanita itu?” tantang Gubernur Yun sambil menebaskan pedangnya pada Lee. Tapi sebelum pedang itu menyentuh kulitnya, dengan sigap Lee menghunuskan pedangnya.

 

“coba saja kalau kau berani menyentuh Putri Kim, kepalamu tidak akan pernah selamat” Lee menyeringai sambil bangkit kembali.

 

Pedang yang ia pegang seolah memberikan tenaga untuk Lee. Pedang itu yang harus memberi keadilan untuk hidup Putri Kim. Pedang itu yang akan mengakhiri kehidupan Gubernur Yun yang sangat menjijikan.

 

Lee sudah bisa berdiri dengan kedua kakinya. Walaupun darah mengalir dari perutnya, ia tidak merasakan apapun. Yang ada dalam benaknya adalah menghabisi Gubernur Yun dengan tangannya sendiri. Gubernur Yun tidak mau kalah, ia melihat keadaan Lee sebagai kesempatan untuknya menyingkirkan penghalang terakhirnya. Pedangnya berayun ke kanan dan ke kiri untuk melukai tubuh Lee, namun pemuda itu bisa menghindar dengan tangkas.

 

Lee hanya menyeringai melihat bagaimana usaha Gubernur Yun yang ingin membunuhnya. Dengan mudah ia bisa membaca gerakan dan trik apa saja yang digunakan gubernur tua itu padanya. Ia mencengkram pegangan pedang itu dengan sangat kuat. Saat Gubernur Yun menghunuskan pedang padanya lagi, ia dengan serta merta menusukkan pedang itu di perut Gubernur Yun. Laki-laki tua itu merasa kaget melihat perlawanan Lee. Ia memundurkan tubuhnya untuk menghindar dari serangan Lee. Tidak menunggu waktu yang lama, Gubernur Yun mengarahkan pedangnya ke kanan dan ke kiri untuk melukai Lee, tapi tidak berhasil. Meskipun darah segar itu masih mengalir di perut Lee, namun ia masih memiliki tenaga untuk menangkis setiap serangan yang dilancarkan oleh Gubernur Yun.

 

Sekarang ini, Lee memberikan serangannya untuk Gubernur Yun. Pedang yang ada di tangannya sudah beberapa kali melukai kulit Gubernur Yun. Laki-laki tua itu nampak kelelahan menangkis pedang Lee. Beberapa kali suara dentingan pedang terdengar memekakkan telinga. Saat kedua pedang itu saling menahan, Lee menyeringai menang. Gubernur Yun tidak mengerti arti seringaian pemuda itu . Dia lengah, itulah saat yang dinantikan Lee sejak tadi. Tanpa membuang waktu, Lee menebas lengan kanan Gubernur Yun yang memegang pedang, hingga terlepas dari sendinya.

 

Sorotan mata penuh dendam dan amarah itu kini semakin terbakar. Melihat tangan Gubernur Yun yang tergeletak di tanah, membuatnya tersenyum menang. Laki-laki tua itu kini terduduk di tanah. Memegangi lengan kanannya yang kini sudah tiada. Darah segar mengucur deras membasahi pakaian dan tanah yang ia pijak saat ini. Dengan gemetar, Gubernur Yun beringsut mundur. Rasa sakit dan panas di tangan kanannya membuatnya meringis perih. Apalagi saat melihat Lee yang berjalan mendekati dirinya sambil mengacungkan pedang seolah menakuti dirinya.

 

“a..ampuni aku…. Aku mohon….” suara Gubernur Yun terdengar bergetar. Ia sadar, pada posisinya saat ini, dengan mudah Lee bisa menghabisinya kapan saja.

 

Mendengar permohonan Gubernur Yun, membuat Lee menyeringai jengah. Lee semakin mempermainkan pedang di tangannya untuk menakuti Gubernur Yun.

 

“ampun katamu? Hah, apakah saat kau membunuh Tuan Kim, kau mempedulikan permintaannya?”

 

Gubernur Yun hanya terdiam, tubuhnya gemetar ketakutan.

 

“maafkan aku… aku benar-benar minta maaf…”

 

“semudah itu kau meminta maaf Gubernur Yun. Tapi kau telah melakukan banyak kesalahan. Kesalahanmu bukan hanya pada Tuan Kim, tapi pada seluruh rakyat Joseon… apa kau mengerti itu?”

 

“sungguh…. Aku… aku akan bertaubat. Jika kau mengampuniku, maka aku akan membagikan seluruh kekayaanku untuk rakyat Joseon. Aku berjanji” ratap Gubernur Yun dengan suara yang bergetar.

 

“mengapa kau harus meminta maaf padaku, pergilah, mintalah ampun pada Putri Kim” perintah Lee.

 

Dengan tergopoh-gopoh, Gubernur Yun menghampiri Putri Kim yang berdiri disana. Lalu, Gubernur Yun menjatuhkan dirinya tepat di kaki Putri Kim.

 

“aku mohon Putri Kim…. Ampunilah aku… maafkan kesalahanku padamu… dan juga pada ayahmu… maafkan aku….”

 

Melihat keadaan Gubernur Yun saat ini membuat Putri Kim merasa tidak tega. Ia hanya terpejam sambil memalingkan wajahnya dari Gubernur Yun yang saat ini meratap di kakinya.

 

“enyahkan tangan kotormu dari Putri Kim” bentak Lee sambil menendang Gubernur Yun.

Laki-laki tua itu terpental, tapi segera ia bersujud-sujud kembali di hadapan Putri Kim dan Lee sambil menangis dan meratap agar mereka bisa mengampuni dirinya.

 

Lee menatap Putri Kim dengan iba. Dia bisa mengetahui apa yang Putri Kim rasakan saat ini. Bingung karena melihat keadaan Gubernur Yun yang tidak berdaya, tapi api dendam itu  masih terlihat dari sorot mata Putri Kim.

 

“habisi dia Lee” bisik Putri Kim lirih. Lee menatap tidak percaya pada pendengarannya.

“habisi dia. Dia adalah penyebab kesengsaraan banyak orang. Bukan hanya keluargaku, tapi seluruh rakyat Joseon” jelas Putri Kim masih tetap tidak mau menatap Gubernur Yun.

 

Mendengar kata-kata Putri Kim, semakin kencang Gubernur Yun berteriak minta ampun. Lee mengangguk paham. Dia mendekati Gubernur Yun yang beringsut mundur. Semakin ia melihat Lee yang mendekatinya, semakin ia ketakutan. Tubuhnya terhenti saat punggungnya menyentuh sebuah batu besar.

 

“aku mohon… jangan bunuh aku…” kembali bibirnya bergetar ketakutan.

 

“ini adalah keadilan untukmu Gubernur Yun… terimalah” lirih Lee pelan sambil mengacungkan pedangnya.

 

“jangan… jangan bunuh aku… aku… mo…” suara Gubernur Yun tidak terdengar lagi saat pedang Lee menebas tepat di lehernya.

 

Putri Kim melotot ngeri saat kepala itu menyentuh kakinya. Tubuhnya gemetar dengan hebat. Saat kakinya sudah tidak sanggup berdiri, Lee segera meyangga tubuh lemahnya. Ia merangkul tubuh Putri Kim agar menjauh dari tempat itu. Ini adalah pemandangan yang pertama kali disaksikan oleh Putri Kim. Pembunuhan, dan kematian yang kejam. Dengan susah payah, Putri Kim melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

 

“tenangkan hatimu Putri Kim… dia pantas menerimanya” bisik Lee pelan. Nafasnya sudah mulai tidak teratur. Tenaganya perlahan mulai hilang. Hingga beberapa meter mereka meninggalkan tempat dimana Gubernur Yun terbunuh, tubuh Lee tidak sanggup berdiri lagi. Sendi dan seluruh otot tubuhnya lemas. Pedang di tangannyapun turut terlepas. Saat tubuhnya limbung keatas tanah, tubuh Putri Kim juga ikut terjatuh.

 

“Lee…” Seolah baru menyadari apa yang terjadi pada pemuda itu, Putri Kim segera mengguncangkan tubuh Lee yang terbaring lemah.

 

“Lee, aku mohon buka matamu…” Putri Kim mengguncangkan pipi pucat Lee. Tubuhnya yang kehabisan banyak darah,kini terlihat semakin pucat dengan sinar rembulan yang menerangi tempat itu.

 

Terdengar Lee yang terbatuk, dan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Putri Kim segera meraih kepala Lee dan membawanya kedalam dekapan dadanya. Tetesan demi tetesan airmata Putri Kim semakin membasahi pipi Lee.

 

“jangan tinggalkan aku Lee. Aku mohon…” ratap Putri Kim sedih. Hingga tangisannya terhenti saat ia merasakan sentuhan dingin di pipinya. Ia menatap Lee yang tergolek lemah di pangkuannya.

 

“ja…jangan me..nangis…” bisik Lee sangat pelan, sambil jemarinya berusaha mengeringkan airmata Putri Kim. Jemari yang biasa dengan kuat memegang pedang untuk melindunginya, kini terasa sangat lemah dan dingin. Mendengar perkataan Lee, tangisan Putri Kim semakin deras. Hatinya sakit melihat orang yang selalu melindunginya kini terbaring tidak berdaya seperti ini. Apalagi saat ia melihat luka yang ada di perut Lee, dirinya semakin menangis pedih. Demi dirinya, Lee rela mengorbankan dirinya sendiri. Putri Kim menggenggam erat jemari tangan Lee. Seolah dengan genggaman tangan mungilnya itu, bisa menghangatkan lagi tubuh Lee yang terasa dingin.

 

“bertahanlah Lee.  Bertahanlah…” Putri Kim menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin kehilangan Lee. Lee adalah sahabat yang selalu ada untuknya saat ia sedih. Lee adalah pelindung, dimanapun Putri Kim berada.

 

“aku… aku telah memenuhi janjiku pada Tuan Kim…” bersamaan dengan kata-kata itu, darah kembali keluar dari mulut pemuda itu.

 

“maafkan aku Lee… kau… kau tidak seharusnya mengorbankan dirimu seperti ini… maafkanlah aku…” Putri Kim mengusap darah yang mengalir di bibir Lee.

 

“Tuan Kim…. Beliau… datang menjemputku….” disela nafasnya yang terengah, Lee mencoba untuk tersenyum, dia tidak ingin membuat Putri Kim khawatir. Walaupun dia tidak berdaya, tapi dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan Putri Kim. Sekali lagi Lee tersenyum, dan Putri Kim tahu apa arti senyumannya kali ini. Dengan air mata yang mengalir deras, Putri Kim menganggukan kepalanya. Dia sangat berterima kasih pada Lee yang selalu melindungi dan menjaganya. Mempertaruhkan nyawa, walau bahaya selalu mengintai mereka.

 

“gomapseumnida… Lee….” bisik Putri Kim parau. Walaupun sulit, tapi Putri Kim bisa mengeluarkan suaranya. Hanya kata itulah yang bisa ia berikan untuk Lee. Bersamaan dengan suara Putri Kim yang menghilang tertiup angin, jemari itu, yang sejak tadi ia pegang, kini terkulai lemas di atas perut dimana luka itu menganga. Luka hati, dan luka sayatan itu kini tiada akan terasa lagi. Menghilang dalam senyapnya malam.

 

Putri Kim semakin erat memeluk tubuh kaku Lee. Ia tidak menyadari kapan roh itu meninggalkan pemiliknya. Yang ia sadari hanya tubuh Lee yang semakin dingin dan kaku. Semakin ia memeluk erat jasad itu, semakin airmatanya tidak bisa terbendung. Tangisan itulah yang menemani Putri Kim saat ini. Walaupun ia memohon pada langit, agar mengembalikan Lee padanya, tapi itu adalah permintaan sia-sia yang tidak mungkin terwujud. Dalam hatinya ia hanya bisa melafalkan maaf dan terima kasih. Begitu besar pengorbanan Lee untuknya. Begitu besar rasa sakit yang harus pemuda itu tanggung selama hidupnya, hanya demi seorang gadis sepertinya.

 

Tanpa ada yang mengetahui, seseorang tampak berdiri tidak jauh dari Putri Kim. Dia melihat bagaimana Lee melepaskan nafas terakhirnya. Ia membiarkan Lee tenang di pangkuan orang yang selama ini dicintai oleh mereka berdua. Hanya beberapa detik ia bisa memberikan kebahagiaan untuk Lee. Namun, laki-laki itu telah memberikan seluruh kebahagiaannya untu dirinya dan orang yang dicintainya. Rasanya tidak adil jika ia harus berada di tengah mereka saat ini.

 

Langit yang sejak tadi cerah, kini telah tertutup awan mendung yang tebal. Sampai tiba saatnya rintik demi rintik itu membasahi bumi yang telah basah dengan darah. Putri Kim semakin terlarut dalam kesedihannya. Apa yang harus ia lakukan??

Saat kebingungan itu melanda hatinya, ia merasakan pelukan hangat di punggungnya. Ketika ia menoleh kearah kanannya, ketenangan dan kelegaan kembali muncul walaupun rasa sedih itu masih ada di hatinya.

 

“uljima….” bisik pria itu lembut. Bangsawan Cho mengusap lembut kepalanya lalu membawa Putri Kim dalam pelukannya. Keduanya menangis dalam diam mengantarkan Lee dalam ketenangan.

 

Pada satu sisi hati Bangsawan Cho, ia merasakan iri. Karena Lee bisa menepati tugasnya hingga akhir. Disisi lain, ia merasa Lee sangat berterima kasih atas pengorbanan Lee untuknya. Pengorbanan yang entah dirinya bisa melakukannya atau tidak.

 

‘Gomapseumnida Lee… terima kasih atas semua pengorbananmu untukku….’ ucap Bangsawan Cho dalam hati.
*********

 

Tanpa terasa puluhan purnama telah berlalu meninggalkan peristiwa itu. Perubahan demi perubahan kini telah terjadi baik itu di Istana Timur maupun di Istana Bangau Terbang. Banyaknya dokumen dan barang-barang yang hancur akibat kebakaran waktu itu, kini Istana Bangau Terbang hanya menjadi istana kecil tempat dimana Walikota Cho dan istrinya tinggal. Meskipun kerajaan hendak memberikan istana yang baru, tapi keluarga itu menolaknya, karena bagi mereka terlalu banyak kenangan indah telah mereka lalui di Istana Bangau Terbang ini.

 

Bangsawan Cho dianugerahi sebagai Gubernur, pengganti Gubernur Yun. Berkat Bangsawan Cho, seluruh pengkhianatan yang dilakukan oleh China pada kerajaan Joseon dapat terbongkar dan diselesaikan hingga tuntas. Karena rasa cintanya pada negara, Bangsawan Cho menetapkan undang-undang yang sangat ketat untuk para pejabat. Tidak ada lagi pajak yang tinggi untuk rakyat miskin, dan fasilitas istana yang berlebihan untuk pejabat kerajaan. Semuanya berjalan adil dan sesuai dengan takarannya. Kerajaan telah memberikan istana baru untuk Bangsawan Cho, tapi dengan tegas ia menolaknya. Ia lebih memilih menjadikan Istana Timur sebagai tempat tinggalnya sekaligus tempatnya bekerja. Dengan berada di Istana Timur, maka ia bisa merasakan bagaimana sebuah pengorbanan terlihat dengan nyata. Dan ia bisa merasakan kekuatan untuk menghilangkan ketidak adilan, saat ia melihat tempat dimana Gubernur Yun terbunuh.

 

Gubernur Cho, saat ini tengah menikmati secangkir teh, sambil membaca laporan atas pemasukan pajak yang baru saja diterima kerajaan dari para pejabat. Saat ia hendak menikmati minumannya kembali, sebuah tangan kecil terasa menarik-narik ujung pakaiannya.

 

Saat ia merendahkan kertas laporan yang menutupi matanya itu, terlihatlah wajah imut nan lucu kini tengah cemberut di balik meja.

 

“Ayaah…. Ayo kita bermain…” suara ceria dan merajuk kini menghampiri telinganya.

 

“aigoo… apa kau tidak lihat ayah sedang bekerja” Gubernur Cho mencoba bernegosiasi dengan putra nya itu.

 

“tapi, diluar sedang turun salju. Ayo kita bermain salju…” rengek anak itu manja.

 

“anakku, kau jangan mengganggu ayah. Lihatlah dia sedang bekerja” Putri Kim segera menghampiri putranya yang kini berusia empat tahun itu untuk diajak bermain dilain tempat.

 

“tapi aku ingin bermain dengan ayah…”

 

“suamiku… apa kau tidak keberatan jika menunda dulu sebentaaaaar saja pekerjaanmu itu” pinta Putri Kim agak memanja.

 

Gubernur Cho hanya menggelengkan kepalanya. Baik istri dan anaknya, sama saja. Sama-sama tidak bisa ditolak kemauannya..

 

“kau ayah yang sangat mengagumkan” puji Putri Kim sambil tersenyum.

 

“tentu saja. Dan seharusnya, Cho junior tidak bermain dengan ayahnya terus, tapi dia harus punya adik agar menemaninya bermain” goda Gubernur Cho sambil mengedipkan sebelah matanya.

 

“aish…. Suamiku… kau itu… dia baru empat tahun, belum siap untuk memiliki seorang adik’ Putri Kim tersenyum dengan malu.

 

“tapi, jika adiknya telah lahir, pasti dia akan siap dengan sendirinya” Gubernur Cho mendekati wajah istrinya yang merona merah. Saat bibirnya akan meraup bibir ranum itu, teriakan kecil terdengar dari arah depannya.

 

“ayaaaah… ayo bermain salju”…

 

…T H E   E N D…

 

Akhirnya… setelah tersimpan dengan baik selama beberapa bulan, ff ini bisa diselesaikan juga. Terima kasih bagi kalian yang masih membaca ff ini.

Gimana nih endingnya? Semoga memuaskan yah. Itu, bangsawan Cho udah jadi gubernur. Dan keluarganya hidup bahagia selamanya.

Trus gimana akhir hayat Gubernur Yun? Semoga apa yang ia alami setimpal dengan yang telah ia lakukan pada keluarga Kim. Hehe.

Aah, dan itu Lee. Tadinya mau dibikin minwook saja. Tapi jadi nggak nyambung dengan alurnya. Mungkin bkin cerita yang terpisah aja kali yah.

Akhir kata, selamat berkomentar yah gaiss.. See u next time on other ff. wehehe. Sayonara… 🙂

 

 

 

 
10 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 23, 2014 inci (FF) Moonlight Melody

 

Tag: , , , ,

Moonlight Melody Chap 12

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody

Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

 

 

Gubernur Yun telah mempersiapkan rencana yang sangat matang untuk menghancurkan Bangsawan Cho. Sebenarnya, bukan hanya Bangsawan Cho yang menjadi sasaran kemarahannya, tapi seluruh keluarga Walikota Cho harus dapat ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Sesekali tangannya mengepal sambil giginya saling bergemeretak.

 

Beberapa hari terakhir ini kehidupan damainya sempat terganggu. Petugas yang berwenang dalam urusan keuangan kerajaan telah menerima sebuah bukti bahwa dirinya telah memungut pajak yang sangat besar dari para petani. Selain itu kasus korupsi yang pernah terlupakan kini terkuak kembali. Tentu saja ia tahu siapa yang telah melaporkan dirinya pada petugas keuangan kerajaan, Bangsawan Cho. Semakin ia mengingat Bangsawan Cho, maka kemarahannya semakin memuncak. Pasalnya, hanya pemuda itu yang berani melakukan hal ini padanya.

 

Selain mengingat bagaimana kekalahan telaknya untuk mendapatkan Putri Kim, kini Gubernur Yun harus merasakan betapa menjengkelkannya ketika pagi-pagi buta ia harus menerima kedatangan petugas keuangan kerajaan untuk memeriksa aset yang ia miliki saat ini. Oleh sebab itulah ia merancang satu jebakan untuk mencelakai Bangsawan Cho di Guangju. Setelah Bangsawan Cho mati, maka ia akan dengan mudah melenyapkan satu per satu anggota keluarga Walikota Cho termasuk Putri Kim. Tapi alangkah lebih menyenangkan jika ia membiarkan Bangsawan Cho hidup, dan menyaksikan bagaimana orang-orang yang ia cintai mati di tangan Gubernur Yun. Itu akan membuatnya impas atas masalah yang menimpa dirinya. Karena kegagalannya untuk menikahi Putri Kim, maka satu persatu masalah mulai muncul dalam kehidupan Gubernur Yun.

 

~o~

 

Rombongan Putri Kim kini mulai memasuki pertengahan hutan pinus. Udara sejuk terasa di kulit wajah Putri Kim. Sejenak ia menyibak tirai yang ada di sebelah kirinya. Yang ia dapati hanyalah wajah tenang Lee yang tengah menunggangi kuda di sebelah tandu Putri Kim. Ia menatapnya lembut sambil tersenyum.

 

“apakah ada yang sesuatu yang anda inginkan Putri?” tanya Lee sopan.

 

Putri Kim hanya menggeleng pelan. Ia balas tersenyum pada Lee setelah itu ia mengaitkan tirai agar ia bisa melihat indahnya hutan pinus yang tengah mereka lewati. Udara yang segar kini mulai memenuhi paru-paru Putri Kim. Gadis itu tidak henti menatapi pohon pinus yang tegak berdiri. Dedaunannya yang terlihat lembut dari kejauhan seolah saling menutupi satu sama lainnya. Pemandangan yang sangat kontras dan menimbulkan pemandangan yang agak mengerikan saat warna dedaunan itu berpadu dengan warna langit yang mendung kelabu.

 

“apakah perjalanan kita masih lama?” tanya Putri Kim pelan.

 

“sebentar lagi. Setelah hutan pinus ini habis, maka kita akan segera tiba di Istana Timur. Apakah anda merasa lelah? Haruskah kita beristirahat dulu?”

 

“tidak… aku hanya merasa sedikit berbeda. kau tahu kan, sudah berbulan-bulan lamanya aku tidak pulang. Apakah tempat itu masih sama ataukah sudah berubah” kata Putri Kim sambil menerawang.

 

“anda tidak perlu mengkhawatirkan tentang semua itu. Aku yakin, keadaan Istana Timur akan selalu sama dan tetap sama seperti saat anda terakhir kali berada disana” kata Lee sambil tersenyum.

 

“kau salah…” Putri Kim menggigit bibirnya pelan. Lee hanya menolehkan kepala sambil mengerutkan alis.

“… tidak ada Ayah disana… itu yang membuatnya berbeda…” gumam Putri Kim.

 

Lee tidak berani berkata lagi. Saat ini lebih baik membiarkan Putri Kim dengan pikirannya sendiri. Lee juga bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Putri Kim karena iapun merasaka sesuatu yang sama. Kehilangan orang yang sangat ia sayangi dan sangat ia hormati. Tuan Kim.

 

 

Seperti yang dikatakan oleh Lee tadi. Setelah hutan pinus itu habis, maka mereka menyusuri jalan menuju Istana Timur. Perasaan Putri Kim semakin tidak karuan. Bahagia bercampur sedih menjadi satu. Bahagia karena ia bisa melihat rumahnya lagi, dan sedih karena kini yang ada disana hanyalah kenangannya bersama dengan ayahnya tercinta. Seorang ayah yang telah mempercayakan dirinya pada Lee dan juga Bangsawan Cho.

 

Tandu mulai berhenti, lalu Lee membuka tirai yang ada di hadapan Putri Kim.

 

“kita telah tiba… Selamat datang di rumah” sambut Lee sambil menjulurkan tangannya membantu Putri Kim untuk keluar dari dalam tandu.

 

Dari dalam, Putri Kim hanya tertuju pada ruangan yang sangat ia rindukan. Ruangan dimana ayahnya sering menghabiskan waktunya untuk bekerja dan sesekali bercanda dengan Putri Kim. Perlahan ia menerima uluran tangan Lee, dan ia mulai keluar dari tandu. Ketika kakinya mulai menyentuh tanah, semilir angin menerpa wajah dan rambutnya, seolah memberinya ucapan selamat datang. Ia memandang berkeliling dan yang nampak disana adalah deretan para pelayan yang menyambutnya dengan penuh senyum di wajah mereka. Seseorang dari mereka mulai mendekat pada Putri Kim dan ia membungkuk memberi hormat.

 

“Selamat datang Putri… bagaimana kabar anda?”

 

“Hyosun? Kau… kau masih berada disini?” Putri Kim tidak percaya ia masih bisa melihat pelayan pribadinya masih berada di Istana Timur.

 

“tentu saja Putri. Saya tidak akan pergi kemana-mana jika anda tidak menyuruh saya pergi” Putri Kim tampak terharu mendengar ucapan Hyosun. Ia tidak tahu bahwa pelayannya memiliki loyalitas yang tinggi baik padanya maupun pada Istana Timur.

 

“terima kasih banyak Hyosun-ah…”

 

“apakah anda tahu, Istana ini jadi terasa sangat sepi. Setelah anda pergi tidak ada lagi suara ceria yang selalu menghangatkan suasana di Istana Timur ini. Tidak ada lagi yang memeriksa bunga di taman istana, tidak ada lagi yang meminta makanan untuk disiapkan, rasanya tempat ini menjadi kuburan yang sepi. Tapi sekarang, kehangatan dari tempat ini telah kembali” Hyosun membungkuk dan bibirnya tidak lepas dari senyuman yang sejak tadi berada di wajahnya.

 

“aku sangat senang mendengarnya, Hyosun-ah… eumm… bagaimana jika kau menemaniku mengelilingi Istana Timur? Aku sangat merindukan rumahku ini” ajak Putri Kim dengan mata berbinar.

 

“Tappi…” Hyosun tampak ragu, lalu melirik Lee yang berdiri dibelakang Putri Kim.

 

“Putri, anda masih lelah, apakah tidak sebaiknya anda beristirahat dulu?” saran Lee pelan.

 

“aku tidak lelah Lee. Sebaiknya kau mengajak mereka beristirahat dan meminta pelayan untuk menyediakan makanan” kata Putri Kim sambil melirik para pelayan yang berjejer rapi.

 

“tapi, kesehatan anda yang lebih utama… bagaimana nanti jika anda sakit?”

 

“mana mungkin kau memikirkan kesehatanku, sementara kau mengabaikan para pengawal yang telah lelah selama perjalanan sejak pagi? … aku tidak ingin mendengar apapun lagi, sekarang kalian beristirahatlah dulu. kumpulkan kembali energi kalian” kata Putri Kim sambil menatapi para pengawal yang ada disamping tandu-nya. Lee tidak bisa lagi menolak, ia hanya menganggukan kepalanya pelan.

 

“ayo Hyosun, temani aku sekarang” ajak Putri Kim sambil beranjak dari pelataran Istana Timur.

 

~o~

 

Putri Kim mendatangi satu per satu ruangan yang ada di Istana Timur. Hyosun dengan setia mengikuti kemanapun Putri Kim pergi. Saat Putri Kim memasuki kamar pribadinya, matanya menyusuri setiap sudut ruangan. Keadaannya masih tetap sama, seperti ketika ia terakhir kali berada disana. Ketika ia hendak menatap jendela, tanpa sengaja lirikannya jatuh pada meja yang berada disamping lemari kecil. Tampak bunga yang telah mengering masih berada di dalam vas. Hati Putri Kim terenyuh. Perlahan ia menghampiri bunga kering itu lalu menyentuhnya perlahan. Bayangan pada saat Bangsawan Cho memberikannya seikat bunga itu kembali terbayang dalam pikirannya. Jantungya kembali berdetak tidak karuan saat ia membawa bunga kering itu kedalam pelukannya.

 

“Hyosun-ah… apakah kau yang mengurus kamarku selama aku tidak ada?” tanya Putri Kim sambil melirik Hyosun yang kini telah duduk disamping Putri Kim.

 

“benar, Putri. Sebelum hari dimana anda meninggalkan Istana Timur, Lee telah berpesan pada saya agar menjaga kamar ini agar tetap sama seperti saat terakhir kali anda menggunakannya” terang Hyosun.

 

Mendengar bahwa Lee yang mengusulkan semua ini, membuat Putri Kim terharu. Betapa lelaki itu telah merencanakan semuanya dengan rapi sehingga ia tidak menyadari apapun. Matanya berkaca-kaca jika ia teringat kejadian pahit dan mengerikan yang pernah ia alami di rumah ini. Putri Kim bangkit, dan Hyosun mengikutinya. Mereka berjalan menyusuri selasar depan, hingga mereka tiba di tempat yang sangat ingin Putri Kim kunjungi. Kamar Tuan Kim.

 

“kau tidak perlu masuk Hyosun, aku ingin sendirian. Bisa kan?” tanya Putri Kim setengah memohon.

 

“baiklah Putri, silahkan” angguk Hyosun.

 

Deritan pelan terdengar saat putri Kim membuka pintu kamar. Aroma lavender tercium melalui hidungnya. Putri Kim hanya tersenyum samar sambil tangannya menutup pintu kamar. Kakinya mulai melangkah menuju meja kecil. Dulu, biasanya ayahnya akan duduk dibalik meja kecil itu. Satu poci teh dan cangkir kecil tersedia diatas meja. Bahkan bunga segar pun nampak berada di sudut meja. Dengan tangan gemetar, Putri Kim menuangkan air yang berada dalam poci tersebut kedalam cangkir. Ia seolah sedang memberikan minuman untuk ayahnya tercinta. Ia duduk dihadapan meja itu. Seolah ia sedang duduk menghadap sang ayah.

 

“aku pulang, ayah…. Bagaimana kabarmu? … aku… aku sangat merindukan ayah…” Putri Kim tertunduk sambil memejamkan mata. Ia tidak ingin menangis, ia tidak ingin ayahnya bersedih jika melihatnya menangis disini. Sekuat tenaga ia berusaha agar tidak membiarkan airmatanya jatuh.

 

“ayah… mengapa ada banyak hal yang kau sembunyikan dariku?… Bangsawan Cho….” bibir Putri Kim tersenyum kecil.

“kau tahu ayah, dia ternyata adalah orang yang sangat baik. dia… dia telah menjadi suamiku saat ini. Aku tidak pernah menyangka dia seorang lelaki yang sangat lembut… dia bisa menghilangkan kesedihanku, bahkan dia selalu membuatku tersenyum… saat ini, aku sangat bahagia… ayah, kau tidak salah memilihkan seorang suami untukku… a-ayah… apakah disana, kau bisa melihatku? Kau bisa melihat kebahagiaanku? Aku… aku benar-benar sangat merindukan ayah… jika masih mungkin… aku… aku sangat ingin melihat wajah ayah…” saat ini, bulir airmata di pipinya telah mengalir dengan deras. Putri Kim mencoba menahan isak tangisnya, namun tidak bisa. Kerinduan yang sangat besar pada ayahnya, tidak bisa membuat hatinya bertahan terlalu lama. Putri Kim menangis tersedu sambil menangkupkan kepalanya diatas meja.

 

Seseorang yang berdiri sejak tadi diluar, hanya mendengarkan isakan Putri Kim dengan hati yang pilu. Ia ingin sekali masuk kedalam, namun kakinya terasa berat untuk melangkah. Tidak… jika masuk kedalam, maka ia akan mengkhianati kepercayaan Putri Kim padanya. Tapi perasaan hatinya tercabik saat mendengar tangisan lirih itu. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sedangkan untuk pergi meninggalkan tempat itu, ia tidak tega. Tangannya yang sejak tadi bersiap untuk membuka pintu, perlahan ia turunkan kembali. Sambil bersandar di pilar beranda, ia menatap langit mendung yang membawa awan gelap menuju Istana Timur.

 

“langit… turunkanlah hujan, agar aku tidak bisa mendengar suara kesedihannya lagi…” bisik Lee pelan sambil terus menatapi awan mendung itu. Perlahan ia memejamkan mata, dan tak lama kemudian tetesan air mulai turun membasahi bumi. Lee seakan tidak percaya, harapannya terkabul dengan sangat cepat. Saat ini tangisan Putri Kim tidak terdengar lagi, hanya suara derasnya air yang menimpa genting bangunan terdengar dengan sangat jelas. Lee hanya berdiri di beranda luar. Menikmati sejuknya angin yang menyentuh permukaan wajahnya, dan sesekali air hujan sedikit memercik pada wajahnya yang tampan.

 

Setelah beberapa saat, Putri Kim menghentikan tangisannya. Ini bukanlah tangisan kesedihan, tapi ini adalah tangisan kerinduan. Ia sangat rindu pada ayahandanya, sehingga ia tidak bisa menahan airmatanya tadi. Mendengar suara deru hujan, perlahan ia bangkit menuju jendela kamar, lalu membukanya perlahan. Saat jendela terbuka, ia agak terlonjak kaget menatap seseorang yang berdiri di beranda depan. Pria itu masih tetap disana, menatapi tetesan demi tetesan air hujan yang jatuh membasahi tanah. Putri Kim menatap pria itu dengan hati yang tenang. Setidaknya, berada di samping Lee saat ini, bisa membuat perasaan hatinya jauh lebih baik.

 

“aku akan baik-baik saja jika bersama Lee” bisik Putri Kim sekilas.

 

~o~

 

Setelah Putri Kim meninggalkan Istana Bangau Terbang, maka Bangsawan Cho pun mulai bersiap untuk berangkat menuju Guangju. Perjalanannya hanya ditemani oleh Jung Dae. Perasaan hatinya yang tidak seperti biasa membuat Bangsawan Cho merasa cemas pada keselamatan istrinya. Selain itu, ia pun merasakan perasaan lain pada keberangkatannya kali ini ke Guangju. Walaupun ia tidak tenang, tapi tetap saja ia harus berangkat kesana. Pertemuannya dengan pedagang China kali ini bukanlah hanya sebatas perdagangan kain sutra saja, tapi ia telah mencurigai adanya sesuatu yang tidak beres pada kedatangan mereka ke Joseon.

 

Hanya sekitar dua jam perjalanan, saat ini Bangsawan Cho telah tiba di sebuah penginapan yang menjadi tempat pertemuan mereka. Bangsawan Cho meminta Jong Dae untuk beristirahat terlebih dulu karena masih ada waktu sebelum pertemuan itu diadakan.

 

Suasana penginapan itu terasa sedikit ganjil. Walaupun terdapat beberapa tamu dan juga pelayan, tapi Bangsawan Cho merasakan ada sesuatu yang lain. Sang pemilik penginapan yang bertampang sangar dan terlihat tidak ramah, hanya berkata beberapa kalimat saja. Biasanya, seorang pemilik penginapan akan bertanya dengan ramah apa saja yang diinginkan pelanggan. Tapi dia berbeda. Selain itu, para pelayan yang berlalu lalang, hanya memberikan tatapan curiga padanya. Kendati merasa tidak nyaman, tapi Bangsawan Cho menyimpan semua prasangakanya dalam  hati. Mungkin telah menjadi sifat orang dari daerah Guangju memperlakukan tamu seperti ini.

 

 

Bangsawan Cho telah menempati tempat duduknya saat ini. Hari telah menjelang sore, tapi para pedagang China itu masih belum memperlihatkan diri. Pelayan menyajikan sepoci teh untuk Bangsawan Cho. Sambil menunggu kedatangan para pedagang China, Bangsawan Cho menyesap teh yang telah disajikan oleh pelayan itu. Rasa teh itu sangat nikmat, selama ini ia tidak pernah merasakan rasa teh yang sangat berbeda seperti ini. Tanpa sadar, Bangsawan Cho kembali menuangkan teh itu kedalam cangkirnya. Hampir setengah dari isi poci itu kini telah beralih kedalam perut Bangsawan Cho. Tapi kemudian ia merasakan sesuatu di dalam kepalanya. Tangan kirinya memijat pelipis yang terasa sakit.

 

“Tuan, anda tidak apa-apa?” tanya Jong Dae khawatir.

 

“entahlah… aaarghh… kenapa kepalaku terasa sakit seperti ini?” Bangsawan Cho meringis menahan sakit dan pusing yang kini mendera kepalanya.

 

Jong Dae segera mengambil poci teh dan mencium aroma-nya. Namun tidak ada yang aneh dari isi poci tersebut.

 

“pelayan… pelayan…” teriak Jong Dae memanggil pelayan yang telah memberikan teh untuk Bangsawan Cho tadi. Menurutnya, dia lah orang yang paling bertanggung jawab pada keadaan Bangsawan Cho saat ini.

 

Beberapa detik kemudian, Bangsawan Cho tidak sadarkan diri. Kepalanya tertelungkup diatas meja, dan kedua tangannya menjuntai lemas ke bawah.

 

“B-Bangsawan Cho…” Jong Dae kaget melihat tuannya seperti ini.

 

Tanpa diduga, beberapa orang bersenjata kini telah mengepung Jong Dae dan Bangsawan Cho. Pedang yang ada di tangan mereka terlihat berkilatan terkena cahaya lampu di ruangan itu.

 

“hahaha… ternyata tidak sesulit itu…” tawa salah satu dari mereka dengan nada meremehkan.

 

“kalian siapa?” tanya Jong Dae dingin, ia pun segera menyiapkan pedang yang sejak tadi dipegangnya.

 

Orang yang tertawa tadi mengisyaratkan kepalanya pada anak buahnya agar segera membawa Bangsawan Cho dari tempat itu. Tapi Jong Dae tidaklah tinggal diam.

 

“berani kalian menyentuh Bangsawan Cho, maka kalian akan mati” ancam Jong Dae tegas.

 

“kau pikir aku takut?” orang itu segera menyerang Jong Dae. Dia mengarahkan pedang tepat kearah perut Jong Dae, tapi ia segera menghindar. Namun, anak buah penjahat itu tidaklah tinggal diam. Mereka segera mengeroyok Jong Dae hingga pedangnya terlepas dari tangan Jong Dae. Setelah itu, mereka mulai memukuli Jong Dae hingga dia babak belur dan akhirnya tidak sadarkan diri.

 

Sang ketua hanya tertawa melihat keadaan Jong Dae saat ini.

 

“bawa mereka. Dan pastikan mereka tidak bisa keluar dari dalam gudang hingga esok hari” perintah sang ketua.

 

“apakah kita harus membunuh mereka?” tanya salah satu anak buah yang telah memegangi tangan Bangsawan Cho.

 

“tidak perlu. Gubernur Yun ingin agar kita membawa orang ini dalam keadaan hidup” seringai licik terlihat dari wajah sang ketua.

 

Setelah itu, mereka meninggalkan penginapan. Tubuh Bangsawan Cho dan Jong Dae diseret menuju sebuah gudang. Mereka mengikat tangan Jong Dae dan Bangsawan Cho dengan ikatan yang sangat kuat. Dua orang penjaga ditempatkan didepan pintu, untuk memastikan bahwa mereka tidak akan melarikan diri.

 

~o~
Gubernur Yun tersenyum mendengar penuturan Man Bo. Ia melaporkan bahwa saat ini Bangsawan Cho telah terkurung didalam gudang, dan tidak mungkin melarikan diri.

 

“bagus. Aku akan membuatnya berlutut dikakiku untuk meminta kematian. Aku ingin melihat apakah dia masih bisa bertahan jika segala yang dia miliki hilang begitu saja. Kekayaan, istana, keluarga, bahkan istrinya. Hahaha… inilah akibatnya jika berani melawanku…” Gubernur Yun menyeringai licik.

 

Saat ini ia masih berada diatas kudanya. Segera ia memerintahkan anak buahnya untuk menjalankan apa yang telah ia rencanakan selama ini. Gubernur Yun menganggukan kepalanya kepada Man Bo. Dan pria itu langsung memerintahkan anak buahnya untuk menuju Istana Bangau Terbang.

 

Dua orang pengawal yang berdiri di luar pintu gerbang, tiba-tiba terkapar saat dua anak panah menancap didada mereka masing-masing. Orang suruhan Gubernur Yun segera masuk kedalam istana, dan tanpa menunggu lagi salah satu diantara mereka menjatuhkan obor kedalam ruangan pribadi Bangsawan Cho. Karena isi dari ruangan itu kebanyakan adalah buku dan kertas, maka dengan mudah api melalap bangunan. Setelah itu mereka menuju bangunan-bangunan yang lain dan menjatuhkan obor yang menyala kedalam ruangan yang mereka lewati.

 

Jeritan histeris kini mulai terdengar. Tuan dan Nyonya Cho tampak kebingungan pada keadaan ini. Beberapa pengawal membawa mereka ketempat yang aman. Suasana Istana Bangau Terbang saat ini tampak kacau dengan api yang membakar hampir seluruh bangunan istana. Begitupun dengan Paviliun Anggrek Biru. Para pelayan wanita menangis dengan kencang, merasa takut dan ngeri melihat api yang berkobar dengan cepat menghabiskan bangunan istana. Sedangkan pelayan laki-laki sibuk untuk memadamkan api yang kian membesar.

 

Dari kejauhan, Gubernur Yun dapat dengan mudah melihat api yang menyala-nyala menghabiskan Istana Bangau Terbang. Tidak lama kemudian Man Bo datang menghampiri.

 

“dimana dia? Aku ingin kalian membawa mayatnya kemari” kata Gubernur Yun dengan penuh dendam.

 

“maaf Tuan, Putri Kim saat ini tidak berada di Istana” Man Bo menunduk.

 

“apa kau bilang?” bentak Gubernur Yun.

 

“dia memang tidak berada di sini. Tapi… dia berada di Istana Timur” jawab Man Bo tenang sambil menatap lekat mata Tuannya.

 

“Istana Timur… hmmh… sudah lama aku tidak berkunjung kesana… hahaha…. Hahahaha… rupanya wanita itu ingin mati langsung ditanganku” terlihat raut kepuasan di wajah Gubernur Yun. Tidak lama lagi ia akan menghilangkan nyawa orang yang sangat ingin ia nikahi. Seandainya dulu Tuan Kim bersedia menikahkan putrinya dengan dirinya, maka kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi.

 

“Man Bo, ayo kita berkunjung ke Istana Timur. Sudah lama kita melupakan tempat itu…” seringai Gubernur Yun sambil memacu kudanya dengan cepat menuju Istana Timur.

 

~o~

 

Malam baru saja beranjak naik. Udara yang dingin membuat Putri Kim semakin menyusupkan dirinya dalam selimut yang hangat. Dari luar terdengar dengan sangat jelas angin yang kencang berhembus yang membuat dedaunan saling bergemerisik.

 

Dari arah gerbang depan terdengar suara keributan. Bahkan suara benda tajam yang saling beradu pun terdengar sangat jelas di telinga Lee. Pria itu segera memeriksa apa yang terjadi. Dan, matanya membulat terkejut sekaligus marah melihat Gubernur Yun dan anak buahnya sedang bertarung melawan para pengawal Istana Timur.

 

“Kau pikir apa yang kau lakukan???” tanya Lee sambil memukul satu persatu anak buah Gubernur Yun hingga terjatuh.

 

“haah, rupanya kau ada disini. Dimana gadis itu?” Gubernur Yun bertanya dengan nada yang sangat menjijikan.

 

“untuk apa kau mencarinya? Kau tidak punya urusan apapun dengan Putri Kim” desis Lee dingin.

 

“Man Bo, habisi dia… pastikan dia ikut menyusul Tuannya kealam baka” perintah Gubernur Yun yang dibalas anggukan patuh dari Man Bo.

 

Gubernur Yun meninggalkan tempat itu. Lee mencoba untuk menahan kepergian Gubernur Yun, tapi pedang Man Bo telah berada di lehernya. Ia terpaksa bertarung melawan Man Bo sebelum menyelamatkan Putri Kim.

 

 

“Putri Kim… bangun… Putri…” Hyosun membangunkan Putri Kim yang masih terlelap tidur. Perlahan kepalanya mulai bergerak dan berusaha untuk membuka matanya.

 

“Hyosun-ah… ini masih malam. Kenapa kau membangunkanku?” tanya Putri Kim sambil duduk ditempat tidurnya.

 

“ini bahaya Putri. Kita harus segera pergi dari Istana ini” kata Hyosun dengan suara yang gemetar ketakutan.

 

“ada apa? bahaya apa maksudmu?” mendengar kata bahaya yang diucapkan oleh Hyosun berhasil membuat kesadaran Putri Kim kembali.

 

“di gerbang depan terjadi keributan Putri. Gubernur Yun… dia… dia membantai seluruh pelayan yang sedang terlelap tidur. Saya segera melarikan diri kemari agar kita bisa selamat darinya”

 

Mendengar nama Gubernur Yun, mendadak perut Putri Kim merasakan mual. Dia sangat membenci orang itu. Seorang yang biadab yang telah tega membunuh ayah yang ia cintai. Dan sekarang ia membantai para pelayan yang tidak berdosa apapun. Ini tidak bisa dibiarkan.

 

“lalu dimana Lee?” kecemasan dan ketakutan itu kini terdapat pula pada nada suara Putri Kim.

 

“saya tidak tahu Putri. Sepertinya dia berada di gerbang depan. Sebaiknya mari kita segera pergi” ajak Hyosun, dan Putri Kim mengangguk paham. Sebelum mereka keluar Putri Kim meraih sesuatu dari atas meja. Pisau katana yang pernah diberikan oleh Lee untuknya.

 

Hyosun dan Putri Kim berjalan kearah pintu kamar. Namun, belum sempat Hyosun untuk meraih pegangan pintu, pintu itu telah terbuka dengan paksa. Kedua wanita itu tampak kaget, bahkan Putri Kim membulatkan matanya, kulit wajahnya berubah menjadi pucat saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu itu.

 

“hehehe… senang bisa bertemu lagi denganmu, Putri Kim. Lama tidak bertemu” Gubernur Yun terkekeh saat melihat Putri Kim yang berdiri mematung melihat kedatangannya.

 

Perlahan kaki Gubernur Yun melangkah masuk kedalam kamar. Dan secara otomatis Putri Kim memundurkan langkahnya. Tubuhnya terasa gemetar melihat lelaki tua dihadapannya terus mendekati dirinya.

 

“biadab… apa yang kau inginkan sekarang hah?” tanya Putri Kim dengan geram. Matanya memancarkan rasa amarah yang kini terkumpul dalam hatinya. Tangannya mengepal mencoba menahan emosi yang ingin sekali meledak saat ini juga.

 

“cckk.. Mengapa kau berkata sekasar itu Putri? Sebagai seorang putri dari mentri yang terpelajar, kau tidak seharusnya berkata seperti itu” Gubernur Yun menggelengkan kepalanya sambil matanya menatap tajam pada mata Putri Kim.

 

“keluar dari tempat ini sekarang juga” desis Putri Kim penuh dengan kebencian.

 

“jika aku tidak mau, bagaimana?” Gubernur Yun menyeringai.

“kau… bersikaplah manis, Putri Kim” kata Gubernur Yun sambil merentangkan tangan kanannya untuk menyentuh pipi Putri Kim. Tapi, belum sempat jemarinya menyentuh pipi halus Putri Kim sebuah kayu telah menghantam lengannya dengan keras.

 

“aku tidak akan pernah membiarkan tangan kotormu menyentuh Putri Kim, biadab” Gubernur Yun menatap Hyosun dengan pandangan jijik. Bagaimana bisa seorang pelayan menghentikan kesenangannya.

 

“berani sekali kau pelayan rendah” tanpa ragu, Gubernur Yun memukulkan pedangnya pada pipi Hyosun hingga gadis itu terjatuh dan pingsan.

 

“Hyosun-ah….” jerit Putri Kim tidak percaya pada pemandangan barusan, ia segera menghampiri Hyosun yang tidak sadarkan diri.

“kau… kau sungguh kejam. Bagaimana mungkin kau melakukan hal seperti ini pada Hyosun” teriak Putri Kim sambil menatap tajam Gubernur Yun.

 

“itu adalah salahnya, yang telah berani mengganggu kesenanganku” kata Gubernur Yun sambil berjalan menghampiri Putri Kim yang duduk di lantai.

 

Melihat Gubernur Yun yang mendekat padanya, Putri Kim memundurkan kakinya. Ia terseok karena saat ini ia masih duduk di lantai, hingga gerakannya terhenti ketika punggungnya menyentuh lemari kecil dibelakang dirinya. Gubernur Yun hanya tersenyum penuh kemenangan melihat Putri Kim yang tidak bisa melarikan diri lagi darinya.

 

“cckk… kau tidak perlu takut… walaupun kau yang telah mengacaukan hidupku, tapi aku bisa membuatmu bahagia. Asalkan kau mau ikut denganku, maka semua masalah akan selesai” bujuk Gubernur Yun dengan suara yang lembut, tapi terdengar sangat memuakkan di telinga Putri Kim. Tangan kanannya terjulur menantikan tangan Putri Kim menyambutnya.

 

“kau gila. Mana mungkin aku akan ikut denganmu, setelah apa yang telah kau lakukan pada ayahku, kau tidak akan bebas begitu saja. Kau akan mendapat hukuman yang setimpal dengan semua kejahatanmu” tandas Putri Kim geram. Ditentangnya mata kelam Gubernur Yun tanpa rasa takut.

 

“kau…. Kau wanita yang keras kepala” Gubernur Yun menahan amarahnya. Tangan kanan yang tadi ia julurkan, kini berada disamping kepala Putri Kim menghalangi agar gadis itu tidak melarikan diri.

“kau tahu, kematian ayahmu, itu adalah salahnya sendiri. Jika ia menuruti perintahku, maka saat ini dia masih hidup. Seharusnya kau salahkan suamimu, dialah penyebab kematian ayahmu” bisik Gubernur Yun sambil tangan kirinya meraih dagu Putri Kim. Tidak bisa dilukiskan betapa marahnya Putri Kim mendengar omong kosong lelaki tua dihadapannya itu.

 

“saat ini tidak ada gunanya kau marah padaku… sebaiknya, jadilah gadis yang baik dan turuti perkataanku” gumam Gubernur Yun sambil mendekatkan kepalanya ke wajah Putri Kim. Tapi sebelum lelaki itu mendapatkan apa yang ia inginkan, tubuhnya tiba-tiba terjungkal sambil tangannya memegangi pipi kanannya yang terasa panas. Darah segar segera keluar dari pipi Gubernur Yun membasahi tangannya yang masih memegangi pipi kanannya. Sementara kakinya terasa sakit, setelah Putri Kim menendangnya dengan keras tepat pada tulang kering betis kanannya.

 

“jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Waktumu telah habis Gubernur Yun” kata Putri Kim dengan suara yang gemetar. Tangan kanannya menggenggam katana yang tadi telah ia goreskan pada pipi Gubernur Yun, terlihat sisa darah di pisau kecil itu.

 

“berani sekali kau melakukan hal ini padaku” geram Gubernur Yun sambil meraih pedang yang tanpa sengaja tadi ia jatuhkan.

 

Melihat Gubernur Yun yang berusaha meraih pedangnya kembali, Putri Kim segera bangkit dari duduknya. Ia merasakan bahaya yang besar mengancamnya jika ia masih berada didalam kamar itu. Dengan sisa kekuatannya, Putri Kim berlari meninggalkan kamarnya. Perlahan, Gubernur Yun berjalan menuju pintu keluar. Luka di pipinya terasa kian panas, walaupun itu adalah luka dari pisau kecil, namun luka itu cukup dalam yang menyebabkan darahnya banyak keluar.

 

“haha… larilah Putri Kim. Kau pikir kau akan selamat? Hahaha” Gubernur Yun tertawa puas. Agak terseok, ia mengikuti Putri Kim. Ia yakin, seberapa cepat lari gadis itu, ia masih bisa mengejarnya.

 

~o~

 

Bangsawan Cho mulai membuka mata. Pemandangan yang buram dan remang-remang kini mulai muncul pada indra penglihatannya. Rasa pegal yang hebat terasa di pergelangan tangannya. Saat ia mencoba untuk menggerakkannya terasa sangat sulit. Beberapa detik kemudian, Bangsawan Cho seolah menyadari dimana kini dirinya berada. Ia membuka matanya dengan lebar menatap gudang yang berisi jerami kering. Kepalanya menoleh kearah kiri, dan ia menemukan Jong Dae dalam keadaan terikat seperti dirinya.

 

“Jong Dae… Jong Dae… bangunlah! Kau bisa mendengarku?” bisik Bangsawan Cho sambil menatap bergantian pada pintu dan pada Jong Dae.

 

Erangan kecil terdengar dari mulut Jong Dae. Ia mencoba menggerakkan kepalanya, dan saat ia menyadari keadaannya terikat seperti Bangsawan Cho, ia pun terlihat kaget.

 

“Tuan” lirih Jong Dae.

 

“sssttt…” Bangsawan Cho segera meminta Jong Dae agar tidak bersuara.

 

“apa yang terjadi Tuan?” tanya Jong Dae sambil berbisik.

 

“aku tidak tahu. Seharusnya aku yang bertanya padamu” jawab Bangsawan Cho dengan berbisik juga. Tangannya berusaha melepaskan ikatan kuat yang mengikat kedua tangannya.

 

“aah… Tuan, kedatangan anda kemari sepertinya adalah rencana dari Gubernur Yun” kata Jong Dae setelah beberapa saat.

 

“apa? Gubernur Yun?” Bangsawan Cho menautkan kedua alisnya.

“sial… seharusnya aku lebih berhati-hati” Bangsawan Cho geram pada keteledorannya. Seharusnya ia bisa membaca apa yang direncanakan oleh gubernur biadab itu, tapi kali ini ia lengah.

 

“Jong Dae, bisakah kau membuka ikatanku? Kita harus segera meninggalkan tempat ini sekarang juga” tiba-tiba ingatan Bangsawan Cho mulai mencemaskan keadaan Putri Kim. Bagaimana jika Gubernur Yun sengaja memintanya datang ke Guangju, karena ia ingin mencelakai Putri Kim. Bayangan wajah Putri Kim semakin jelas dalam pikirannya.

 

Jong Dae menatap sekelilingnya, namun tidak ada yang bisa ia jadikan alat untuk membuka ikatan tali di tangan Bangsawan Cho.

 

“tuan, kemarilah” angguk Jong Dae, dan Bangsawan Cho segera memberikan ikatan tangannya, karena ia pikir Jong Dae telah menemukan sesuatu yang bisa membuka ikatannya.

 

“saya tidak bisa menemukan alat yang bisa membuka ikatan talinya, tapi semoga, gigi saya masih kuat untuk melepaskan tali itu” kata Jong Dae sambil menundukkan wajahnya. Lalu dengan bantuan giginya, ia berusaha membuka simpul tali yang terikat dengan kuat itu. Bangsawan Cho pun tidak tinggal diam, ia menggerak-gerakan tangannya agar mempermudah pekerjaan Jong Dae. Tapi beberapa menit kemudian, pintu terbuka yang menyebabkan Jong Dae segera kembali pada tempatnya tadi. Bangsawan Cho menelan ludah ketika ia melihat orang itu.

 

“kau siapa?” tanya Bangsawan Cho dingin.

 

“kau tidak perlu tahu siapa aku… yang jelas, seseorang menginginkanmu agar tetap berada di sini” terang orang itu, yang menjadi ketua penjahat yang menyerang Jong Dae di penginapan.

 

“siapa? siapa yang telah menyuruhmu? Gubernur Yun?” Bangsawan Cho geram.

 

“tenanglah… jika dia telah selesai dengan urusannya maka ia akan segera datang kemari” kata orang itu dengan santai.

 

Tanpa sepengetahuan ketua penjahat itu, saat ini tali yang mengikat tangan Bangsawan Cho telah melonggar. Bangsawan Cho merasa lega, tapi ia tidak memperlihatkannya pada sang ketua penjahat.

 

“urusan apa yang dia lakukan saat ini?” tanya Bangsawan Cho kesal.

 

“katanya dia ada sedikit urusan di Istana Bangau Terbang…” jawab sang penjahat dengan nada yang senang.

 

Mendengar nama istananya disebut, sontak Bangsawan Cho dan Jong Dae menatap kaget pada orang yang ada dihadapan mereka.

 

“apa yang dia lakukan di istanaku?” perasaan Bangsawan Cho semakin tidak karuan saat ini. Ia teringat pada ayah dan ibunya, juga pada Putri Kim.

 

“dia… hanya mengatakan, akan menghilangkan barang bukti atas kejahatannya” seringai sang penjahat.

“selain itu, ia ingin membuatmu membayar atas kekacauan yang terjadi dalam hidupnya”

 

“apa?” Bangsawan Cho menatap geram sang penjahat.

 

“seharusnya saat ini kau khawatirkan istrimu. Sepertinya Gubernur Yun mempunyai dendam yang besar padanya”

 

Saat ini entah apa yang ada dalam pikiran Bangsawan Cho. Mengingat istrinya dalam bahaya, dia tidak bisa tinggal diam. Dirinya harus melakukan sesuatu. Tepat saat tali yang mengikat tangannya terlepas, Bangsawan Cho segera menerjang sang penjahat hingga rubuh di tanah. Kedua tangan Bangsawan Cho segera mencengkram leher orang itu membuatnya kesulitan bernafas.

 

“katakan, apa rencana Gubernur Yun pada istriku? Katakan sekarang juga” desis Bangsawan Cho sambil mengeratkan pegangannya di leher sang penjahat.

 

“d… dia… ak…. Akan… mem…bunuh… istrimu…” dengan susah payah, sang penjahat itu bisa mengeluarkan suaranya.

 

“sialan” Bangsawan Cho melepaskan cengkraman tangannya di leher sang penjahat.

 

Saat dirinya akan bangkit, seseorang memukul punggung Bangsawan Cho hingga ia tersungkur.

 

“habisi dia. Aku tidak peduli Gubernur Yun menginginkannya hidup, bunuh dia sekarang juga” desis sang ketua sambil mengusap-usap lehernya yang sakit. Sang anak buah yang tadi memukul Bangsawan Cho bersiap untuk kembali memukul kepala Bangsawan Cho, tapi Jong Dae segera menendang orang itu hingga tersungkur.

 

Walaupun tangannya terikat kebelakang, tapi Jong Dae bisa meraih pedang yang berada diatas lantai. Dan tanpa membuang waktu, ia dengan mudah bisa memutus simpul yang mengikat kedua tangannya itu.

 

Bangsawan Cho mengusap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah, lalu Jong Dae membantunya berdiri.

 

“Tuan, pergilah selamatkan Putri Kim. Saya bisa mengurus mereka disini” kata Jong Dae.

 

“kau yakin?” Bangsawan Cho menatap ragu pada orang kepercayaannya ini.

 

“mereka hanya berdua. Dan saya telah mempelajari titik kelemahan mereka. Pergilah menuju Istana Timur. Setelah ini selesai, saya akan segera ke Istana Bangau Terbang. Jangan khawatir Tuan, dan jangan membuang waktu”

 

Bangsawan Cho tampak memikirkan perkataan Jong Dae. Melihat kedua penjahat di hadapannya menyeringai menang, membuat Bangsawan Cho merasa marah.

 

“hmmh, tidak Jong Dae, aku ingin menghabisi mereka terlebih dulu” kata Bangsawan Cho sambil menarik bambu kecil / toya dari samping kanannya. Ia bisa menjadikan bambu itu sebagai senjatanya membela diri.

 

Bangsawan Cho segera menyerang sang ketua, dan Jong Dae menyerang sang anak buah. Dentingan pedang Jong Dae terdengar sangat jelas, sementara, Bangsawan Cho memainkan tongkat toya dengan cepat. Beberapa kali pukulan toya itu mengenai kepala dan juga tubuh sang ketua, dan itu bukanlah pukulan yang ringan, terbukti dari beberapa kali sang ketua merasakan mual di perutnya saat bambu itu memukul tepat di ulu hatinya.

 

Pukulan terakhirnya, Bangsawan Cho mengarahkan toya itu tepat kearah sang ketua, tapi sayang pedang tajam itu telah membuat toya itu patah menjadi dua. Bangsawan Cho menyeringai menang, saat ujung toya itu berubah menjadi runcing akibat tebasan pedang sang ketua. Dan tanpa menunggu waktu yang lama, Bangsawan Cho segera menendang sang ketua hingga jatuh terbaring diatas tanah. Lututnya segera menahan pergerakan tangannya yang memegangi pedang hingga tidak bisa bergerak lagi dan tanpa ampun, dengan sekuat tenaga, Bangsawan Cho menancapakan ujung toya itu di leher sang ketua. Darah segar mengalir deras dari luka tusukan itu. Mata sang ketua itu melotot dengan mulut yang menganga mengeluarkan banyak darah segar.

 

“Jong Dae, kau urus dia hingga selesai” teriak Bangsawan Cho pada Jong Dae yang masih melawan sang anak buah penjahat itu.

 

“baik Tuan”

 

Bangsawan Cho segera meninggalkan tempat itu. Ia memacu kuda-nya untuk bisa tiba di Istana Timur tepat waktu. Semoga saja ia belum terlambat. Dan semoga Lee bisa melindungi Putri Kim.

 

~o~

 

Putri Kim berlari tanpa arah yang jelas. Yang pasti dia harus menjauh dari Gubernur Yun. Jika ia tertangkap, mungkin lelaki biadab itu akan langsung membunuhnya. Sesekali ia melihat kearah belakang, memastikan bahwa tidak ada yang mengejarnya.

 

Tanpa sengaja, mata Lee menatap bayangan Putri Kim sekilas. Sejak tadi ia terus melawan Man Bo dan anak buahnya. Kemampuan pedang mereka tidak bisa ia remehkan begitu saja. Terbukti, hingga saat ini Man Bo masih terus bertahan menghadapi serangan pedang yang Lee berikan untuknya. Tapi, pandangannya pada Putri Kim tadi membuatnya sedikit lengah, hingga Man Bo berhasil melukai lengan kirinya. Sontak, Lee memundurkan tubuhnya untuk menghindari pedang Man Bo. Tidak ia rasakan darah yang mengucur dari lengan kirinya itu. Dari kejauhan, tampak Gubernur Yun dengan langkah terseok mengikuti kemana Putri Kim pergi.

 

“sial…” bisik Lee. Ia tidak berkonsentrasi pada Man Bo. Yang ada dalam pikirannya saat ini ialah Putri Kim.

 

Lee mencecar Man Bo dengan sekuat tenaganya. Ia ingin segera mengalahkan lelaki ini agar ia bisa menyelamatkan Putri Kim. Suara dentingan pedang terdengar dengan sangat jelas memecahkan kesunyian di malam itu. Tangan Lee dengan sigap memutar pedang itu hingga bisa mengenai tangan Man Bo. Tapi laki-laki itu tidak kalah sigap, saat tangan kirinya terluka, maka iapun segera menebaskan pedangnya pada tubuh Lee. Namun, sayang gerakannya kalah cepat dengan Lee. Dia berputar kearah belakang Man Bo, lalu tanpa menunggu waktu lagi pedang tajamnya segera menancap di punggung Man Bo yang membuat lelaki itu jatuh tersungkur. Pedang tajam Lee tepat mengenai jantung Man Bo, hingga tidak ada harapan lagi lelaki itu untuk hidup. Tubuhnya terkapar di tanah dengan darah yang masih mengucur deras dari punggungnya.

 

Putri Kim terseok memundurkan tubuhnya. Saat ini kakinya tidak bisa ia gerakkan karena sakit terantuk batu saat ia berlari tadi. Gubernur Yun tertawa mengejek melihat Putri Kim yang ketakutan di hadapannya. Gubernur Yun mempermainkan ujung pedang itu di dagu Putri Kim. Gadis itu kini semakin ketakutan. Bibirnya terus menerus gemetar dan kulit wajahnya semakin pucat. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya jika pedang itu harus menghujam tubuhnya.

 

“tidak. Kau tidak pantas untuk mati dengan cepat… setidaknya, kau harus membayar terlebih dulu luka di wajahku ini” kata Gubernur Yun sambil tangan kirinya mengusap pipinya yang masih terasa sakit, namun darahnya sudah tidak terlalu banyak keluar. Dapat Gubernur Yun rasakan wajahnya yang terasa sakit saat ia berbicara. Lalu, tanpa Putri Kim duga, tangan kasar Gubernur Yun dengan keras menampar pipinya hingga ia terjerembab.

 

“Aaaah…” Pekik Putri Kim sambil memegangi pipinya yang panas seolah terbakar. Entah sejak kapan airmata itu telah mengalir di pipi Putri Kim.

 

“itu masih belum ada apa-apa dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan dalam hidupku… Putri Kim, apa kau ingin menyusul ayahmu?” tanya Gubernur Yun pelan.

 

“jawab aku, apakah kau ingin menyusul ayahmu?” dengan kasar, Gubernur Yun menarik dagu Putri Kim agar menatap wajahnya, dapat terlihat darah di sudut bibir Putri Kim akibat tamparan Gubernur Yun tadi.

 

“w-walaupun aku mati, tapi itu tidak akan mengubah apapun. Kejahatanmu akan terungkap, dan kau juga akan mati” desis Putri Kim parau.

 

“kau mengancamku? Aku sama sekali tidak takut. Yang harus kau cemaskan adalah, bagaimana dengan suamimu nanti? apakah ia akan gila karena kematianmu? Aku akan membuatnya menderita seumur hidupnya, dengan membunuhmu. Hehehe” Gubernur Yun terkekeh melihat wajah kaget Putri Kim.

 

“j-jangan s-sakiti suamiku… aku mohon…” Putri Kim tidak kuasa menahan tangisnya.

 

“jika kau mau, aku bisa membuat kalian bersatu di alam sana. Hahaha” Gubernur Yun tertawa dengan penuh kemenangan, segera dihempaskannya wajah Putri Kim hingga ia kembali tersungkur diatas tanah.

 

“aku tidak pernah menyangka, bahwa aku harus membunuhmu dengan tanganku sendiri.. Semuanya karena ayahmu, jadi jangan pernah menyalahkanku. Semua adalah salah ayahmu, ingat itu. Jika dia membiarkan kita menikah, maka hidupmu tidak akan seperti ini… aku sangat merasa kasihan pada nasibmu, Putri Kim… “Putri Kim terisak mendengar kata per kata Gubernur Yun. Hatinya sangat sakit, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

 

Gubernur Yun kembali mendekati dirinya, dan kembali ia menarik dagu Putri Kim. Seringaian yang menyebalkan tetap diperlihatkan oleh gubernur sadis itu.

 

“sayang sekali airmatamu tidak akan mengubah apapun Putri Kim… kau harus segera meninggalkan dunia ini, dan kau harus segera menemani ayahmu yang kesepian menunggumu disana” Gubernur Yun berdiri ia bersiap dengan pedangnya. Tapi, ia menikmati saat dimana Putri Kim ketakutan pada pedangnya.

 

Putri Kim sudah tidak bisa mendengar apapun lagi, bahkan alampun seolah diam tanpa suara. Ketakutan yang menyelimuti perasaannya seolah telah membuat hatinya mati rasa. Tidak ada angin dan tidak ada suara binatang malam yang terdengar. Ia pasrah, karena memang ia tidak bisa melakukan apapun lagi. Jika takdirnya memang harus mati di tangan Gubernur Yun, ia rela. Ia sangat ingin menemui ayahnya, biarkanlah Bangsawan Cho dan juga Lee yang membalaskan kematian dirinya dan juga ayahnya.

 

Lee menatap pemandangan di depannya dengan tatapan kaget. Dia tidak bisa membiarkan Gubernur Yun membunuh Putri Kim di depan matanya sendiri. Tapi, jarak diantara dirinya dan Putri Kim sangat jauh. Lee memikirkan kemungkinan yang akan terjadi, dan ia menggeleng jika Putri Kim harus terluka atau kemungkinan terburuk — mati… Lee sudah tidak bisa berpikir lagi saat ia melihat pedang Gubernur Yun mengayun untuk menusuk perut Putri Kim. Dunianya kini seolah runtuh dan hancur berkeping-keping.

 

Putri Kim menutup matanya dengan tenang, saat ia melihat Gubernur Yun mengayunkan pedangnya untuk menusuk perutnya. Tidak lagi ia rasakan sakit… tidak lagi ia rasakan sedih… semuanya mati rasa… mungkin inilah kematian yang pernah dirasakan oleh ayahnya… Mungkin inilah akhir bagi dirinya merasa terluka atas apa yang terjadi pada Lee dan juga Bangsawan Cho. Walaupun ia memiliki Bangsawan Cho, tapi mereka tidak bisa hidup selamanya, hanya cintanya yang akan menemani Lee dan Bangsawan Cho setelah kematiannya nanti. Cinta Putri Kim tidak akan pernah mati, ia akan selalu tumbuh dalam hati orang-orang yang selalu mencintainya.

 

“maafkan aku ayah… Bangsawan Cho…. Lee… aku mencintai kalian semua” bisik Putri Kim dalam hati.

 

To Be Continue

 

*ayey, mianhe… jongmal mianhe… telaat pake banget apdetnya. Miann… *bow

Oh iya, scene Lee yang menatap hujan itu… kyaaa… bkin aku berblushing ria. Kenapa? karena aku bayangin wajah sungmin yang tampan dan tenang, memandangi tetes hujan dari langit. Ooh-yeaah.. Hihi.. Viiiss..

 

Aah, ini Bangsawan Cho, apakah udah cukup keren? Hehe… gimana ya, Bangsawan Cho itu, cocoknya buat romantis-romatisan aja, bukan buat berkelahi. Jadi, mian, kalo feelnya kurang dapet. ^^~~

 

Dan, ini gimana, udah cukup kejam belum si Gubernur Yun sama Putri Kim. Rasanya pengen cakar muka gubernur yun saat ia menampar bebebku tercinta (putri Kim) ish. Dan aku puas banget pas Putri Kim melukai wajah Gubernur Yun dengan katana. (hahaha, ini apa sih malah ngomenin ff sendiri. hahaha. Viis)

 

Ekhm, bagaimana nih chap ini? Aaw, apakah Putri Kim akan mati? Noooo… tapi aku nggak rela kalo Lee yang harus mati. Hiks.. *duagh.

 

Eummh, apakah Lee bisa menyelamatkan Putri Kim? Apakah dia akan mengorbankan dirinya, mati di tangan Gubernur Yun? Ataukah Bangsawan Cho keburu tiba di Istana Timur dan menghalangi Putri Kim, dan dia yang mati? Atau mendadak, Putri Kim bisa mengelak dari tusukan pedang Gubernur Yun???

 

Atau…

Atau…

Eumh…

Atau…

 

Tiba-tiba datang angin kencang, dan muncullah seorang eyang seksi yang bernama eyang kirey. Dia menghentikan waktu (seperti Do Min Jo) dan menusukkan pedang itu ke perut Gubernur Yun??? *towewew… nggak mungkin lah ya. Hehehe.

 

Silahkan tebak..

Dan tunggu kisah akhirnya di chap depan. Sampai ketemu entah berapa lama lagi. hehe…

Pliiiisss kasih komen dong… Pliiissss *bow… gamsamnida…

*yang nggak komen, suer, aku doain biasnya jelek. Serius loh. Nggak peduli bias kalian Kyu, atau Wook atau Min, yang pasti itu adalah kutukan dari Eyang Kirey… Hwaahwaahwaa. *Kyu, aku pinjam ketawamu yah ^^~

 

 
15 Komentar

Ditulis oleh pada Juni 28, 2014 inci (FF) Moonlight Melody

 

Tag: , , , ,

Moonlight Melody Chap 11

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody
Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun
Rated : T
Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)
Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
*selamat membaca*
~o~
Hampir tiga hari ini, Putri Kim tidak pernah melihat keberadaan Lee di Istana Bangau Terbang. Entah karena pria itu menyibukkan diri dengan tugasnya, atau entah ia sengaja menghindar dari Putri Kim. Gadis itu hanya bisa termenung memikirkan lagi apa yang seharusnya ia lakukan untuk menghadapi Lee. Jujur, dalam hatinya, ia tidak ingin seperti ini. Ia hanya ingin memiliki hubungan yang baik dengan Lee. Memang hubungannya tidak akan pernah terasa sama, tapi ia tidak ingin kehilangan Lee. Selain suaminya, Lee adalah orang kedua yang ia percaya dalam hidupnya. Putri Kim menghembuskan nafas beratnya. Ia mencari bagaimana caranya agar ia bisa bertemu dengan Lee.

“ekhm…” sebuah deheman mampu membuatnya terlonjak kaget. Ia menoleh kearah asal suara, dan Bangsawan Cho hanya tersenyum simpul melihat istrinya yang terlihat kaget.
“apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Bangsawan Cho sambil menaruh kertas yang sejak tadi ia teliti di tangannya.

“tidak ada” geleng Putri Kim perlahan.

Bangsawan Cho tidak percaya pada jawaban istrinya. Ia memandang kedalam mata Putri Kim, mengharap agar istrinya memberikan jawaban yang sebenarnya. Mendapat tatapan yang seperti itu, Putri Kim mengangguk lemah.

“baiklah, tolong jangan menginterogasiku dengan tatapan seperti itu” Putri Kim menundukkan kepala.

“aku tidak menginterogasimu. Katakan apa yang sebenarnya kau pikirkan!” Bangsawan Cho menarik lengan Putri Kim agar duduk disampingnya.

“Lee…” bisik Putri Kim pelan sambil menaruh kepalanya di dada suaminya.

“kau masih mengkhawatirkannya?” Bangsawan Cho mengusap lengan Putri Kim pelan, dan ia hanya mendapat anggukan kepala sebagai jawabannya.
“tenanglah, kemarin dia meminta izinku untuk melatih para pengawal dengan lebih keras. Dia selalu bersemangat ketika melatih kemampuan pedang para pengawal” Bangsawan Cho terkekeh.

“dia menemuimu kemarin?” Putri Kim melepaskan pelukan Bangsawan Cho lalu menatap mata suaminya.

“iya… kenapa memangnya?”

“… t-tidak apa-apa. Hanya saja, kenapa dia tidak datang menemuiku?” kata Putri Kim pelan sambil menundukkan kepala. Dalam hatinya kembali terbesit rasa bersalah pada Lee. Apakah dia benar-benar sudah membenci dirinya, sehingga untuk bertemupun dia tidak mau.

“hmmh, aku merasa cemburu, kau begitu perhatian pada Lee” goda Bangsawan Cho pura-pura marah mendengar jawaban istrinya.

“maksudku bukan seperti itu… suamiku, kau jangan salah paham. Aku… aku hanya merasa tidak nyaman jika aku belum bisa menyelesaikan masalahku dengan Lee. Rasanya aku memikul beban yang sangat berat. Aku…” Putri Kim menggigit bibirnya sambil menatap Bangsawan Cho meminta pengertian.

“aku mengerti. Karena masalahmu itu, aku jadi kehilangan sesuatu yang sangat penting darimu” gumam Bangsawan Cho, pelan, namun cukup bisa di dengar oleh istrinya.

“kehilangan apa?” Putri Kim tidak mengerti.

“senyum manismu… kau tahu, akhir-akhir ini kau jadi lebih pemurung daripada sebelumnya. Bahkan walaupun kau tersenyum, itu hanya senyum seadanya saja. Apakah permasalahan dengan Lee lebih berarti dibandingkan dengan suamimu ini?” Bangsawan Cho pura-pura kesal.

“maaf” kembali kepala Putri Kim menunduk.

“aku bisa membuatmu bertemu dengan Lee, tapi dengan satu syarat” mendengar pernyataan Bangsawan Cho, Putri Kim segera mengangkat kepalanya.

“syarat apa?” Putri Kim bersemangat.

“ccckk… tersenyumlah untukku…” pinta Bangsawan Cho lembut. Mendengar syarat yang dikatakan suaminya, Putri Kim segera menghindari tatapan Bangsawan Cho. Tidak bisa ia tahan bagaimana rasa panas yang terasa di wajahnya. Ia tidak tahu, entah mengapa setiap mendengar suaminya berbicara dengan nada yang lembut, seolah bisa membuat otot tubuhnya menjadi lemas. Bahkan yang lebih parah bisa membuat wajahnya merona merah.

Perlahan bibir mungilnya mulai bergerak membentuk sebuah senyuman manis yang membuat jantung suaminya berdegup kencang. Walaupun mereka telah menikah, tapi tetap saja, melihat senyum itu, selalu membuat jantung Bangsawan Cho berdebar tidak karuan.

“aku akan mengusir Lee dari istana ini… bagaimana bisa dia merebut perhatianmu dariku” Bangsawan Cho berkata sambil mengusap pelan pipi Putri Kim.

“kau jangan bicara seperti itu suamiku” kata Putri Kim sambil memegang tangan Bangsawan Cho yang masih menempel di pipinya. “bagaimanapun juga, hanya kau, satu orang yang aku cintai…” bisik Putri Kim sambil menjatuhkan dirinya dalam pelukan suaminya. Dia tersenyum lembut menyembunyikan wajahnya yang merona di dada suaminya.

“aku mencintaimu, istriku…” bisik Bangsawan Cho sambil mencium pucuk kepala Putri Kim.

Putri Kim merenggangkan pelukan suaminya, ditatapnya mata hitam suaminya seolah ingin memberi keyakinan pada Bangsawan Cho bahwa apa yang ia katakan memang berasal dari dalam hatinya.

“nado…” bisik Putri Kim sambil tersenyum simpul.

Bangsawan Cho meraih bibir mungil istrinya. Dikecupnya dengan lembut bibir merah muda itu sebelum membawanya pada ciuman yang dalam.

~o~

Matahari belum terlalu terik menyinari bumi, juga sinarnya tidaklah menghilangkan udara pagi yang segar yang menyelimuti bumi. Putri Kim berada di tengah-tengah taman yang berada di belakang Paviliun Anggrek Biru. Segarnya aroma bunga seolah membersihkan udara yang berada di dalam paru-parunya.

Sebuah langkah kaki terdengar, yang ia pikir adalah langkah kaki suaminya. Putri Kim segera berbalik untuk melihat suaminya. Senyuman di bibirnya juga bunga chrysant di tangannya menambah cantik pemandangan di taman itu. Tapi, senyum di bibirnya perlahan memudar ketika ia sadar siapa orang yang berada di hadapannya.

“Lee…” bibir kecilnya sedikit gemetar.

Lee hanya menunduk lalu membungkuk memberi hormat pada Putri Kim.

Mereka berdua duduk menempati sebuah bangku yang berada di bawah pohon mapel. Suasana terasa sangat sepi. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Angin sepoi-sepoi terasa menyentuh kulit wajah Putri Kim dan Lee. Hembusan nafas yang pelan seolah menjadi cara mereka berinteraksi. Suara dedaunan yang bergemerisik tertiup angin pagi menjadi teman dalam kesunyian mereka di tempat itu. Bunga chrysant yang berada di pangkuan Putri Kim menguarkan wangi yang menenangkan gadis itu. Bahkan Lee yang duduk di sampingnya dapat juga merasakan aroma bunga itu.

Kesunyian itu terpecahkan ketika suara Lee terdengar di telinga Putri Kim. Rasanya tidak ada hal yang membuat hati Putri Kim bahagia selain ketika Lee memanggil namanya lagi. Dia sangat merindukan Lee. Tentu saja bukan rindu dalam arti sebagai seorang kekasih, tapi dia seperti merasa kehilangan Lee. Walaupun jarak mereka berdekatan, tapi mereka seolah terpisah oleh satu jurang yang sangat dalam. Putri Kim ingin menghilangkan jurang itu, setidaknya biarkan ia dekat kembali dengan Lee sebagai seorang teman.

“ekhm… Bangsawan Cho memintaku datang kemari. Adakah yang ingin anda katakan?” tanya Lee hati-hati. Pandangan matanya menatap tanah yang ia pijak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Berdua bersama Putri Kim tidak lagi membuat hatinya tenang seperti dulu. Sekarang yang ia rasakan hanya rasa canggung yang sangat besar. Tidak bisakah ia kembali dekat dengan Putri Kim? Tidak bisakah ia kembali menjadi pengawal pribadi Putri Kim yang mendapat kepercayaan dari gadis itu? Rasanya hal itu mustahil. Ia merasa Putri Kim membencinya, karena sejak tadi gadis itu hanya diam. Apakah ia salah telah memenuhi permintaan Bangsawan Cho untuk menemui istrinya itu?

“Lee… apakah kau membenciku?” pertanyaan macam apa itu? Tidakkah Putri Kim sadari, seharusnya Lee lah yang menanyakan hal itu. Selama tiga hari ini Lee terus menghindari Putri Kim, mencegah agar Putri Kim tidak semakin membencinya ketika mereka saling bertemu. Tapi saat ini, mengapa Putri Kim harus menanyakan hal seperti ini.

“apa maksud anda Putri?” Lee memberanikan diri menoleh, menatap keindahan yang berada di sampingnya. Mata karamelnya menatap kosong kedepan, tatapannya seolah merefleksikan apa yang saat ini ada dalam pikirannya. Dapat pria itu lihat betapa berat beban yang dirasakan Putri Kim saat ini. Apakah karena dirinya? Tentu saja Lee, jika bukan kau siapa lagi yang telah menyebabkan hati Putri Kim teriris sakit.

“aku tahu, aku telah melukaimu sangat dalam. Bahkan mungkin aku telah menyebabkan luka yang tidak bisa kau maafkan. Tapi aku mohon Lee, jangan menghindariku. Aku selalu merasa sakit jika mengingat sebanyak apa luka yang telah aku torehkan padamu. Maafkan aku Lee, tapi saat aku tidak bisa melihatmu, hatiku merasa sakit…” mata indah itu mulai berkaca-kaca. Menahan perasaannya agar tidak tertumpah. Bagaimana bisa Putri Kim berkata demikian. Sementara dirinyalah yang telah melukai hati Putri Kim. Bagaimana bisa justru Putri Kim yang meminta maaf padanya.

“hentikan Putri Kim… aku mohon…” desis Lee, dia tidak bisa melihat Putri Kim menangis di hadapannya. Tidak. Ia tidak bisa. Karena ia tahu, jika Putri Kim menangis, tidak ada yang bisa ia lakukan lagi.
“seharusnya aku yang meminta maafmu… aku telah bersikap sangat kasar padamu. Aku tidaklah menghindar… aku hanya tidak ingin kekasaran sikapku kembali terulang. Aku bingung… apa yang harus aku lakukan jika aku berhadapan denganmu lagi. menyadari bahwa hari itu kau menangis karena aku, aku menyesalinya seumur hidupku. Tolong… maafkan kelancangan dan kekasaranku Putri Kim…” Lee menoleh menatap mata yang masih berkaca-kaca itu penuh dengan penyesalan. Ia tidak tahu berapa lama ia harus menanggung rasa bersalah, ketika ia tahu bahwa Putri Kim menangis karena dirinya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya. Permintaan maaf-pun rasanya tidak cukup untuk menghilangkan penyesalan di hatinya.

Putri Kim menggeleng pelan.
“aku tahu pasti alasannya Lee… aku tahu kau kecewa padaku. Maafkan aku…” Putri Kim tidak bisa lagi menahan airmatanya. Cairan bening itu kini mengalir perlahan menyusuri lekuk pipinya. Lee hanya menggenggam erat kepalan tangannya. Ingin rasanya ia menghapus airmata itu, tapi entah mengapa tangannya terasa sangat berat untuk bergerak.

“tidak… aku senang kau telah mampu untuk memilih mana yang terbaik dalam hidupmu. Bagiku, apa yang menjadi kebahagiaanmu, itulah yang terpenting. Jika memang, Bangsawan Cho bisa membuatmu berbahagia, maka jalanilah hidup dengannya. Tidak perlu memikirkan hal lain lagi selain kebahagiaanmu. Apa kau mengerti?” Putri Kim hanya mengangguk perlahan.
“…tidak bisakah kita memulai kembali dari awal?” Lee tidak tahu darimana datangnya keberanian untuk mengucapkan kalimat itu. Putri Kim hanya menatap tidak mengerti.
“kita telah banyak melewati hal yang sangat menyakitkan. Tidak bisakah kita memulai kembali dengan hal yang lebih indah. Kita harus berhenti hidup di masa lalu. Sudah saatnya kita menginjak masa depan. Tidak ada hal yang harus kita ingat dari masalalu yang menyedihkan. Kita harus mengawali masa depan untuk hidup kita dengan sebuah senyum hangat. Maukah anda melakukan hal itu?” Lee terlihat menyunggingkan senyum. Senyum lembut nan tulus yang selalu membuat Putri Kim tenang. Lee berharap dengan senyumannya kali ini bisa menghancurkan semua sakit yang ia rasakan. Ia benar-benar berharap bahwa hidupnya di masa depan bisa ia gapai dengan perasaan bahagia.

“aku akan mencobanya” Lee tersenyum lega begitupun dengan Putri Kim. Saat ini mereka bersepakat untuk menyimpan kenangan masa lalu, airmata kesedihan, dan rasa sakit yang pernah mereka alami. Mereka akan menyimpannya dalam sebuah tempat yang tidak akan pernah bisa mereka raih kembali. Senyum hangat itu kembali merekah dari bibir Putri Kim maupun Lee. Putri Kim merasa lega, akhirnya ia menemukan satu kesepakatan dengan Lee. Beban dihatinya perlahan berkurang ketika ia melihat senyuman khas pengawalnya yang mampu menenangkan hatinya.

“maafkan aku Putri Kim…” untuk yang terakhir kalinya Lee meminta permohonan maaf dari Putri Kim. Namun gadis itu hanya menggeleng sambil tersenyum.

“tidak ada lagi kata maaf. Kita sudah sepakat untuk memulai hal yang baru. Jadi, aku mohon jangan memulai dengan kata maaf” mata karamel itu kembali berbinar, membuat senyum Lee semakin mengembang. Ia menjadi tenang melihat bagaimana leganya perasaan Putri Kim saat ini.

“kalau begitu aku mohon diri. Masih ada hal yang harus aku kerjakan” Lee berdiri lalu membungkuk pada Putri Kim.

“eummh….” Putri Kim hanya mengangguk sambil tersenyum.

Lee berlalu dari hadapan Putri Kim. Ia berjalan meninggalkan Putri Kim sendirian.

“Lee…” teriak Putri Kim sebelum Lee semakin menjauh darinya. Pria itu menoleh sambil tersenyum.
“aku mengundangmu makan malam di Istana Bangau Terbang… kau harus datang”

“baiklah aku akan datang” angguk Lee bersemangat.

Ia kembali berjalan meninggalkan tempat itu. Senyum di bibirnya masih belum menghilang. Sekali lagi, ia bisa membodohi dunia disekelilingnya dengan senyum palsunya itu. Tidak ada yang mengetahui dibalik senyum manis itu tersimpan sebuah rasa sakit, yang tidak bisa lagi Lee gambarkan seberapa sakitnya. Hatinya seolah telah mati rasa sehingga ia tidak bisa merasakan sakitnya lagi. Tapi yang ia tahu, bahwa kini hatinya terluka. Luka yang menganga yang memang tidak akan pernah bisa disembuhkan lagi. Perlahan senyum itu memudar… Lee menggigit pelan bibir bawahnya.

‘maafkan aku Putri Kim… aku tidak bisa memenuhi janjiku’ ia hanya ingin Putri Kim bahagia dan menjalani kehidupannya dengan tenang. Tidak lagi dipusingkan oleh perasaan bersalah padanya.

~o~

Keluarga Cho, Putri Kim dan Lee kini tengah duduk mengitari satu meja yang berisi berbagai makanan. Putri Kim sengaja meminta pelayan menyiapkan makanan dengan agak banyak. Ia seolah ingin merayakan bahwa hubungan diantara dirinya, Bangsawan Cho, maupun Lee kini telah membaik. Nyonya Cho terlihat tidak terlalu mempermasalahkan apa yang dilakukan oleh menantunya. Baginya, kebahagiaan Putri Kim adalah kebahagiaannya juga.

“aku senang kau telah mengajarkan banyak hal pada pengawal istana. Bahkan kau mengajarkan mereka taktik bermain pedang yang baik” kata Tuan Cho seraya menatap Lee.

“itu sudah menjadi tugas saya Tuan. Tidak ada salahnya berbagi ilmu yang saya miliki untuk kebaikan semua orang” Lee mengangguk merendah.

“kau sangat baik Lee. Jika saja aku memiliki seorang putri, aku tidak akan segan-segan untuk menikahkannya denganmu” kata Nyonya Cho sambil tersenyum. Lee berusaha sekuat mungkin agar tidak tersedak makanan yang sedang ia telan. Putri Kim dan Bangsawan Cho melirik padanya sambil tersenyum.

“itu terlalu berlebihan Nyonya… saya hanyalah seorang pengawal, tidak pantas mendapatkan kebaikan sebesar itu” Lee mengangguk penuh hormat.

“dengar, kehadiranmu di istana ini, membuatku merasa seolah memiliki dua orang Putra. Satu Cho Kyuhyun, dan satu lagi kau Lee” Lee tersenyum, selama hidupnya hanya Tuan Kim dan Tuan Cho lah yang menganggapnya sebagai anggota keluarga. Ia bersyukur bisa diterima dengan baik di keluarga ini.

“tidak salah kau menjadi orang kepercayaan Kim Myung Oh, bahkan akupun merasa bangga padamu” tambah Tuan Cho.

“terima kasih Tuan” Lee kembali menganggukan kepala.

Mendengar nama ayahnya disebut, perlahan raut wajah Putri Kim mulai berubah. Dia merasa sangat merindukan ayahnya. Seandainya beliau masih hidup, mungkin akan terasa lengkap kebahagiaan yang tengah ia rasakan saat ini.

“ayah… ibu… aku punya satu permintaan” ucap Putri Kim tiba-tiba membuat semua mata memandang tertuju padanya.

“heum… katakanlah, apa permintaanmu menantuku?” Nyonya Cho menjawab lembut.

“rasanya sudah sangat lama aku meninggalkan Istana Timur. Bolehkan untuk beberapa hari aku pulang kesana?”

“tentu saja, jika suamimu mengijinkan” angguk Tuan Cho sambil melirik putranya.

“tidak ada alasan untuk melarangmu pergi ke rumahmu sendiri. Tentu saja aku mengijinkanmu” jawab Bangsawan Cho lembut.

“terima kasih banyak suamiku…” Putri Kim merasa bahwa kebahagiaanya kali ini benar-benar sempurna. Ia tidak menginginkan hal lain lagi selain merasakan perasaan bahagia ini selamanya. Rasa bahagia yang tidak bisa digantikan dengan apapun juga.

Suasana makan siang itu terasa hangat. Dengan diselingi oleh candaan dari Tuan dan Nyonya Cho. Bahkan Lee pun tidak segan untuk bergabung dalam pembicaraan di meja makan itu. Semuanya tampak bahagia. Senyum cerah dari setiap anggota keluarga seolah terlihat sama dengan cerahnya cuaca di luar sana.

~o~

Suatu sore, Putri Kim menemui suaminya yang sedang berkutat dengan beberapa berkas di tangannya. Ia tidak menyadari kehadiran Putri Kim, hingga istrinya duduk disampingnya sambil menaruh cangkir teh yang ia bawa diatas meja.

“apa kau sangat sibuk sehingga tidak menyadari kehadiranku?” Putri Kim sedikit merajuk.

“ahaha… maafkan aku, istriku yang cantik… ada beberapa dokumen yang harus aku periksa” kata Bangsawan Cho lembut sambil meraih tangan Putri Kim agar duduk di pangkuannya.

Putri Kim agak kaget ketika Bangsawan Cho menempatkannya diatas pangkuan suaminya.

“kau sedang sibuk, aku tidak ingin mengganggumu” Putri Kim memiringkan kepalanya menggoda Bangsawan Cho, tangan mungilnya melingkari pundak suaminya.

“cckk, tentu saja tidak, sayang…” Putri Kim merona mendengar perkataan suaminya. Tangan halusnya mengusap punggung Putri Kim dengan lembut.

“agar kau tidak terlalu lelah, sebaiknya minumlah dulu teh ini” kata Putri Kim sambil meraih cangkir teh yang berada tidak jauh dari tempatnya kini.

“kau memang sangat mengerti aku dengan baik. Bagaimana kau tahu bahwa saat ini aku sedang kehausan?” Putri Kim yakin pertanyaan itu bukanlah pertanyaan sebenarnya. Bangsawan Cho memang pandai membuat hatinya meleleh hangat. Kata-kata yang romatis, sikap yang lembut, rasanya sempurna memiliki seorang suami seperti Bangsawan Cho. Lelaki itu meneguk habis teh yang dibawa oleh istrinya, membuat Putri Kim tersenyum senang.

“memangnya apa yang sedang kau kerjakan? Ini semua berkas apa?” Putri Kim menggeser satu kertas dengan kertas yang lainnya, walaupun ia tidak mengerti apa saja yang tertulis di dalamnya, tapi ia yakin bahwa ini adalah hal yang sangat penting sehingga membuat Bangsawan Cho mengurung diri sejak pagi di ruang kerjanya ini.

“itu adalah berkas yang sangat penting. Dengan berkas-berkas itu kita bisa memasukan Gubernur Yun kedalam penjara” mendengar nama Gubernur Yun, Putri Kim menggemertakan giginya.

“baguslah kalau begitu. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya membusuk di penjara, atau kalau perlu, kau harus menyiksanya terlebih dulu setelah itu memandikannya dengan air garam agar ia merasakan sakit yang teramat sangat” kata Putri Kim geram.

“cckk… kau tidak boleh memikirkan hal sekasar itu… percayakan semuanya padaku, aku tidak akan membuatmu kecewa” kata Bangsawan Cho sambil menarik tangan Putri Kim, lalu mencium jemari tangannya yang lentik itu.

“aku mengandalkanmu suamiku…” kata Putri Kim dengan mata berbinar. Ia kembali menempatkan kedua tangannya di pundak Bangsawan Cho.

Melihat senyum manis istrinya, Bangsawan Cho terlihat sedikit merajuk.

“kau kenapa?” Putri Kim mengusap wajah Bangsawan Cho dengan pelan.

“sejak kemarin, kau selalu tersenyum manis. Dan aku tahu, ini karena Lee… ish… kau tahu aku mulai cemburu padanya” Bangsawan Cho menatap mata karamel istrinya.

“benarkah?… Cckk kau tidak boleh cemburu lagi padanya. Sudah aku katakan, aku hanya mencintaimu seorang, apa belum cukup?” Bangsawan Cho hanya menggelengkan kepalanya.

“kalau begitu apakah ini cukup?” Putri Kim mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya. Dilumatnya bibir Bangsawan Cho yang sedang cemberut tadi. Putri Kim hanya tersenyum melihat reaksi suaminya yang melotot kaget.

“kau…” Bangsawan Cho gemas melihat tindakan istrinya barusan. Dengan perlahan, ia memiringkan tubuhnya, hingga Putri Kim yang berada di pangkuannya tergeletak di lantai. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah seringaian saat melihat Putri Kim yang agak kebingungan.

“kenapa?” tanya Bangsawan Cho dengan nada penuh kemenangan, setengah dari tubuhnya menindih tubuh Putri Kim.

“s-suamiku… kau… kau mau apa?”

Jemari tangan Bangsawan Cho hanya mengusap pipi lembut Putri Kim. Nafas hangatnya berpadu dengan nafas istrinya.

“tidak seharusnya kau menggodaku seperti tadi” bisik Bangsawan Cho yang membuat bulu di permukaan kulit Putri Kim meremang.

“aku tidak bermaksud untuk menggodamu” Putri Kim berusaha membela diri.

“sssttt…” desis Bangsawan Cho sambil meletakan telunjuknya di bibir mungil Putri Kim yang membuat istrinya terbungkam dan melirik suaminya dengan gelisah.

Bibir Bangsawan Cho menyusuri pipi istrinya, kemudian perlahan menuruni tulang rahang yang terlihat sangat tegas itu. Tiba di bawah dagu, bibirnya kembali naik keatas menuju benda mungil berwarna merah muda. Dengan tidak sabar, ia melumat bibir itu dengan penuh nafsu. Putri Kim hanya memejamkan mata, sambil sesekali bibirnya terbuka mengijinkan lidah suaminya untuk memasuki bibirnya. Dengan jantung yang berdegup dan mata yang terpejam, Putri Kim membiarkan lidahnya terbelit lidah suaminya. Ia sangat menikmati perlakuan suaminya. Ketika tangan Bangsawan Cho mulai menyentuh bagian atas tubuhnya, Putri Kim segera sadar pada keberadaan mereka saat ini.

“suamiku… h-hentikan… ini masih sore…” dengan susah payah, ia akhirnya bisa mengeluarkan suaranya.

“memangnya kenapa? tidak masalah” geleng Bangsawan Cho yang posisinya masih menindih tubuh Putri Kim.

“bagaimana jika ada orang yang datang? Kita masih berada di perpustakaan” Putri Kim mencoba mengingatkan Bangsawan Cho.

“jadi? Apakah kita harus ke kamar sekarang?” tanya Bangsawan Cho sambil mengedipkan mata.

~o~

Malam itu, setelah selesai makan malam, Putri Kim dan Bangsawan Cho berjalan disekitar Istana Bangau Terbang. Beberapa pelayan terlihat mengikutinya dari belakang, tentu saja beberapa jarak dari mereka. Senyum di bibir Putri Kim tidak pernah menghilang, seolah ia tengah merasakan kebahagiaan yang tidak akan pernah hilang dalam hidupnya. Sementara Bangsawan Cho lebih memilih berjalan dalam diam. Menikmati senyum manis istrinya, jauh lebih membuat hatinya tenang. Sesekali ia mendongakkan kepala, menatap taburan bintang diatas gelapnya langit malam. Hembusan angin terasa sangat dingin menyapu permukaan kulit wajahnya. Dinginnya seolah dapat ia rasakan hingga masuk kedalam sela-sela hatinya yang entah mengapa merasakan perasaan yang bergemuruh.

Putri Kim terdiam sejenak. Saat ini mereka telah tiba di depan pintu kamar Paviliun Anggrek Biru. Melihat sikap suaminya yang tidak biasa, Putri Kim merasakan perasaan aneh dihatinya.

“suamiku, kau baik-baik saja?” tanya Putri Kim mengurungkan niat untuk memasuki kamar yang pintunya telah dibuka oleh pelayan.

“tentu saja… memangnya kenapa?” Bangsawan Cho menatap Putri Kim heran.

“sejak tadi kau hanya diam. Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui?”

Bukannya menjawab, Bangsawan Cho berjalan kearah tembok yang berdampingan dengan pilar kamar. Rasanya ia ingin lebih lama berada di luar, menyesap udara malam yang segar. Bangsawan Cho menyandarkan dirinya pada pilar itu, dan Putri Kim tampak mengikutinya dari belakang.

“katakan sesuatu, melihatmu seperti ini membuatku khawatir” Putri Kim menatap wajah suaminya dengan cemas.

“kapan kau akan berangkat ke Istana Timur?” tanya Bangsawan Cho menelisik wajah cantik istrinya.

“eumh lusa. Apakah ada sesuatu dengan keberangkatan kita?”

“tidak ada” geleng Bangsawan Cho. “tapi lusa aku akan pergi ke Guangju” terdengar nada penyesalan dari suara Bangsawan Cho.

“Guangju? Untuk apa?”

“para pedagang Cina akan datang lusa, dan sebagai tuan rumah yang baik, aku harus menyambut kedatangan mereka. Selain itu, bisnis kali ini sangat penting untuk perniagaan yang ayahmu titipkan padaku. Aku tidak bisa menjalankan bisnis ini dengan asal-asalan kan?” Bangsawan Cho tersenyum menenangkan raut khawatir dari wajah istrinya.

“kalau begitu, kita pergi ke Istana Timur setelah kau pulang dari Guangju. Bagaimana?” tawar Putri Kim, tapi Bangsawan Cho segera menggelengkan kepalanya.

“tidak, kau pergilah lebih dulu. Aku akan meminta Lee agar menjagamu disana. Nanti,setelah aku selesai dengan urusanku di Guangju, baru aku pergi menyusulmu ke Istana Timur” putus Bangsawan Cho.

“tapi, aku tidak bisa pergi jika tanpamu” Putri Kim merajuk.

“kau tidak perlu cemas seperti itu… aku berjanji akan mempercepat urusanku di Guangju agar bisa tiba di Istana Timur lebih awal” tapi Putri Kim merasakan ada nada yang lain dari suara suaminya ini. Ia merasa tidak tenang jika harus berpisah dari Bangsawan Cho. Memang ini bukanlah perpisahan dalam arti sebenarnya. Tapi, entahlah, perasaan hatinya seolah menjadi kusut setelah mendengar keputusan Bangsawan Cho barusan.

“baiklah, jika itu keinginanmu. Aku akan menunggu di Istana Timur” bisik Putri Kim sambil memeluk tubuh suaminya. Kepalanya ia benamkan dalam pelukan hangat sang suami. Angin yang dingin, tidak ia rasakan lagi karena sekarang ada tubuh suaminya yang memeluknya dengan hangat.

~o~

Seluruh persiapan untuk keberangkatan Putri Kim telah selesai. Setelah berpamitan dengan mertuanya, Putri Kim berjalan ke arah tandu. Dari sebelah kanannya, tampak Lee yang telah siap dengan memegang tali kekang kuda hitam yang akan ia tunggangi nanti. beberapa orang pengawal tampak siap sedia untuk mengawal perjalanan Putri Kim ke Istana Timur.

Bangsawan Cho masih memegang pergelangan tangan Putri Kim. Seolah tidak rela jika ia harus membiarkan istrinya melakukan perjalan seorang diri, tanpa dirinya yang melindungi Putri Kim. Tapi, ketika ia mengingat lagi siapa yang menemani Putri Kim, ketenangan hatinya seolah datang kembali. Ia bisa mengandalkan Lee. Ia bisa mempercayai Lee. Tentu saja.

“jaga dirimu dengan baik. Jangan lupa, setelah selesai di Guangju, kau harus segera datang ke Istana Timur” pesan Putri Kim sambil menatap wajah suaminya.

Bangsawan Cho menelisik tiap inchi wajah istrinya ini. Ada rasa tidak rela, tapi ia harus melakukannya.

“kau juga, istriku. Berhati-hatilah selama di perjalanan… aku akan merindukanmu” bisik Bangsawan Cho di akhir kalimatnya, memastikan hanya istrinya saja yang bisa mendengar kalimat terakhirnya. Pipi Putri Kim merona, ia menghindari tatapan lembut suaminya sambil tersenyum simpul.

“begitupun denganku” suara Putri Kim pun seolah suara angin yang menyapa gendang telinga Bangsawan Cho. Pelan, namun terdengar sangat jelas.

“masuklah kedalam tandu” perintah Bangsawan Cho.

Putri Kim tampak ragu untuk melepaskan pegangan tangan Bangsawan Cho. Hatinya terasa berat, tapi ini harus dilakukan. Jika ia tetap memegangi tangan itu, bagaimana ia akan tiba di Istana Timur. Dengan susah payah, akhirnya jemari yang saling berkait itu harus saling terpisah. Dari jauh Lee melihat bagaimana sulitnya “perpisahan” ini bagi Bangsawan Cho dan Putri Kim. Ia tidak berkata apapun hanya menatap pasangan itu dengan perasaan aneh. ‘apakah yang akan terjadi? Seolah mendung tebal itu bergerak perlahan menuju arah mereka…’

“Lee, tolong jaga istriku” amanat Bangsawan Cho.

“eumh, tentu saja. Aku akan melakukan tugasku dengan baik” angguk Lee sambil tersenyum.

Perlahan rombongan Putri Kim mulai bergerak maju. Dari dalam tandu, Putri Kim menatap wajah suaminya dengan perasaan was-was. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum, menghindari gemuruh di dadanya yang kian tidak menentu. Ia tidak tahu ada apakah dengan hatinya ini? Seolah ia merasa perjalanannya kali ini berada dalam tatapan tajam seseorang yang membuatnya tidak leluasa untuk bergerak. Tapi kemudian ketika ia melihat siapa yang mengawalnya, kembali hatinya menjadi tenang. Lee, selama Lee masih bersamanya, maka semua akan baik-baik saja. Putri Kim yakin akan hal itu.

~o~

Seorang pelayan menuangkan teh kedalam cangkir yang berada di hadapan seorang lelaki tua. Sebuah seringaian licik tercetak di wajahnya. Dia mempermainkan ujung dari pegangan pedang yang berada di atas meja. Setelah pelayan selesai menuangkan teh dan menyiapkan makanan kecil untuknya, ia menyuruh pelayan itu untuk keluar, meninggalkannya sendiri di dalam ruangannya. Tidak berapa lama, sebuah ketukan terdengar dari arah pintu.

Tok tok tok

“Tuan, saya Man Bo, tolong perkenankan saya untuk masuk” kata suara dari luar.

“masuklah!” perintah orang tersebut dengan suara yang berat.

Setelah mendapat persetujuan, Man Bo memasuki ruangan tuannya. Disana nampak Gubernur Yun tengah duduk sambil menikmati secangkir teh yang kini tengah disesapnya perlahan.

“ada apa?” tanya Gubernur Yun dingin sambil melirik pada Man Bo yang duduk sambil menundukkan kepalanya.

“saya membawa kabar baik Tuan. Bangsawan Cho telah menyetujui kerjasama untuk penjualan kain sutera”

Gubernur Yun segera menaruh cangkir diatas meja dan tatapan matanya penuh nyala kemenangan.

“benarkah itu? Baguslah… kali ini, dia masuk kedalam perangkapku. Dia pikir dia siapa? bagaimana bisa anak kemarin sore mencoba untuk mengalahkanku. Hahaaha” tawa Gubernur Yun tanpa beban. “kau urus dengan baik. aku tidak ingin kau melakukan kesalahan seperti anak buahmu yang bodoh itu” Gubernur Yun memelototkan matanya ketika ia teringat kejadian pembunuhan pada Tuan Kim. ‘akan kupastikan keluarga walikota Cho akan hancur ditanganku. Heehehehe’ dia terkekeh membayangkan kemenangan yang akan segera ia dapatkan.

“baik Tuan, saya akan mengurusnya dengan hati-hati” angguk Man Bo.

“bagus, sekarang tinggalkan aku sendirian” perintah Gubernur Yun tegas.

-To Be Continue-

Hehehe, saya datang…. *tring.
Bagaimana chap ini? Seru nggak?? Hehe.. Aah, jangan minta yang lebih panjang lagi ya. Ini juga udah kepanjangan sebenarnya. Wkwkw. Penasaran nggak sama kelanjutannya? Hihi. Yang masih tersisa, ada dua chap terakhir. Aku pengen segera end. *khusus ff ini kerasa sangat melelahkan. *plaak.

Ow-ow-ow , niiih yang kangen sama eyang Yun, aku munculin dikit. Semoga bisa mengobati kerinduan kalian pada Gubernur sadis itu. Ghahaha.
*ppsstt sengaja nggak di protek, toh kalian juga tetep mesti komen dulu di chap ini kalau pengen dapet password buat next chap. Huahahaah. *ketawa Kyuhyun.
Oke, kutunggu review dan komentarnya. Aah, gimana KyuWook momentnya? Puas apa masih kurang? Hahaa..
See u next time. 🙂

 
17 Komentar

Ditulis oleh pada Mei 1, 2014 inci (FF) Moonlight Melody

 

Tag: , , , ,

Moonlight Melody Chap 10

moonlight melody yuhuu

 

Moonlight Melody
Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun
Rated : T
Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)
Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
*selamat membaca*
~o~

*** eummh, coba deh sambil denger lagu davichi ft t-ara -urisaranghetjanha- eummh, puternya pelan-pelan aja. *sedikit saran aja. kkkk***

 

Warna kekuningan kini menyaput permukaan langit senja. Beberapa ekor burung terbang melintasi langit untuk kembali ke sarangnya. Gemerisik dedaunan terdengar menyapa telinga ketika angin yang lembut meniupnya perlahan. Udara yang cukup segar dirasakan oleh Putri Kim yang sejak tadi duduk termenung di jendela kamarnya. Seharian ini, dirinya hanya menghabiskan waktunya didalam kamar. Tidak ada hal yang dianggapnya menarik di luar sana. Sesekali ia meneruskan sulaman bunga teratai yang baru selesai separuhnya.

Beberapa menit yang lalu ia meminta pelayan untuk menyiapkan air hangat. Sepertinya berendam air hangat menjadi pilihannya sore ini. Sekedar untuk melemaskan otot-otot di tubuhnya. Sambil ia menunggu pelayan datang, kembali ia memusatkan perhatiannya pada sulaman di depannya.

Tok tok tok

Putri Kim menolehkan kepalanya ketika melihat kepala pelayan yang melayani kediamannya berdiri di ambang pintu.

“Putri, air hangat telah selesai disiapkan” Putri Kim hanya mengangguk sambil tersenyum.

“baiklah”

Putri Kim bangkit dari duduknya seraya menuju pintu kamar.

“silahkan Putri” Pelayan itu mengiringi Putri Kim menyusuri koridor menuju ruangan belakang tempat dimana ia akan berendam air hangat.

Pintu kamar mandi terbuka, terlihat uap yang mengepul di dalam ruangan tersebut. Dua orang pelayan datang mendekati Putri Kim untuk membantunya membuka pakaiannya.

“tidak perlu… aku ingin sendirian disini! Kalian berjaga saja diluar” pinta Putri Kim sambil tersenyum. Walaupun ia seorang putri, tapi adakalanya, ia ingin melakukan sesuatu seorang diri tanpa bantuan dari orang lain.

“baiklah Putri” angguk pelayan dengan hormat.

Setelah itu mereka meninggalkan Putri Kim sendirian didalam kamar mandi dan mereka berdiri di depan pintu menunggu hingga Putri Kim selesai dengan “ritual” kecantikannya.

Setelah pintu tertutup, Putri Kim segera melepaskan hanboknya. Ia menaruhnya pada sebuah gantungan yang terdapat di sana. Kemudian dengan tangannya, ia melepaskan aksesoris rambut yang menghiasi kepalanya dan membiarkan rambutnya yang panjang tergerai indah menutupi punggungnya yang putih. Sejak tadi, aroma mawar yang berasal dari kelopak mawar yang bertaburan di permukaan air menggelitik indra penciumannya. Membuatnya tidak sabar untuk segera merendam tubuhnya di dalam bak yang berisi air hangat itu.

Perlahan kakinya mulai menyentuh permukaan air. Lalu tidak berapa lama, ia memasukan tubuhnya kedalam bak tersebut. Rasa hangat seolah memasuki pori-pori kulitnya yang terbuka. Terasa sangat nyaman dan menenangkan. Putri Kim duduk bersandar di ujung bak, bahunya yang putih terlihat diantara merahnya kelopak mawar yang menutupi permukaan air.

Mata Putri Kim terpejam menikmati rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya. Aroma mawar memang memberikan ketenangan tersendiri untuk dirinya. Diusapnya perlahan kelopak mawar itu di tangannya, membayangkan kembali ketika tangan Bangsawan Cho mengusap tangannya dengan lembut. Putri Kim tersadar dari bayang-bayang lamunannya. Dia hanya tersenyum simpul sambil membasuh wajahnya hingga terasa segar.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, membuatnya terlonjak kaget lalu membenamkan bahunya didalam air. Putri Kim menatap penuh dengan was-was pada orang yang baru saja membuka pintu. Dari balik tirai tipis yang berwarna putih, Putri Kim dapat melihat dengan jelas siapa yang berada disana.

“su-suamiku…” suaranya agak gemetar.

“sepertinya nyaman sekali berada di dalam sana” kata Bangsawan Cho sambil mendekati bak mandi.

“k-kau bisa menungguku hingga selesai. Tungggulah sebentar lagi” Putri Kim terlihat tidak tenang ketika Bangsawan Cho menyingkap tirai yang menghalangi pandangannya itu.

“heey… aku tidak akan menunggumu hingga selesai. Justru aku datang kemari untuk menemanimu, istriku yang cantik” goda Bangsawan Cho sambil perlahan membuka kancing bajunya.

“s-suamiku… apa yang akan kau lakukan?” tanya Putri Kim panik, ketika melihat Bangsawan Cho yang telah bertelanjang dada.

“kau kenapa? Apakah salah jika seorang suami ingin menemani istrinya? Hmmh?

Putri Kim tidak tahu apa yang dilakukan oleh Bangsawan Cho berikutnya. Dia hanya menolehkan kepalanya kearah kiri, menghindar dari tatapan nakal suaminya. Bahunya semakin ia benamkan kedalam air. Tidak lama kemudian, terasa seseorang memasuki bak mandi. Dengan gemetar, Putri Kim menatap suaminya yang kini telah duduk nyaman disampingnya. Lengannya terasa menempel dengan lengan Bangsawan Cho, mengalirkan satu rasa yang membuat pipinya merona. Perlahan ia menggeser tubuhnya agar memberikan jarak bagi dirinya dan Bangsawan Cho.

“ummh, apakah setiap mandi, kau menghabiskan mawar sebanyak ini?” tanya Bangsawan Cho sambil menatapi permukaan air yang seluruhnya tertutupi kelopak mawar.

“tentu saja tidak… Jika setiap mandi, aku harus mengorbankan puluhan bunga mawar, lalu bagaimana tamanku akan berbunga?” Putri Kim memberanikan diri melirik suaminya.

“ahahhaa, pantas saja tubuhmu selalu wangi mawar” Bangsawan Cho bergumam pelan.

“kau mengatakan sesuatu?” Putri Kim bertanya.

“eummh, tidak” jawab Bangsawan Cho pendek. “ah, mengapa kau menjauh seperti itu? Kemarilah!” pinta Bangsawan Cho sambil menarik tangan Putri Kim. Punggungnya kini telah menempel di depan dada suaminya.

“t-tapi…” Putri Kim terbelalak. Sensasi aneh menjalari setiap pembuluh darah yang berada di tubuhnya.

“kenapa? Kau tidak perlu takut seperti itu, aku ini kan suamimu” bisik Bangsawan Cho tepat di telinga Putri Kim.

“aku hanya merasa tidak enak. Bukankah banyak pelayan yang berdiri di luar. Jika mereka mendengar sesuatu, bagaimana?” tanya Putri Kim pelan.

“jadi itu… cckkk… kau tidak perlu khawatir, aku sudah meminta mereka untuk pergi. Sekarang, jika kau ingin berteriak, menjerit, ataupun … mendesah… kau bisa melakukannya dengan bebas” Bangsawan Cho mengedipkan sebelah matanya yang membuat wajah Putri Kim lagi-lagi merona merah. Entah karena suhu air yang hangat, entah karena sebab yang lain (perkataan Bangsawan Cho).

“suamiku… kau…” Putri Kim hanya menepuk lengan suaminya dengan pelan sambil tersenyum malu.

~o~

Dari kejauhan, Lee melihat para pelayan yang mengantarkan Putri Kim. Dirinya tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Ketika ia melihat Putri Kim yang masuk kedalam kamar mandi, ia melanjutkan tugasnya untuk memeriksa keamananan terutama wilayah Paviliun Anggrek Biru.

Tapi baru saja beberapa menit, ia menyadari sesuatu. Tangannya meraba pinggang yang biasanya tergantung sebuah pedang dengan hiasan naga disana. Tapi, ia kemudian ingat, bahwa pedang itu tertinggal di dalam kamarnya. Perasaan hatinya tiba-tiba berubah menjadi tidak enak. Tidak mungkin jika ia bisa melupakan barang yang seolah telah menjadi teman dalam hidupnya itu. Jantungnya seolah mulai berdetak dengan tidak karuan saat ini. Ia mencoba menenangkan hatinya yang entah mengapa merasakan sedikit desiran aneh. Perlahan ia menarik nafas sekedar untuk mengurangi rasa tidak nyaman di hatinya.

Ia melangkahkan kaki berniat untuk kembali kekamarnya, melalui jalan yang tadi ia lewati. Dengan jarak hampir sepuluh meter, ia berdiri di depan kamar mandi yang tadi Putri Kim masuki. Seharusnya, para pelayan tadi masih menunggu didepan pintu itu, tapi sekarang, tidak ada satupun yang berjaga disana. Dan tidak mungkin pula Putri Kim akan selesai mandi dengan waktu yang sangat cepat. Ia melihat kepulan asap yang masih keluar melalui atap bangunan, menandakan mungkin masih ada orang di dalam sana.

“dimana para pelayan itu? Tidak mungkin jika mereka meninggalkan Putri Kim sendirian didalam sana”

Terdorong oleh rasa cemas yang menyelimuti perasaannya, Lee mendekati pintu yang tertutup itu. Seandainya ia masih melihat Putri Kim didalam sana, maka ia bersumpah tidak akan memaafkan para pelayan yang lancang meninggalkannya sendirian. Tapi, jika ia tidak melihat Putri Kim disana, maka ia bisa melanjutkan tugasnya dengan tenang malam ini.

Lee berdiri di depan pintu. Tidak terdengar suara air, atau tanda-tanda bahwa Putri Kim berada didalam. Ia semakin membulatkan hatinya untuk melihat kedalam. Desiran aneh itu kembali terasa ketika kedua tangannya menyentuh daun pintu. Perlahan ia membuka pintu. Beruntung, karena selalu dirawat dengan baik, maka tidak terdengar deritan ketika pintu itu terbuka. Ia tidak berani untuk membukanya lebih lebar, hanya ingin memastikan bahwa kamar mandi itu dalam keadaan kosong.

Entah apa yang dirasakannya saat ini. Lee hanya diam terpaku di tempatnya. Walaupun terhalangi tirai yang tipis, tapi matanya dapat dengan jelas menangkap apa yang berada di baliknya. Bahu yang putih tersinari cahaya lampu seolah menyilaukan pandangan mata lelaki itu. Wajahnya yang cantik, terlihat merah merona dan juga mata karamel yang terpejam indah. Kepala itu mendongak, memperlihatkan leher putih nan jenjang. Tapi, objek yang Lee lihat tidaklah sendirian disana. Pandangan matanya dapat menangkap dengan jelas apa yang saat ini tengah dilakukan oleh Bangsawan Cho didalam sana. Suara desahan Putri Kim dapat terdengar dengan jelas di telinganya. Suara yang pelan, namun seolah bisa merobek gendang telinganya hingga ia tidak mampu mendengar suara apapun lagi.

Lee menata perasaan hatinya. Saat ini ia tidak tahu apa yang hatinya rasakan. Sakit, kecewa, dan luka yang hebat benar-benar tengah menimpa hatinya saat ini. Karena terlalu sakit yang ia rasakan, membuat hatinya seolah mati rasa. Tangannya yang mencengkram kuat daun pintu, kini gemetar dengan hebat. Kakinya seolah telah dipukul dengan menggunakan besi dengan sangat keras yang membuat tulang belulangnya hancur, membuatnya sekuat tenaga tetap berdiri. Sebisa mungkin, ia menahan nafas yang menderu di dadanya. Pandangannya kabur, terhalangi oleh air yang menggumpal di matanya yang bulat. Segera ia menutup pintu dan berlalu dari tempat itu.

Lee berjalan tak tentu arah. Ia hanya membiarkan kakinya yang lemas menuntunnya menuju suatu tempat. Langit yang mulai gelap, kini diselimuti awan mendung yang tetes demi tetesnya mulai membasahi bumi. Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya menuju istal kuda. Kemudian, ia mengeluarkan satu ekor kuda, dan menunggangginya tanpa arah. Hujan yang semakin deras kini telah membasahi tubuhnya. Air mata yang mengalir di pipinya tersembunyi oleh derasnya air hujan yang mengguyur dari atas langit.

Terbayang lagi apa yang tadi ia lihat didalam kamar mandi. Ya, pemandangan terlarang, yang seharusnya tidak pernah ia saksikan. Dirinya merasa bodoh, karena sampai saat ini ia masih mengkhawatirkan Putri Kim.

“bukankah telah ada Bangsawan Cho yang akan selalu melindunginya? Kenapa kau sangat bodoh Lee. Sadarlah, dia tidak akan pernah menjadi milikmu” geram Lee sambil memacu kuda itu agar lari dengan lebih cepat.

“kau sangat bodoh… kenapa kau membiarkan hatimu terluka? Biarkan mereka bahagia… biarkan mereka…” Lee mendesis geram, merasa muak pada kelemahan hatinya.

Tiba di satu bukit, kaki kuda itu terantuk batang pohon yang tumbang yang menghadang di tengah jalan. Salahkan keadaan yang cukup gelap sehingga membuat kuda itu kesulitan untuk melihat dengan baik. Kuda itu terjatuh, bersamaan dengan Lee yang membentur sebuah pohon dengan sangat keras. Kuda itu meringkik kemudian berlari meninggalkan Lee yang terbaring sendirian.

Lee tertelungkup diatas tanah, beberapa bagian pakaiannya robek terkena ranting pohon. Tubuhnya basah kuyup akibat terguyur hujan yang sangat deras. lengan dan kakinya terluka akibat bergesekan dengan pohon tadi. Walaupun lemah, tapi ia mencoba untuk bangkit lalu duduk. Tidak ia rasakan seluruh tubuhnya yang terasa sakit, seolah tulang belulang yang menyangga tubuhnya kini telah terlepas dari setiap sendinya. Yang ia rasakan saat ini adalah hatinya yang telah pecah menjadi serpihan kecil. Lee meremas tanah yang saat ini berada dibawah lututnya. Ia meremasnya, sebelum membiarkan kepalan tangannya memukuli tanah yang keras itu. Ia terus memukuli tanah itu hingga buku-buku jarinya mengeluarkan darah yang banyak. Tidak ia pedulikan tulang jemarinya yang hancur. Saat ini dia hanya ingin meluapkan kesedihan hatinya.

“mengapa aku tidak bisa melepaskan diri darinya? Mengapa aku harus melindunginya walaupun aku tahu telah ada orang lain yang lebih baik untuknya disana. Mengapa aku mengorbankan diriku seperti ini. Mengapa? Mengapaaaa???” Lee berteriak.

Suara petir seolah mejawab pertanyaannya. Kilatan cahaya petir itu seolah menjadi temannya saat ini. Tidak ada seorangpun yang mendengar suaranya disana. Dalam kelamnya malam, Lee seorang diri menangis dibawah langit gelap. Hujan yang deras kini mulai berhenti dan berubah menjadi tetesan gerimis. Darah di tangannya masih mengalir walaupun tidak sederas tadi. Lee menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon. Tubuh dan jiwa nya telah sangat lelah menghadapi dan menjalani kehidupnya saat ini. Ingin sekali ia mengakhiri semua penderitaan yang ia rasakan sekarang. Bukankah jika ia mati-pun hal itu tidaklah menjadi masalah besar untuk wanita yang ia cintai. Biarlah ia mengubur semua dalam-dalam. Cinta, duka, dan airmata itu biarlah ia bawa hingga pada kematiannya. Tidak perlu mengkhawatirkan Putri Kim lagi, sudah tidak ada tempat untuknya lagi disana. Ruang kosong di hati wanita itu kini telah terisi oleh seorang pria bernama Bangasawan Cho. Jadi untuk apa dirinya masih memikirkan dan mengkhawatirkan Putri Kim. Semua itu hanyalah sebuah kesia-siaan.

Lee bangkit dari tempat duduknya. Dengan terseok, Ia berjalan perlahan kearah jurang yang berada tepat sepuluh langkah dihadapannya. Walaupun hujan telah berhenti, tapi awan masih setia menyelimuti langit malam itu. Gelapnya langit seolah menggambarkan segelap apa hatinya saat ini. Tersaput oleh rasa cinta yang menghitam dan kedukaan yang teramat dalam. Lee menatap kegelapan di hadapannya. Kakinya benar-benar lemah untuk melangkah maju. Hanya tiga langkah lagi, maka ia bisa mendapatkan apa yang saat ini sangat ia harapkan. Melepaskan semua duka dan airmata. Mengharapkan ketenangan yang berada di dasar jurang itu. Tangannya yang gemetar kini mulai mengepal. Kakinya seolah tidak bisa menahan berat tubuhnya lagi. Kembali, tubuhnya terduduk diatas tanah yang kotor dan basah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tiba-tiba sekilas bayangan wajah bijaksana Tuan Kim melintas dalam ingatannya. Suaranya kembali terngiang ketika ia meminta Lee untuk menjaga keselamatan putrinya.

Lee membulatkan telapak tangannya yang membuat luka di tangannya itu kembali berdarah. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Memenuhi janji yang telah ia buat pada Tuan Kim, atau menghilang untuk selamanya dari muka bumi ini. Kemudian bayang-bayang Putri Kim dan senyuman menawan itu menari-nari dengan jelas dalam ingatannya.

“aku tidak bisa…” desah Lee kembali terisak.
“aku tidak bisa…” Lee menggelengkan kepalanya sambil tergugu.

Perlahan dirinya terbaring lunglai diatas tanah. Tangannya masih mengeluarkan darah. Rupanya langitpun malam ini merasa enggan untuk berbaik hati padanya. Tetes hujan itu kembali turun membasahi tubuhnya yang lelah. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Lee, ia hanya terpejam, membiarkan kegelapan menyapa dirinya. Sebelum akhirnya tidak ada lagi yang ia rasakan. Walaupun hujan semakin deras, tapi ia tidak merasakan air yang membasahi tubuhnya. Tidak terdengar lagi gelegar suara petir yang kembali terdengar saling bersahutan. Semuanya hanyalah hampa dan gelap. Tanpa suara, tanpa rasa, hanya hitamnya kedamaian yang mulai merasuki pikirannya…

~o~

Hangat dan nyaman. Aroma lembabnya tanah, tidak tercium lagi kini. Tubuhnya terasa kaku dan ia merasa sulit bergerak. Setiap jengkal tubuhnya merasa nyeri seolah rasa sakitnya bisa menembus tulang belulangnya. Tapi kedamaian dan rasa nyaman yang ia rasakan sekarang membuatnya enggan untuk membuka mata. Biarlah untuk saat ini saja ia bermimpi indah. Mimpi yang jarang sekali ia dapatkan akhir-akhir ini. Tapi tidak bisa. Ia ingin bangun. Otaknya memaksanya untuk membuka mata dan melihat tempatnya berada saat ini. Selain itu, ada sesuatu di dahinya, terasa lembab dan sejuk yang mengusiknya sejak tadi, tapi sangat sulit untuk ia jangkau. Ia ingin meraihnya tapi apa daya tangannya terasa sulit untuk digerakkan.

Kelopak mata itu mulai bergerak-gerak dan terbuka secara perlahan. pemandangan yang tertangkap indra penglihatannya adalah langit-langit kamar yang putih. Tangan kirinya dengan perlahan akhirnya bisa meraih benda yang sejak tadi berada di dahi-nya. Sebuah handuk kecil yang basah. Kepalanya menengok ke arah kanannya, lalu mengangkat tangannya dengan susah payah. Dapat ia lihat perban yang membalut jari jemarinya dengan rapi.

“kau sudah bangun Lee?”

Suara itu…
Mengapa mimpinya saat ini sangatlah indah. Terasa nyata seolah ia bisa merasakan kehadiran wanita itu disampingnya.

“Lee…” tangan halus itu menyentuh bahunya perlahan, kemudian bergerak-gerak untuk memastikan bahwa Lee telah terbangun.

Lee menengok pada asal suara halus itu. Seraut wajah cantik yang kini terlihat sangat mencemaskan dirinya. Matanya lekat menatap foxy hitam miliknya.

Sungguh, mimpi ini terlalu indah untuknya. Ingin rasanya ia menyentuh wajah halus itu, namun, ia tidak bisa. Entah mengapa tangannya seolah kembali kaku dan sangat sulit untuk digerakkan.

Perlahan, walaupun tubuhnya terasa sakit Lee mencoba untuk bangkit sambil memperhatikan dengan jelas sosok yang berada di sampingnya. Ia duduk di atas tempat tidur tepat disebelah dirinya yang tadi terbaring.

“Lee… kau sudah sadar kan? Kau ingat siapa aku?” tanya-nya dengan penuh kekhawatiran. Suaranya terdengar bergetar, namun hal itu justru membuat hati lelaki itu berdarah. Entah mengapa, perhatian yang diberikan oleh wanita itu untuknya akan membuat hatinya berdesir sakit. Bayangan menyakitkan yang telah dilihat matanya, kini seolah terlihat sangat jelas ketika melihat raut wajah halus itu. Setetes darah kembali keluar dari hatinya yang kini benar-benar telah terluka parah. Ia berharap, bahwa inilah tetes darah terakhir yang akan ia keluarkan karena rasa sakit yang ia rasakan selama ini.

“Putri Kim?” sambil berbisik Lee memegang bahu kecil itu dengan penuh tenaga. Ia ingin memastikan apakah ini adalah mimpinya saja, atau memang benar Putri Kim berada di dekatnya saat ini. Wanita itu berjengit ketika merasakan pegangan tangan Lee di bahunya sedikit kasar. Tatapan yang begitu mendalam terasa melalui karamel cokelat miliknya. Mereka berdua saling berpandangan tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi.

Tidak. Ini bukanlah mimpi. Ini benar-benar sangat nyata. Dapat ia rasakan bahu wanita itu yang bergetar. Ini bukanlah mimpi. Ia telah tersadar dari mimpinya. Dan wanita yang berada di hadapannya saat ini adalah benar-benar nyata bukanlah bayangan semu atau mimpi belaka.

“benar Lee, aku Putri Kim. Katakan, apa kau sudah merasa baikan sekarang? Atau masih ada yang terasa sakit?” kembali suara itu bertanya dengan penuh kecemasan.

Menyadari bahwa ini adalah hal yang nyata, Lee segera melepaskan pegangan tangannya di bahu Putri Kim. Ia menundukkan kepala seolah merasa menyesal atas apa yang baru saja ia lakukan. Tangan halus itu meraih tangan kanan Lee yang di bebat perban.

“katakan apa yang terjadi! Semalam para pengawal menemukanmu tidak sadarkan diri di bukit. Apa yang kau lakukan disana? Dan apa yang terjadi? Apakah kau mengejar para penjahat hingga tiba disana?” Lee segera menarik tangannya. Tidak ia biarkan tangan halus itu memegang tangannya lebih lama.
“aku mohon Lee, katakan sesuatu! Kau jangan diam saja!” Putri Kim terlihat gelisah melihat sikap Lee.

“aku baik-baik saja Putri Kim. Anda tidak perlu mencemaskan apapun” nada suara itu, terdengar begitu dingin. Mungkin bisa mengalahkan musim dingin yang pernah melingkupi Joseon beberapa tahun terakhir ini. Putri Kim tidak percaya pada nada suara yang didengarnya barusan. Apakah itu benar suara Lee? Mengapa ia merasa seolah sedang berada disamping orang lain yang tidak dikenalnya?

“Lee…” bisik Putri Kim pelan.

“tolong tinggalkan tempat ini. Aku merasa tidak nyaman jika istri seorang bangsawan berada di tempat rendah seperti ini” Lee mengatupkan rahangnya keras-keras. Ini yang harus ia lakukan. Ini adalah hal benar yang seharusnya ia lakukan. Melawan perasaan hatinya. Meskipun ia meronta ingin memeluk wanita yang berada didekatnya kini, tapi nalarnya masih berfungsi dengan baik. ia tidak akan pernah menyentuh sesuatu yang bukan menjadi miliknya.

“k-kau… apa yang kau bicarakan Lee?” Perasaan Putri Kim tidak menentu saat ini. Ada apa dengan Lee? Mengapa ia mengatakan hal yang sangat menyakitkan padanya?

Lee menatap tajam mata Putri Kim. Terlihat karamel cokelat itu berkaca-kaca, mendengar perkataannya tadi. Perlahan walaupun rasa sakit di sekujur tubuhnya memintanya untuk tidak bergerak, tapi memaksa tubuhnya agar mampu menuruni tempat tidur. Ia lalu berjalan menuju pintu utama dan membukanya perlahan. Beberapa pelayan Putri Kim yang berdiri di luar kamar.

“tinggalkan tempat ini sekarang juga! Tidak ada yang perlu anda cemaskan lagi. masalah luka-luka ini, masih ada tabib yang bisa mengobatinya” dingin, datar dan rendah. Hanya nada itu yang tertangkap oleh telinga Putri Kim.

Putri Kim bangkit dari duduknya. Ia berdiri dan menatap Lee yang sejak tadi menghindari tatapan matanya. Apakah Lee sangat membencinya hingga ia tega menyuruhnya keluar dari kamar ini. Perlahan, Putri Kim berjalan perlahan kearah pintu yang kini terbuka di hadapannya. Dalam hatinya ia tidak percaya bahwa Lee bisa mengatakan semua itu padanya. Berbicara dengan nada yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika kakinya menyentuh lantai luar, Putri Kim membalikkan tubuhnya untuk mencoba berbicara dengan Lee. Namun yang ia dapati hanyalah sebuah bungkukan tanda hormat dari lelaki itu, setelahnya pintu kamar itu tertutup rapat.

~o~

Perasaan hati Putri Kim hancur berkeping-keping. Matanya menyelami kolam ikan yang berada di depan Paviliun Anggrek Biru. Angin sepoi-sepoi menggerakkan poni tipis yang menghiasi dahinya. Tangannya mengepal dibalik hanbok hijau yang bermotif bunga sakura merah muda yang dikenakannya saat ini. Ia berdiri di bawah pohon bambu kuning yang terawat dengan baik. Sesekali terlihat dedaunannya menjuntai seolah ingin menyentuh rambut Putri Kim. Ia sendirian disana. Para pelayan terlihat tidak jauh berdiri disana. Mereka tidak berani menentang keinginan Putri Kim yang ingin sendirian disana.

Air kolam yang beriak pelan itu seolah merefleksikan kembali apa yang terjadi tadi. Masih terbayang bagaimana dinginnya sikap Lee padanya. Bahkan tatapan mata itu terlihat sangat berbeda, seolah tidak ada lagi sinar kehidupan dari foxy hitam itu.
Mengapa? Mengapa Lee harus bersikap sedingin itu padanya? Apakah ia sakit hati pada keputusan dirinya? Apakah ia terluka, karena saat ini ia mencintai Bangsawan Cho?

Bulir bening itu kini telah membasahi pipinya. Sejujurnya, hatinya pun merasakan sakit. Iapun kini terluka. Tapi, bukankah hidup itu adalah sebuah pilihan? Salahkah jika ia memilih untuk mencintai Bangsawan Cho? Diantara dirinya, Lee dan juga Bangsawan Cho, memiliki luka yang sama. Mereka bertiga mencoba berlari dan menyembuhkan diri dari luka yang disebabkan oleh cinta dan janji. Pilihan hidup, memang terasa sangat berat, bagaikan dua mata pisau yang tajam dan siap untuk melukai siapapun orang yang menyentuhnya. Jika kita memilih untuk bahagia, pasti ada satu pihak yang terluka. Itu adalah dua hal yang telah menjadi satu kepastian, dan akan selalu beriringan. Luka, adalah konsekuensi yang harus ia ambil ketika mengambil satu keputusan penting dalam hidupnya. Tidak ada hal yang benar dan salah dalam cinta. Yang ada hanyalah perbedaan cara pandang. Cara seseorang untuk meraih kebahagiaannya dan juga menjalani hidupnya, semua itulah yang berbeda.

Bulir bening itu semakin deras membentuk sungai kecil di pipi Putri Kim. Mengapa ia harus menjalani kehidupan seperti ini? Apakah ini takdir yang telah digariskan dalam hidupnya? Mencoba berbahagia walaupun ia harus menutupi rasa sakit di salah satu sudut hatinya. Tidak ia pungkiri, perasaannya pada Lee tidak pernah hilang. Terutama jika ia mengingat segala hal yang telah Lee lakukan untuk keluarganya. Namun, hatinya kini telah memilih. Memilih untuk bersama dan mencintai Bangsawan Cho.

“maafkan aku Lee… kau harus tahu, ini juga adalah pilihan yang berat untukku… maafkan aku… maafkan aku…” bisik Putri Kim sambil matanya terpejam merasakan hati yang berdenyut sakit.

Tiba-tiba sebuah pelukan yang familiar terasa melingkupi punggungnya yang kecil, membuat Putri Kim sejenak tersentak. Pelukan itu seolah memberinya sedikit kekuatan untuk meyakinkan hatinya bahwa ini adalah pilihan yang tepat yang telah ia ambil.

“apa yang terjadi? Mengapa kau menangis seorang diri disini?” bisik suara lembut itu pelan. Dagunya tertahan di bahu Putri Kim dan lilitan tangannya di perut wanita itu terasa semakin erat.

Putri Kim membalikkan tubuhnya. Di tatapnya mata suaminya lekat.
‘salahkah, jika aku harus mencintaimu?’ Sementara hati seseorang disana, akan semakin terluka jika ia melakukan hal itu.

“suamiku…” bisik Putri Kim parau. Ibu jari Bangsawan Cho mengelus lembut airmata yang mengalir di pipi istrinya.

“ada apa? apakah ada sesuatu yang buruk terjadi?” tanya Bangsawan Cho pelan sambil menelisik mata merah Putri Kim.

“Lee… dia… dia membenciku… apa… apa yang harus aku lakukan?” Putri Kim menangis. Semakin dirinya memikirkan Lee, semakin hatinya sakit, dan semakin banyak airmata yang keluar dari mata indahnya itu.

Bangsawan Cho membawa Putri Kim kedalam pelukannya. Ia tidak tega jika harus melihat istrinya menangis lagi. tangannya dengan lembut menepuk-nepuk bahu Putri Kim. Ia membiarkan istrinya melepaskan semua perasaan sedihnya. Setelah agak tenang, Bangsawan Cho merenggangkan pelukannya, di pegangnya lengan Putri Kim yang masih gemetar.

“dia tidak pernah membencimu… percayalah, apapun yang dia lakukan, dia hanya ingin mengobati luka hatinya. Besok atau lusa, dia akan kembali baik-baik saja. percayalah padaku! Hmh” Bangsawan Cho tersenyum lembut.

“tapi…” masih terngiang di telinga Putri Kim bagaimana dinginnya perkataan Lee padanya. Akankah hubungan yang baik bisa terjalin diantara dirinya dan Lee? Seperti dulu lagi?

“percayalah padaku. Dia tidak akan pernah membencimu” geleng Bangsawan Cho pelan.
“kita bertiga berada dalam satu lingkaran yang sama. Bahkan kita memiliki luka dan rasa sakit yang sama. Hanya saja bagaimana seseorang bisa menyembuhkan kembali hatinya, itu dilakukan dengan cara yang berbeda. Mungkin saat ini, ia sedang mencoba untuk menyembuhkan luka di hatinya. Mungkin dengan bersikap seperti itu, dia akan merasa lebih baik nantinya”
“berikan ia waktu, maka semua akan baik-baik saja. percayalah!” Bangsawan Cho kembali memeluk istrinya. Dalam dekapannya Putri Kim menganggukan kepalanya pelan.

To Be Continue

*Ohmaygawd…
Lee…. Suamiku… kamu jangan bunuh diri. Hiks.. Apa yang harus aku lakukan kalau kau mati? Haruskah ff ini terhenti kalau kau bunuh diri hah? Hiks… lee.. Kau membuatku menitikkan air mata…* (curcol author-nya selesai)

Hahaha. Bagaimana? Aishh… capek capek capek. Pengen segera END. Kekekeke. Komen ne readerdeul tersayang. Muah muah muah :*

Chap ini… aku rasa sangat lebay dan bikin ngantuk. iya nggak?? hehehe.

Adakah saran untuk chap kedepannya? Oke, tulis aja di kotak komentar! Aaah, dari komen kemarin, sepertinya banyak yang kangen nih sama eyang Yun, tunggu aja yah. mungkin chap depan dia akan muncul lagi. Daan, aku seneng banyak yang bersimpati sama Lee. Haah, pasti deh, kalian akan lebih sayang sama Lee di chap ini. Hwahwahwa *ketawa Kyuhyun (evil). Yaah, walaupun Lee merelakan Putri Kim, tetep dia manusia biasa. Dia juga bisa ngerasain sakit hati biarpun udah mencoba mengikhlaskan juga. Bahkan, wajar lah kalau dia ngerasa putus asa. Iya nggak? Namanya juga orang patah hati. *dsigh
Dan Kyuwook… eumh… aku masih bingung sama mereka. Ah, haruskah ini berakhir kyuwook? Atau minwook? Untuk kali ini, aku serahin sama kalian para reader tercintah… hehehe.. *karena aku masih bingung* -_-

Akhem, sebenarnya, scene kamar mandi itu beneran deh, yang paling aku tunggu-tunggu. Hahhaw. So sweet kan so sweet??? Apalagi yang pas Lee ngeliat apa yang terjadi didalam. Aaawww…. Kyaaa… guwe sadis sama suami guwe sendiri. *sungkem ke Umin. 😀

*tya unnie, bener banget, saeguk itu nggak akan pernah tamat kalau musuhnya belum jadi debu lalu menghilang tertiup angin. Jadi bagi yang penasaran sama akhir hayat Gubernur Yun, hehee tungguin aja yah! hahahaha*

Oke, see u later deh. 🙂
Bye~~~~

 
20 Komentar

Ditulis oleh pada Maret 21, 2014 inci (FF) Moonlight Melody

 

Tag: , , ,

Moonlight Melody chap 9

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody

Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

Putri Kim membuka matanya perlahan. Pagi ini adalah pagi pertama bagi dirinya bangun tidur dalam keadaan yang tenang dan damai. Sebuah pelukan hangat terasa mendekap dirinya, sangat lembut dan hangat namun memberikan rasa aman bagi dirinya. Helaan nafas pelan terasa menyentuh pucuk kepalanya. Perlahan Putri Kim menengadahkan kepala untuk melihat sosok yang tengah memeluknya. Seraut wajah tampan itu kini tengah tertidur. Mungkin ia masih tertidur nyenyak walaupun mentari pagi telah bersinar terang menerangi Joseon di pagi ini. Putri Kim menatap lekat wajah damai suaminya. Tangan mungil Putri Kim terulur untuk menyentuh pipi suaminya. Ketika kedua kulit itu bersentuhan lembut, bibir Putri Kim tersungging, menampilkan senyum manis yang menawan. Disusupkan kepalanya di dada Bangsawan Cho, terdengar irama detakan jantung yang teratur yang membuat hatinya damai.

 

Teringat kembali perkataan Bangsawan Cho tadi malam. Malam yang bagi mereka berdua menjadi malam yang penuh emosi, luapan airmata dan untaian maaf menjadi pengiring dirinya menuju kedalam alam mimpi.

 

***

 

“Kau tahu, aku telah mendengar semuanya dari ayahmu, bahwa Gubernur Yun telah lama menginginkanmu. Kami berdua telah merencanakan sesuatu, tapi, belum sempat rencana itu terwujud, beliau telah meninggalkan kita lebih dulu” ucap Bangsawan Cho sambil menggenggam tangan Putri Kim.

 

“rencana? Rencana apa maksudmu?” tanya Putri Kim tidak mengerti.

 

“pernikahan kita ini, adalah jalan keluar bagi Tuan Kim untuk menyelamatkanmu dari Gubernur Yun. Maafkan aku, karena telah membuat alasan yang begitu menyakitimu, menggunakan cara yang salah, agar kau bisa berada di tempat yang aman, yang tidak bisa dijangkau oleh laki-laki brengsek itu. Seandainya pada malam kematian Tuan Kim, aku mengatakan yang sebenarnya padamu, mungkin….”

 

“mungkin aku tidak akan pernah percaya padamu” potong Putri Kim sambil menatap lembut suaminya.

“mungkin pada saat itu, aku akan merasa bahwa kau hanya mencari alasan untuk menyelamatkan dirimu sendiri. Jika aku berada di posisimu, entah keputusan apa yang akan aku ambil, kau begitu berani Bangsawan Cho. Demi aku, seseorang yang tidak ada nilainya sedikitpun, kau rela mengorbankan nama-mu demi melindungi keluargaku. Maafkan atas sikap dinginku selama ini. Maafkan aku….” Putri Kim kembali terisak.

 

“tidak…” Bangsawan Cho memeluk Putri Kim dengan lembut. “mulai sekarang, jangan lagi ucapkan kata maaf! Dan jangan ada lagi airmata kesedihan dari matamu” kata lelaki itu sambil mengusap airmata yang berada di ujung pelupuk mata istrinya.

 

“terima kasih Bangsawan Cho… terima kasih telah menyelamatkanku… terima kasih atas kebaikan yang telah kau berikan untukku…” lirih Putri Kim pelan sambil mengenggelamkan kepalanya dalam pelukan suaminya.

 

***

Beberapa saat kemudian, terasa Bangsawan Cho memeluk tubuh istrinya lebih erat, dan Putri Kim dapat merasakannya dengan jelas. Kepalanya kembali mendongak untuk melihat wajah suaminya. Tiba-tiba pipinya langsung bersemu merah ketika beradu pandangan dengan Bangsawan Cho yang tengah tersenyum lembut padanya.

 

“selamat pagi… istriku…” suara Bangsawan Cho terdengar masih parau, khas seseorang yang baru bangun dari tidurnya. Nada suaranya terdengar sedikit menggoda ketika mengucapkan kata “istriku”.  Putri Kim tersenyum malu mendengar panggilan dari suaminya barusan.

 

“Ne… selamat pagi…” Putri Kim menghindari tatapan Bangsawan Cho. Entahlah, berada dalam jarak sedekat ini membuat dirinya merasa canggung, apalagi pelukan Bangsawan Cho masih belum beralih dari pinggangnya yang ramping.

 

“heey… mengapa kau tidak menyebutku dengan sebutan ‘suamiku’ atau yang lainnya mungkin?” Bangsawan Cho memberikan tatapan protes  pada istrinya.

 

“maafkan aku… aku… masih belum terbiasa memanggilmu seperti itu” jawab Putri Kim masih dengan senyum malu.

 

“jika tidak dibiasakan, bagaimana akan terbiasa?” Bangsawan Cho menaikkan alisnya.

 

“ta-tapi…”

 

“ayolah, ulangi lagi!” penuh harap Bangsawan Cho menatap istrinya tepat di bola mata karamelnya.

 

Sejenak Putri Kim agak ragu untuk mengucapkan kata yang ingin didengar oleh suaminya. Tapi melihat wajah Bangsawan Cho yang penuh harap, dirinya menjadi tidak tega untuk mengabaikan permintaan suaminya itu. Bibirnya tersungging sedikit, memperlihatkan senyuman canggung di bibirnya.

 

“selamat pagi… s-suamiku…” wajah Putri Kim merona merah mendengar suaranya sendiri ketika memanggil Bangsawan Cho.

 

Tiba-tiba Bangsawan Cho melepaskan pelukannya, lalu ia membaringkan tubuhnya sambil merentangkan tangan kirinya. Sementara kepala Putri Kim masih terbaring diatas tangan kanan Bangsawan Cho. Senyuman lebar kini menghiasi wajah tampannya. Ia menarik nafas dalam sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.

 

“ke-kenapa?” Putri Kim merasa heran dengan sikap suaminya itu. Tapi, Bangsawan Cho hanya menggelengkan kepalanya. Segera ia memeluk Putri Kim kembali.

 

“tidak apa-apa. aku hanya merasa bahagia bisa mendengar kata itu darimu. Kau tahu, aku sempat merasa putus asa, apakah selamanya hubungan kita tidak akan pernah membaik. Tapi ternyata… aku salah” ujar Bangsawan Cho lembut sambil memainkan poni rambut istrinya.

 

“begitupun denganku” Putri Kim menimpali dengan suara pelan. Tangannya melingkari punggung Bangsawan Cho, sedangkan kepalanya ia masih berada di dada suaminya.

“aah, sekarang sudah siang, mungkin ayah dan ibu telah menunggu kita” ingat Putri Kim sambil mendongakkan kepala.

 

“benarkah? Asssh, bisakah satu kali ini kita melewatkan sarapan bersama? Aku ingin lebih lama bersama denganmu” Bangsawan Cho merajuk.

 

“eeeeh, tentu saja tidak boleh. Nanti bagaimana jika ayah dan ibu datang kemari?” Putri Kim mendudukkan dirinya diatas tempat tidur. “lagipula, kita harus memberitahu mereka, bahwa kita berdua telah berbaikan. Aku yakin, ini akan menjadi kabar bahagia untuk ayah dan ibu” ingat Putri Kim sambil menatap lembut mata suaminya.

 

“aaah benar juga…” dengan agak malas Bangsawan Cho pun mendudukkan dirinya disamping istrinya. “kalau begitu, ayo kita bersiap-siap” tangan Bangsawan Cho mengelus rambut Putri Kim dengan penuh kasih sayang.

 

“ne” angguk Putri Kim sambil tersenyum.

 

~o~

 

Rasa hangat dan keakraban kini memenuhi suasana ruang makan. Tuan dan Nyonya Cho sangat bahagia ketika mendengar bahwa Putri Kim dan Bangsawan Cho telah berbaikan. Rasanya tidak ada hal yang paling melegakan selain mendengar kabar bahagia ini. Kini tidak ada rasa canggung atau kaku dari sikap Putri Kim, yang ada hanyalah rasa bahagia dan suka cita yang membias dari wajahnya.

 

Tuan dan nyonya Cho begitu tenang ketika melihat Putri Kim dan Bangsawan Cho tertawa bersama-sama dan saling memberikan tatapan penuh kasih sayang. Nyonya Cho melirik suaminya yang melihat pemadangan di depannya dengan penuh perasaan sukacita. Ia balas melirik istrinya dengan penuh arti. Akhirnya, ia bisa menepati janji pada mendiang teman lamanya. Akhirnya, Putri Kim dapat merasakan rasa bahagia menjadi menantu di keluarga Cho.

 

~o~

 

Siang itu, udara terasa sangat sejuk. Terlihat Bangsawan Cho yang tengah menunggangi kuda hitamnya menuju suatu tempat yang ada di tepian pantai, tidak jauh dari Istana Bangau Terbang. Setelah beberapa waktu, dapat ia lihat seorang lelaki yang sepertinya tengah menunggu dirinya. Rambutnya yang terikat dibelakang dan pedang yang tersampir  di pinggangnya menjadi ciri khas seseorang yang telah ia kenal dengan baik.

 

Ketika mendengar suara langkah kuda, lelaki itu menolehkan kepalanya melihat siapa yang datang. Setelah Bangsawan Cho turun dari atas kuda, lelaki itupun memberikan hormat dengan membungkukkan badannya.

 

“mengapa kau ingin bertemu denganku ditempat ini Lee?” tanya Bangsawan Cho.

 

Senyum lembut namun penuh dengan luka itu nampak di wajah Lee. Dia mengalihkan pandangannya kearah lautan yang mana ombak putih yang bergulung saling berkejaran satu sama lainnya. Deburan ombak yang terdengar mungkin akan terdengar sama dengan deburan perasaan di hatinya saat ini.

 

“maaf jika aku telah mengganggu waktumu untuk datang kemari”

 

“tidak. Aku sama sekali tidak terganggu” geleng Bangsawan Cho segera. “jika aku boleh tahu, apakah sesuatu yang ingin kau bicarakan itu?”

 

Lee menjulurkan tangan kanannya yang memegang sebuah kotak. Bangsawan Cho menatap kotak itu dengan lekat.

 

“aku rasa, aku tidak bisa menyimpan benda ini lebih lama lagi. sudah tidak ada alasan untukku melakukannya” ujar Lee.

 

Bangsawan Cho meraih kotak itu, lalu membukanya perlahan. Terdapat cincin giok didalamnya. Cincin yang telah ia titipkan pada Lee di malam kematian Tuan Kim.

 

“aku tidak mengira kau masih menyimpannya” Bangsawan Cho tersenyum.

 

“benda itu bukan milikku. Dan selamanya tidak akan pernah aku milikki” Lee menatap kotak itu dengan beragam perasaan. “bagiku, itu bukan hanya sebuah cincin yang biasa, tapi itu adalah perumpamaan sebuah janji. Kau ingat, kau telah membuat janji pada Tuan Kim bahwa kau akan melindungi putrinya dengan segenap nyawamu. Maka penuhilah janjimu itu” Lee menatap Bangsawan Cho tepat dimatanya.

 

“apakah ini artinya kau telah merelakan Putri Kim untuk bersamaku?”

 

“sejak awal, kaulah orang yang menjadi pemilik hatinya… Tidak ada alasan untukku tidak merelakanmu bersama dengannya… Jika bersama denganmu bisa membuatnya bahagia… mengapa aku harus menghalangi kalian?” suara Lee terdengar agak bergetar. Ia menghembuskan nafasnya dengan berat sambil memandang lautan yang luas. Berharap dengan melihat kilauan warna biru yang seluas matanya memandang, akan memberikan sedikit ketenangan di hatinya.

 

“aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu Lee… Cintamu padanya begitu besar, aku tidak yakin bisa membuatnya bahagia” Bangsawan Cho turut memandangi lautan di hadapannya.

 

“tentu saja kau bisa. Cincin giok itu adalah buktinya… Aku tidak akan menyesal mempercayakan Putri Kim padamu” senyum lembut itu kini telah kembali di wajah Lee.

“Tapi… tentu saja ada satu syarat yang harus kau penuhi untuk mendapatkan apa yang telah aku berikan itu” Bangsawan Cho terlihat kaget mendengar perkataan Lee.

“kumohon, izinkan aku untuk terus melindunginya” terdengar nada serius dari suara Lee.

 

“apa maksudmu?” Bangsawan Cho mengernyitkan alisnya.

 

“kita berdua telah membuat janji pada orang yang sama. Kau telah berjanji pada Tuan Kim, begitupun denganku. Yang berbeda adalah, kau bisa melindungi dan memiliki Putri Kim, sedangkan aku hanya bisa melindungi tanpa bisa memilikinya” Lee menoleh menatap Bangsawan Cho yang juga sama tengah menatap matanya. “setidaknya, izinkan aku untuk melindunginya walau hanya dari kejauhan. Izinkan aku untuk memenuhi janji yang telah aku buat pada Tuan Kim. Hanya itu yang kuinginkan”

 

“tapi… kau akan terluka Lee” lirih Bangsawan Cho pelan.

 

Lee mengalihkan pandangannya lalu menundukkan kepalanya menatapi pasir yang ia pijak. Gemuruh di dadanya terbaur dengan gemuruh ombak yang menerjang batu karang di sekitarnya. Ia mengumpulkan kekuatannya, sebelum ia mengeluarkan suaranya.

 

“sampai kapanpun, mungkin aku tidak akan bisa mengelak dari luka ini, kau tahu… mungkin… ini telah menjadi takdir hidupku. Hanya bisa melindungi orang yang aku cintai” ujar Lee sambil tersenyum.

 

Lee melangkahkan kakinya kearah Bangsawan Cho, lalu membungkukkan badannya.

 

“sebaiknya kau segera pulang. Hari sudah sore. Terima kasih telah menyempatkan waktu datang kemari” angguk Lee sambil tersenyum, setelah itu dia meninggalkan Bangsawan Cho yang masih terpekur menatapi cincin giok di tangannya.

 

Didalam perjalanan pulang, Bangsawan Cho memikirkan kembali perkataan Lee. Dia memilah lalu mengartikan setiap kata demi kata. Dan ia dapat menyimpulkan bahwa apa yang telah dikatakan lelaki itu ada benarnya. Dialah pemilik Putri Kim, Bangsawan Cho-lah yang memiliki hati dan cinta Putri Kim. Mungkin memang benar, ini sudah takdir yang harus dijalani oleh mereka bertiga. Bangsawan Cho menyunggingkan senyumnya, lalu mempercepat langkah kuda yang ia tunggangi. Rasanya dia ingin segera melihat wajah istrinya, wajah Putri Kim.

 

~o~

 

Bulan purnama masih bersinar terang. Walaupun bentuknya tidak bundar sempurna, tapi itu tidak mempengaruhi keindahan yang ia pancarkan.  Sudah beberapa saat yang lalu matahari kembali ke tempat peraduannya di ufuk barat. Burung malam dan beberapa kelelawar terlihat terbang sesekali melintasi puncak pohon sakura. Putri Kim masih asyik menatapi keindahan malam melalui jendela kamarnya yang sengaja ia buka. Sambil menantikan kedatangan Bangsawan Cho, dia termenung melihat langit malam yang berhias purnama.

 

Kilasan masa lalu kembali terbayang di ingatannya. Ia teringat pertemuan pertama dengan Bangsawan Cho, bagaimana laki-laki itu telah menyelamatkan nyawanya dan juga Lee. Mengingat nama Lee, hatinya berdesir aneh.

 

“Lee…” bisik Putri Kim secara tidak sadar.

 

Kejadian tadi malam, tampak bermain dalam ingatannya. betapa ia telah bersikap keterlaluan pada laki-laki itu. Seharusnya ia sadar, bukan maksud Lee untuk menyembunyikan kebenaran itu darinya. Baik itu Bangsawan Cho maupun Lee melakukan hal yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk melindunginya, mengapa ia tidak menyadari hal itu sejak awal? Putri Kim menghela nafas berat.

 

“maafkan aku Lee…” lirihnya pelan, sepelan angin yang berdesau di luar sana.

 

Suara pintu kamar yang terbuka, terdengar dengan jelas di telinga Putri Kim. Dia menatap kearah pintu untuk melihat apakah suaminya yang datang atau bukan. Ia terpaku di tempatnya, ketika Bangsawan Cho berdiri di ambang pintu.

 

“apakah kau sedang menungguku?” tanya Bangsawan Cho merasa tidak enak dengan tatapan Putri Kim padanya, kakinya masih terdiam di depan pintu yang telah tertutup rapat.

 

“ah, tidak” geleng Putri Kim sambil tersenyum canggung.

 

“haah, benarkah? Jadi kau tidak sedang menungguku?” terdengar nada merajuk dari suara Bangsawan Cho, dirinya menghampiri Putri Kim yang masih duduk di tempatnya semula.

 

“aah~ bukan begitu, aku… maksudku… ummh” Putri Kim mencari kata yang tepat untuk menyampaikan maksudnya. Setelah beberapa detik masih tidak menemukan kata yang tepat, maka Putri Kim menatap mata suaminya yang kini telah duduk dihadapannya. “baiklah… aku memang sedang menunggumu, mengapa kau baru kembali?” Putri Kim menundukkan kepalanya, dan pipinya terasa panas.

 

Melihat tingkah istrinya, Bangsawan Cho hanya tersenyum.

 

“aigo~, istriku… rupanya kau sangat merindukanku hari ini…” Bangsawan Cho tersenyum menggoda, sementara wajah Putri Kim telah sangat memerah.

 

“kau pasti haus…” kata Putri Kim sambil menuangkan  air teh kedalam cangkir.

“silahkan”  kata Putri Kim sambil memberikan secangkir teh ke hadapan Bangsawan Cho.

 

“hanya itu saja?” Bangsawan Cho tidak segera menerima cangkir itu, menyebabkan Putri Kim mendongak menatap suaminya.

 

“istriku, kau menyajikan teh ini untuk siapa?” tanya Bangsawan Cho pelan, dan jangan lupakan senyum menggoda di wajahnya yang tidak henti membuat wajah Putri Kim merah merona.

 

Seolah menyadari sesuatu, Putri Kim berkata dengan suara yang lemah lembut.

 

“silahkan diminum teh-nya, Suamiku” kali ini, Putri Kim memberanikan diri menatap mata Bangsawan Cho.

 

Mendengar kata “suamiku” yang meluncur dari bibir istrinya, Bangsawan Cho tertawa bahagia.

 

“baiklah, gamshamnida, Istriku yang cantik” puji nya sambil meminum teh itu hingga habis, setelah itu ia menaruh cangkirnya di atas meja.

 

Suasana terasa sangat canggung dan kaku. Tidak ada bahan pembicaraan lain diantara mereka. Aah sebenarnya, sangat banyak yang ingin disampaikan oleh keduanya, hanya saja entah mengapa suasana yang kaku seolah membuat beku lidah mereka.

 

“eummh, tadi aku bertemu dengan Lee” Bangsawan Cho mulai membuka suara. Mendengar nama Lee, Putri Kim seolah terkejut.

 

“Lee? untuk apa kau menemuinya?”

 

“dia hanya mengembalikan barang yang dulu kutitipkan padanya” ujar Bangsawan Cho sambil mengeluarkan kotak hitam dari balik bajunya.

 

Melihat kotak hitam itu, Putri Kim kembali teringat pada mendiang ayahnya. Segera dibukanya kotak yang berisi cincin giok itu, lalu diambilnya dengan hati-hati.

 

“mengapa kau menitipkan cincin ini pada Lee? Bukankah sebaiknya kau memberikan ini langsung padaku?” kedua pandangan mata itupun saling beradu.

 

“aku tidak yakin bahwa aku bisa memperbaiki hubungan diantara kita. Jika kau menerima cincin itu sejak awal, aku tidak tahu mungkin kau akan semakin membenciku. Sehingga aku menitipkannya pada Lee. Dia adalah orang yang bisa aku percaya untuk menjaga hal yang paling penting dalam hidupku ini” Bangsawan Cho menggenggam tangan kiri Putri Kim.

 

Putri Kim hanya tersenyum simpul sambil mempermainkan cincin di tangan kanannya. “lalu, mengapa kau tidak memakainya? Bukankah sekarang cincin ini telah resmi menjadi milikmu?”

 

“ccck, aku tidak bisa” jawab Bangsawan Cho pelan.

 

“k-kenapa?” Putri Kim seolah menyadari pertanyaan yang meluncur dari bibirnya terlalu terburu-buru.

 

“haha, aku tidak bisa memakainya sendiri. bagaimana jika kau yang memasangkannya di jariku?” goda Bangsawan Cho yang menyebabkan Putri Kim tersipu malu.

“aah, sebenarnya masih ada yang harus aku berikan padamu” kata Bangsawan Cho sambil kembali mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik pakaiannya. Sebuah kotak kecil berwarna putih dan terdapat ukiran anggrek biru di atas penutupnya.

 

“bukalah!” pinta Bangsawan Cho.

 

Putri Kim mengambil kotak itu lalu dibukanya perlahan. Sebuah cincin yang terbuat dari perak dan dihiasi dengan bentuk bunga anggrek di tengah-tengah cincinnya, terlihat indah berada didalam kotak itu.

 

“ini…” Putri Kim mengangkat kedua alisnya sambil menatap Bangsawan Cho.

 

“itu adalah cincin yang menjadi hadiah turun temurun pada anak pertama dari setiap anggota keluarga. Dan… kau tahu, cincin itu khusus diperuntukan bagi menantu perempuan di keluarga Cho. Aku harap kau bisa menerimanya” ungkap Bangsawan Cho sambil tersenyum.

 

Putri Kim tercengang mendengar penuturan Bangsawan Cho. Tidak tahu apa yang harus ia katakan. Kebahagiaan hatinya membuncah seiring dengan tangan Bangsawan Cho yang mengambil cincin perak dari tangannya. Lalu dengan lembut memasangkan cincin itu di jari manisnya.

 

“bisakah kau memasangkan cincin giok itu untukku?” tanya Bangsawan Cho sambil menelisik wajah Putri Kim yang tersenyum lembut.

 

“tentu saja…” Putri Kim tersenyum haru ketika cincin giok itu telah terpasang di jari manis Bangsawan Cho. Entah bagaimana caranya, kedua cincin itu sangat pas di jari manis masing-masing. Tanpa mengukurnya terlebih dulu, dan tanpa mencocokkan lebih dulu. Mungkin inilah yang dinamakan takdir cinta. Segalanya akan terasa pas jika memang telah menjadi takdir dan jodohnya sendiri.

 

Bangsawan Cho segera menarik Putri Kim kedalam pelukannya. Hatinya merasa tenang, apa yang ia harapkan selama ini, kini telah menjadi nyata. Hidup bersama dengan Putri Kim bukanlah menjadi sesuatu hal yang mustahil lagi. Kini ia bisa menyambut hari esok dengan penuh keyakinan, yakin bahwa cinta mereka akan selalu bersama, selamanya.

 

Begitupun dengan Putri Kim. Matanya terpejam merasakan perasaan hati yang bahagia. Apa yang diinginkan oleh mendiang ayahnya, dengan menjadikan Bangsawan Cho sebagai suaminya, kini bisa terwujud menjadi nyata. Hati Putri Kim meyakini, bahwa sejak hari ini dan keesokan hari kedepannya, hanya lelaki inilah yang akan selalu berada di dalam hatinya, menjadi pemilik cintanya. Selamanya~~~

 

Tiba-tiba semilir angin terasa masuk kedalam kamar melalui jendela yang masih terbuka sejak tadi. Bangsawan Cho menoleh kearah jendela yang terbuka agak lebar.

 

“mengapa kau tidak menutup jendelanya? Angin malam sangat berbahaya, bagaimana jika nanti kau sakit” kata Bangsawan Cho sambil berjalan kearah jendela.

 

Ketika tangannya akan menarik jendela itu, tangan Putri Kim segera menahan Bangsawan Cho.

 

“jangan ditutup!” cegah Putri Kim, yang mendapat respon berupa tatapan tanda tanya dari suaminya.

 

Putri Kim tersenyum manis, “sejak tadi, aku sedang melihat pemandangan langit malam. Telah lama aku tidak melihat keindahan malam seperti ini” ujar Putri Kim sambil menatap langit yang bertabur bintang. Beruntung hanya ada beberapa awan tipis yang berarak di bawah sinar bulan itu sehingga pemandangan indah bintang yang bersinar masih dapat dinikmati oleh matanya.

 

“lihatlah, tidakkah kau merasa bahwa langit malam ini terlihat sangat cantik?” tanya Putri Kim sambil menunjuk bulan purnama di atas langit itu.

 

Bangsawan Cho hanya menggeleng sambil menatap Putri Kim.

 

“malam ini memang terlihat sangat cantik, tapi bukanlah keindahan langit itu yang membuat malam ini menjadi indah dan cantik, tapi… karena seorang bidadari yang sedang berdiri dihadapanku saat ini” Putri Kim tidak bisa menjawab sepatah katapun, jantungnya berdetak kencang karena Bangsawan Cho yang terus menatapnya dengan lekat.

 

Bangsawan Cho tersenyum lembut melihat Putri Kim yang tertunduk malu. Tangannya menarik tangan Putri Kim agar jarak keduanya menjadi lebih mendekat. Dengan telunjuknya, Bangsawan Cho  mengangkat dagu Putri Kim yang masih tertunduk. Tatapan mata mereka saling beradu, mengalirkan getaran-getaran lembut nan syahdu di hati masing-masing. Bangsawan Cho memandangi wajah Putri Kim dengan sangat puas. Jika kemarin ia hanya bisa menikmati wajah cantik ini dari kejauhan, kini ia dapat menyaksikan kecantikan itu hanya dari jarak sejengkal tangan saja.

 

Bulu mata yang lentik, hidung yang mancung, dan bibir mungilnya yang berwarna merah membuat Bangsawan Cho merasa kesulitan untuk menormalkan debaran di dadanya. Tangan kanan Bangsawan Cho mengelus pipi sebelah kiri istrinya dengan pelan dan lembut, seolah ia merasa takut bahwa kehalusan kulitnya akan rusak jika ia mengusapnya dengan kuat. Putri Kim terpejam merasakan usapan lembut di pipinya. Dan dia semakin enggan untuk membuka kelopak matanya ketika ia merasakan helaan nafas yang memburu tepat didepan wajahnya. Tangan kiri Putri Kim segera meremas tangan Bangsawan Cho yang masih berada di pipinya, membuat usapannya terhenti. Dengan agak berat, Putri Kim memberanikan diri menatap Bangsawan Cho yang wajahnya saat ini berada sangat dekat dengan wajahnya itu. Tanpa menunggu lagi, Bangsawan Cho mulai menghapus jarak diantara mereka. Bibir Bangsawan Cho ditempelkan di bibir istrinya lalu dengan leluasa meraup bibir mungil yang selama ini ia inginkan. Beberapa kali ia menghisap bibir bawahnya dengan penuh nafsu, bahkan tanpa sadar beberapa kali ia menggigit bibir mungil itu dengan pelan. Lidah Bangsawan Cho terjulur, mencari dan membelit lidah Putri Kim agar saling melumat satu sama lain dan mereka bisa saling mengecapi rasa manis dari lidah masing-masing. Kedua tangan Putri Kim mengalung di bahu suaminya sambil ia memiringkan kepalanya untuk mendapat akses yang lebih leluasa di mulutnya. Mata Putri Kim terpejam menikmati momen terindah dalam hidupnya.  Kedua tangan Bangsawan Cho memeluk tubuh ramping Putri Kim, dan sesekali, tangan kanannya meremas rambut Putri Kim dan menarik tengkuknya agar ia mendapat ciuman yang lebih dalam.

 

Beberapa menit kemudian, bibir mereka saling terpisah, karena pasokan udara di paru-paru yang telah menipis. Nafas keduanya tersengal, dan Putri Kim tidak berani menatap wajah Bangsawan Cho. Pipinya terasa seperti terbakar, panas, yang menyebabkan kulit pipinya merona merah. Kedua tangan Bangsawan Cho menangkup pipi tirus istrinya, ia hanya tersenyum ketika melihat bibir merah istrinya itu menjadi semakin merah dan agak membengkak.

 

“aku mencintaimu… aku mohon, apapun yang terjadi, tetaplah berada disampingku” bisik Bangsawan Cho setelah nafasnya kembali normal.

 

“ummh…” angguk Putri Kim sambil menatap Bangsawan Cho.

 

“berjanjilah, bahwa kita akan selalu bersama apapun yang terjadi. Kita akan selalu bersama mengarungi hidup ini, dalam suka atau duka, dalam senang atau sedih. Berjanjilah!” pinta Bangsawan Cho.

 

“iya… aku berjanji akan selalu bersama denganmu, mengarungi kehidupan ini, baik suka ataupun duka, baik senang ataupun sedih” angguk Putri Kim sambil tersenyum lembut.

 

“gomapta…” Bangsawan Cho kembali menciumi bibir Putri Kim, kali ini ia sambil menggendong Putri Kim lalu membaringkannya di atas tempat tidur dengan lembut.

 

Ketika punggungnya menyentuh tempat tidur, Putri Kim menatap Bangsawan Cho dengan tatapan yang canggung. Bangsawan Cho mengerti dengan tatapan itu, dia tersenyum lembut. Kemudian ia mencium kening Putri Kim mengharap dapat memberikan ketenangan untuk istrinya ini. Kemudian bibirnya turun pada kedua mata Putri Kim yang terpejam. Setelah itu, ia menuju pipi yang halus itu. Diciumnya pipi kanan dan kirinya bergantian. Putri Kim meremas selimut yang ada di bawah tubuhnya. Tidak terkira rasa canggung, dan berdebar yang ia alami saat ini. Rasa canggung, karena malam inilah akan menjadi malam pertama yang sesungguhnya baik itu bagi dirinya, maupun bagi Bangsawan Cho. Malam pertama, dimana cinta Putri Kim kembali bersemi untuk Bangsawan Cho. Malam pertama, yang akan menjadi awal dari kebahagiaan dalam hidupnya. Malam pertama dimana cintanya dan cinta suaminya akan bersatu baik jiwa ataupun raga.

 

Perlahan, Bangsawan Cho menarik tali hanbok yang menjadi penahan agar baju itu tetap berada di tempatnya. Tidak bisa digambarkan bagaimana gemuruh di dada mereka. Putri Kim menahan nafas ketika Bangsawan Cho telah membuka pakaian atasnya, yang menyisakan kain putih yang menjadi pakaian dalam yang melindungi permukaan kulitnya saat ini. Bangsawan Cho mulai menempatkan dirinya dengan berbaring disamping Putri Kim. Ia menyangga beban tubuhnya dengan sikut dan lututnya. Dia menatap lagi wajah Putri Kim untuk yang kesekian kalinya. Rasanya tidak ada kata puas ketika menatapi kecantikan alami yang terpancar dari wajah istrinya ini. Mata Putri Kim yang terpejam seolah memberinya izin untuk melakukan hal yang seharusnya ia lakukan sebagai sepasang suami istri. Bibir istrinya yang merah seolah terus mengajak dirinya agar segera mengecapi rasa manis yang akan mereka dapatkan. Putri Kim membuka matanya perlahan memperlihatkan tatapan sayu yang sangat menggoda dimata Bangsawan Cho.

 

“aku sangat mencintaimu… jadilah milikku selamanya” bisik Bangsawan Cho dengan nafas yang memburu. Segera ia menghampiri bibir merah yang telah menantinya sejak tadi. Dengan penuh kelembutan, lidahnya menjilati permukaan bibir halus itu sebelum akhirnya lidahnya membelit lidah yang berada didalam mulut Putri Kim. Tangan Bangsawan Cho meremas tangan Putri Kim yang terasa dingin dan gemetar. Suara kecipak dari kedua mulut itu terdengar semakin jelas, ketika Bangsawan Cho semakin memperdalam ciumannya.

 

*aah udah ah, gak sanggup nerusin. Hahahaha…. Mianhe.. TeBeCe disini yah*

 

😀 V :*

 

***

 

Kyaaaaaaaa ini Bangsawan Cho, beneran menyebalkan. Beraninya dia melakukan ini padaku. Ketika membaca ulang, hwaaah aku gigit-gigit bantal. Bagaimana bisa Bangsawan Cho selembut ini. Uugghh… >////< eh eh eh, ini hot nggak? Huahahahaha. V

 

“Aah, Umin, nae yeobo *gak ada protes* 😀 dari pada sedih-sedih sendirian, mending kesini yuk, kita ikutan kayak KyuWook yuuk!”gkgkgk. *dibakar

 

OMG, pengen liat kecantikan Putri Kim, nih aku kasih Badawook yang paliiiiiiiiiiiing cantik, tapi kalian bayangin dia pake hanbok.

47737c9agw1e807h7ncwaj20m80xcgzo

(iniiii… umin nya abaikan aja ya sodarah-sodarah) ^^

 

tumblr_l6ulivAzpn1qc8jdv 47737c9agw1e80hl0atz1j20m80xcwlu

Oh my god >,< dan juga bayangin si King Kyu, hwaaaahhh aku melting…. Hihihi..

BgxYzxkCIAEkg_c BegCBGACMAEMRIS

BhAN81hCQAAWhRn

 

(ini, klo lagi bertarung kayak gini nih gayanya. kekekek)

 

Ummh, untuk panggilan “suamiku”, “istriku” enaknya pake apa ya? Ini aku serahin pada readerdeul semua deh 🙂 *tolong kasih masukan! 🙂

Baiklah, aku pamit aja. Mau nerusin apa yang dilakukan KyuWook, bersama dengan suami tercinta, Lee Sungmin. *JDUAGH 😛

 

See u next time.

 
23 Komentar

Ditulis oleh pada Februari 27, 2014 inci (FF) Moonlight Melody, Fanfiction

 

Tag: , , , , ,

Moonlight Melody Chap 8

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody

Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

Lee masih menatapi punggung yang bergetar itu dengan tatapan sedih. Isakan tangis yang terdengar dari bibir Putri Kim membuat hatinya hancur. Bagaimana tidak, ia pun menyadari apa yang selama ini ia lakukan telah menyakiti perasaan Putri Kim. Walaupun ada niat baik yang ia sembunyikan disana, tapi tetap saja hal ini malah membuat hati gadis yang ia cintai itu tercabik.

Putri Kim menangis tergugu. Dia tidak bisa menahan perasaan hatinya lagi. Malam ini, biarkanlah ia mengeluarkan semua beban yang ia derita. Biarkanlah airmatanya ia tumpahkan, berharap besok tidak akan ada hal lain lagi yang akan ia tangiskan. Berharap bahwa esok hari akan menjadi hari yang lebih baik untuk dirinya. Tapi itu semua hanyalah harapan kosong saja. Kenyataan yang harus ia rasakan adalah, bahwa harapan itu mungkin tidak pernah akan menjadi nyata selama dirinya masih terkungkung dalam genggaman Bangsawan Cho.

Tiba-tiba sebuah pelukan terasa menghangatkan punggungnya. Putri Kim menahan nafas menyadari bahwa Lee yang memeluknya sekarang.

“apa yang anda bicarakan Putri? Aku tidak akan pernah meninggalkanmu… percayalah, aku akan selalu berada di sisimu” bisik Lee sambil mengeratkan pelukannya. Perlahan, ia memutar bahu Putri Kim agar menghadapnya.

“walaupun kehidupan ini berubah, hanya satu yang akan tetap sama. ‘yaitu, perasaan hatiku

“…. Janjiku. Janjiku pada Tuan Kim, dan janjiku padamu. Itu yang akan selalu sama. Tidak peduli betapa bencinya anda, janji itu akan selalu aku tepati” kata Lee tegas.

“benarkah itu Lee?” bisik Putri Kim sambil terisak.

“tentu saja. Sekarang, hapus airmatamu. Sejak detik ini, aku tidak akan pernah membiarkanmu menangis lagi” terlihat rasa sakit dari setiap kata yang diucapkan Lee. Ibujarinya menghapus sisa airmata di pipi Putri Kim.

“bangunlah! Ada sesuatu yang harus anda ketahui” Lee membantu Putri Kim untuk berdiri, lalu mengajaknya duduk disebuah kursi yang ada di samping pohon sakura.

Angin dingin terasa menyapu kulit kedua orang itu. Dari arah selatan, terlihat mendung tipis yang mengarak menuju utara, tempat dimana mereka berada saat ini.

“ada apa Lee?…”  tanya Putri Kim sambil menatap mata Lee. Beruntung bulan yang memancarkan cahayanya, sehingga Putri Kim dapat dengan mudah melihat wajah sedih Lee.

“apa kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat sangat pucat” dari suaranya, terdengar bahwa Putri Kim mengkhawatirkan kesehatan Lee.

“anda tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Akhir-akhir ini aku merasa sulit tidur, mungkin itu yang membuat wajahku menjadi terlihat pucat” tenang Lee sambil tersenyum. Walaupun ia tersenyum dengan sangat lembut sekalipun, tetap saja, sorot matanya tidak bisa berbohong, bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hari pria itu.

Sebelum Lee kembali mengeluarkan suaranya, dia mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kotak kecil yang terbungkus kain sutera, ia serahkan ke tangan Putri Kim.

“apa ini?” tanya Putri Kim sambil menatap kotak itu.

“bukalah!” dengan ragu, Putri Kim membuka simpul kain itu, dan ia mendapati kotak hitam yang terbuat dari kayu eboni. Benda ini terlihat sangat familiar bagi dirinya. Dan untuk menghilangkan rasa penasaran di dadanya, segera ia membuka kotak itu.

“ini…” Putri Kim terbelalak kaget. Sebuah cincin giok berwarna hijau tampak berada didalam kotak itu. Yang ia ketahui, cincin itu adalah milik ayahnya yang akan diberikan pada Bangsawan Cho, setelah mereka menikah.

“apakah ini milik ayah?” tanya Putri Kim penasaran, dan dibalas anggukan oleh Lee. “tapi… bagaimana bisa cincin ini ada padamu?” Putri Kim mengernyitkan alisnya.

“bangsawan Cho yang menitipkannya padaku” demi mendengar nama itu, Putri Kim tersentak kaget.

“Bangsawan Cho? Kenapa cincin ini bisa berada di tangan Bangsawan Cho? Lee… katakan padaku, apakah kau mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui?” Putri Kim merasa jantungnya berdegup dengan sangat kencang, apalagi setelah melihat respon Lee yang hanya menunduk dalam seperti menyesali sesuatu.

“Lee…” panggil Putri Kim sambil memegang tangan pria yang duduk disampingnya itu.

“mianhanda… jika anda ingin membunuhku setelah aku menceritakan semuanya, maka bunuhlah aku” Putri Kim terbelalak mendengar perkataan Lee.

“ada apa sebenarnya?” bisik Putri Kim bingung.

~o~

Bangsawan Cho membaringkan dirinya di dalam kamar pribadinya. Hatinya merasa ragu apakah ia harus tidur di Paviliun Anggrek Biru atau tidur disini. Matanya tidak bisa terpejam sama sekali. Dia hanya terbaring sambil menatapi langit kamarnya yang dicat putih bersih. Dengan alasan mengurus tamu dari China yang menginap di rumahnya, maka ia bisa menghabiskan waktu malamnya sendirian. Sesekali ia membalikkan tubuhkan ke kanan kadang ke kiri.

“aargh….” lenguh Bangsawan Cho sambil duduk diatas ranjangnya. Entah mengapa bayangan akan kematian Tuan Kim selalu menyiksa malam-malamnya. Membuat dia selalu merasa gelisah, kadang dalam tidurpun ia akan memimpikan kejadian yang paling mengerikan yang pernah terjadi dalam hidupnya itu.

“Tuan Kim… maafkan aku…” desis Bangsawan Cho sambil menghapiri jendela kamarnya, kemudian ia membukanya dan dari atas langit malam, dapat ia lihat bulan purnama yang bersinar indah, menyebarkan cahaya redup yang menenangkan hatinya.

*Flashback*

Sore dimana Bangsawan Cho dan ayahnya meninggalkan Istana Timur untuk kembali ke kediamannya. Ditengah perjalanan, mereka berpapasan dengan orang kepercayaan Tuan Cho yang menyebabkan perjalanan pulang menjadi agak terlambat.

 

“Tuan, kami telah mendapatkan informasi tentang pergerakan Gubernur Yun” lapor orang yang bernama Jung Dae itu.

 

“benarkah? Lalu…” Tuan Cho ingin segera mengetahui apa yang direncanakan oleh Gubernur Yun.

 

“dia berencana untuk membunuh Tuan Kim, dan mengambil alih perdagangannya dengan pihak China. Sudah sejak lama Gubernur Yun tertarik untuk merebut bisnis perdagangan ini. Dan kami juga mendapat informasi, bahwa rencana Gubernur Yun akan dilakukan malam ini” demi mendengar keterangan Jung Dae membuat Tuan Cho dan putranya terdiam.

 

“malam ini? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Tuan Cho khawatir apa yang akan terjadi pada teman lamanya itu.

 

“ayah, biarkan aku yang menangani Gubernur Yun. Aku dan Jung Dae sudah menyusun rencana untuk menjerat orang itu. Aku tidak bisa terima jika malam ini dia akan membunuh calon mertuaku sendiri. Ayah jangan khawatir, percayakan semuanya padaku” terdengar nada optimis dari suara Bangsawan Cho.

 

“Tapi kau tidak bisa bergerak sendirian. Ayah akan menyiapkan pasukan untuk menemanimu malam ini” kata Tuan Cho.

 

“tidak perlu…” geleng Bangsawan Cho. “Jung Dae, apakah kau sudah membawa orang-orang pilihanmu?” tanya Bangsawan Cho sambil melirik Jung Dae.

 

“iya Tuan, lima orang ahli pedang telah saya bawa serta” angguk Jung Dae.

 

“bagus” Bangsawan Cho tersenyum puas.

 

“bagaimana bisa kau akan melawan mereka hanya dengan mengandalkan lima orang?” Tuan Kim merasa khawatir.

 

“ayah jangan meremehkan kemampuan mereka. Sekarang, sebaiknya ayah pulang, dan aku akan kembali mengawasi Istana Timur. Jika besok pagi aku tidak pulang, maka siapkan orang untuk menjemput Putri Kim kemari!” pinta Bangsawan Cho.

 

“hhff…. baiklah, semoga kau berhasil anakku” sebelum pergi, Tuan Cho meremas bahu putranya untuk memberikan semangat pada anak semata wayangnya ini. “jangan ceroboh! Ingat itu”

 

“baik ayah. Aku akan mengingat kata-kata ayah” angguk Bangsawan Cho.

 

Di hutan pinus itu,mereka berpisah. Tuan Cho meneruskan kembali perjalanan menuju tempat kediamannya. Sedangkan Bangsawan Cho dan lima orang lainnya menuju arah yang berlawanan dengan Tuan Cho, yaitu menuju Istana Timur. Mereka telah mempelajari bagaimana taktik Gubernur Yun untuk menghancurkan para pejabat yang tidak mematuhi perintahnya. Dan dari informasi yang telah diperoleh, Bangsawan Cho mempelajari bagaimana cara Gubernur Yun untuk menghancurkan Tuan Kim.

 

Malam telah datang. Bangsawan Cho , Jung Dae dan lima orang lainnya mengawasi dari benteng tepat dimana kamar Tuan Kim berada.  Mereka sangat yakin, orang suruhan Gubernur Yun akan membawa Tuan Kim keluar dan hanya tempat inilah yang akan menjadi jalan keluarnya.

 

Hampir beberapa jam mereka menunggu, namun tidak ada tanda-tanda kemunculan dari orang suruhan Gubernur Yun. Bangsawan Cho melirik Jung Dae dengan tatapan tanda tanya.

 

“saya yakin, sebentar lagi mereka akan tiba. Tunggu saja” angguk Jung Dae.

 

Lalu tiba-tiba muncul sekelebat bayangan hitam yang masuk kedalam Istana Timur. Bangsawan Cho segera meminta Jung Dae untuk berwaspada.

 

“mereka telah datang” bisik Bangsawan Cho sambil menghunus pedangnya.

 

Bayangan hitam itu bergerak sangat cepat. Ada lima buah bayangan yang tertangkap indra penglihatan Bangsawan Cho yang masuk kedalam kamar Tuan Kim. Dan tidak beberapa lama mereka keluar sambil membawa seseorang yang kepalanya tertutup kain hitam, tangan dan kakinya terikat tali dengan kencang. Dapat dipastikan siapa yang berada dalam ikatan itu, Tuan Kim.

 

Orang-orang yang berpakaian serba hitam itu segera mengangkat tubuh Tuan Kim untuk menaiki benteng. Setelah itu, dengan mudah mereka dapat melarikan diri dari Istana Timur. Tuan Kim tampak setengah diseret memasuki hutan pinus.

 

“saatnya bergerak!” perintah Bangsawan Cho sambil mengambil langkah pertama mengikuti kelompok orang suruhan Gubernur Yun.

 

Mereka tidak segera membunuh orang-orang itu. Karena menurut perkiraan Bangsawan Cho, Gubernur Yun telah menunggu kedatangan Tuan Kim di tengah hutan. Dari kasus-kasus sebelumnya, Gubernur Yun selalu melakukan negosiasi terakhir di tempat kejadian pembunuhan. Dan mungkin hal yang sama akan terjadi pada Tuan Kim. Sehingga Bangsawan Cho akan menantikan saat dimana ia melihat Gubernur Yun disana, dan akan membunuhnya menggunakan tangannya sendiri.

 

Tapi perkiraan mereka salah. Setiba di tengah hutan pinus, tidak ada Gubernur Yun atau tanda-tanda kehadirannya disana. Kelompok berpakaian hitam itu tampak menuju sebuah danau yang ada di tengah hutan. Kemudian mereka membuka penutup kepala yang menutupi kepala Tuan Kim. Tampak mulutnya di dibekap dengan kain sehingga ia tidak bisa mengeluarkan suaranya.

 

“haha… kau takut?” tanya salah satu dari mereka dengan nada mengejek.

 

“eum… eumh…” geleng Tuan Kim sambil mengeluarkan suara yang tidak jelas karena tertutup tali bekapan.

 

“kau lihat danau ini. Ini akan menjadi tempat peristirahatanmu yang terakhir. Hahaha” kelima orang itu tertawa puas melihat ketakutan Tuan Kim.

 

Kemudian salah satu dari mereka memasangkan batu di kaki Tuan Kim, dengan maksud agar nanti tubuh Tuan Kim tenggelam ke dasar danau dengan mudah. Tuan Kim menggerak-gerakan tubuhnya dan kepalanya menggeleng tidak mau. Tapi sayang, ikatan yang melilit di tubuhnya membuat dirinya tidak bisa melakukan perlawanan apapun.

 

Sebelum orang yang mengikat batu di kaki Tuan Kim itu selesai dengan pekerjaannya, tiba-tiba sebuah pisau kecil meluncur dan menancap tepat ditelapak tangannya.

 

“aaghh…..” teriaknya sambil memegangi telapak tangan yang mengucurkan darah segar.

 

“kau kenapa?” tanya dua orang temannya, lalu membantu melepaskan pisau yang menancap itu dan tanpa sadar melemparnya tepat di bawah kaki Tuan Kim.

 

“apa-apaan ini?” tanya sang ketua dengan nada marah. Mereka berempat bersiap menghunuskan pedang ketika melihat Bangsawan Cho dan lima orang di belakangnya mendekati mereka.

 

“siapa kalian? Beraninya datang kemari dan mengganggu pekerjaanku?” tanya sang ketua sambil menatap Bangsawan Cho dengan penuh amarah.

 

“lepaskan dia sekarang” desis Bangsawan Cho sambil menghunuskan pedang tepat ke dagu sang ketua.

 

“berani sekali kau menantangku. Aku telah mendapat perintah untuk membunuh orang ini. Jadi, jika kau mau orang ini kembali maka hadapi dulu pedangku” tantang sang ketua.

 

Jung Dae dan tiga orang yang bersamanya sama-sama mengunuskan pedang. Mereka telah mendapatkan lawan duel masing-masing. Dan tanpa mendapatkan komando dari siapapun, pertarungan pedang itu terjadi. Tuan Kim menatap Bangsawan Cho dengan tatapan cemas. Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Bangsawan Cho sebagai putranya sendiri, sehingga dia merasa takut jika hal buruk terjadi pada Bangsawan Cho.

 

Orang yang telapak tangannya tertancap pisau kini sudah berbaring tak bernyawa di tanah. Orang-orang Bangsawan Cho saling membantu untuk mengalahkan musuh mereka. Dentingan pedang yang saling beradu menjadi musik mengerikan yang terdengar di tengah hutan pinus itu. Bangsawan Cho mengayunkan pedangnya bermaksud untuk menusuk perut sang ketua. Namun sayang, pergerakan langkah yang cepat membuatnya hanya menebas angin. Dua orang, dari pihak Bangsawan Cho sudah terkapar di tanah. Dan pihak musuh telah kehilangan tiga orang.

 

Tuan Kim berusaha meraih pisau dari bawah kakinya. Dan dengan mengerahkan segenap tenaganya, akhirnya dia bisa melepaskan diri dari tali yang menjerat kaki dan tangannya. Kemudian Tuan Kim melepaskan ikatan yang membekap mulutnya.

 

Pertarungan pedang masih terjadi. Jung Dae dan temannya masih berusaha melawan musuh mereka yang memiliki keahlian pedang hebat. Bahkan beberapa kali Jung Dae sempat terkena sabetan pedang. Bangsawan Cho masih berusaha melumpuhkan sang ketua yang menyerangnya bertubi-tubi, namun ia masih bisa mengelak serangan dari musuhnya. Tanpa sadar, langkah Bangsawan Cho semakin mendekati Tuan Kim. Suara dari pedang yang saling beradu itu kini terdengar sangat jelas di telinga Tuan Kim. Dan ia melihat salah satu dari orang berpakaian serba hitam yang terkapar di tanah itu, mulai menggerakan sebagian tubuhnya dengan agak lemas. Dan walaupun darah mengalir dari pinggangnya, tapi ia kini dapat berdiri kembali diatas kedua kakinya. Dia tampak menunggu Bangsawan Cho yang memundurkan langkahnya menuju dirinya. Pedang yang terhunus telah siap menanti kedatangan Bangsawan Cho. Mata Tuan Kim menatap nanar pada bahaya yang dihadapi oleh calon menantunya ini. Hingga ketika langkahnya semakin dekat, Tuan Kim menata tenaganya dan setengah berlari menuju Bangsawan Cho,

 

“awaaas…” teriak Tuan Kim, lalu tangannya mendorong Bangsawan Cho hingga tersungkur di tanah.

 

Bangsawan Cho merasa kaget pada orang yang mendorongnya barusan. Dan lebih kaget lagi pada pemandangan tepat di depan matanya. Tuan Kim berdiri diantara dua orang yang menusukkan pedang dari arah depan dan belakangnya. Jika Tuan Kim tidak mendorongnya, mungkin dialah yang akan bernasib seperti itu. Terlihat Tuan Kim yang membungkukan badan, dan dari mulutnya memuntahkan darah segar.

 

“Tuan… Kim….” suara Bangsawan Cho bergetar.

 

Lalu dengan amarah yang memuncak, dia menendang orang yang berada di belakang Tuan Kim, dan dia menusukkan pedangnya tepat dileher orang itu, sehingga tidak ada suara yang terdengar lagi. orang itu menggelepar meregang nyawa di atas tanah.

 

Tuan Kim menumpu badannya dengan sebelah kakinya yang tertekuk. Tangannya berusaha mencabut pedang yang tertusuk di perutnya. Rasa sakit terasa menjalari setiap inci tubuhnya ketika pedang itu ditarik dari perutnya. Lalu ia jatuh tertelungkup sambil memuntahkan darah segar yang sangat banyak.

 

Bangsawan Cho menyerang sang ketua yang kini sudah tidak bersenjata lagi. Dengan geram Bangsawan Cho menendang perut sang ketua hingga ia menundukkan tubuhnya.

 

“hyaaaa….” teriak Bangsawan Cho sambil menusukkan pedangnya. Tubuh orang itu terdorong mundur hingga bersandar di salah satu pohon pinus.

 

“a-agh…” orang itu sudah tidak bisa mengeluarkan suaranya lagi, dia melepaskan nyawa seiring Bangsawan Cho yang mencabut kembali pedang dari perut sang ketua.

 

Seolah baru menyadari apa yang terjadi, Bangsawan Cho segera berlari menghampiri Tuan Kim. Diangkatnya tubuh lemah Tuan Kim dan membaringkannya di pangkuan Bangsawan Cho.

 

“T-Tuan Kim… bertahanlah, aku akan segera membawamu pulang” ujar Bangsawan Cho dengan suara yang terbata.

 

“anakku….” Tuan Kim berusaha mengambil sesuatu dari saku celananya. Lalu mengeluarkan kotak hitam yang terbuat dari kayu eboni. Lalu mengulurkannya ke hadapan Bangsawan Cho.

 

“a-aku…. Telah merestuimu… t-tolong… jaga… Putriku… d-dari… Gubernur – Yun…” dengan sisa nafasnya, Tuan Kim mengeluarkan suaranya.

 

“jangan khawatir, aku akan menjaga Putri Kim dengan baik…” Bangsawan Cho tidak bisa menahan airmatanya lagi.

 

“b-berikan… ini… padanya…” desis Tuan Kim lemah.

 

Bangsawan Cho memegang tangan Tuan Kim yang masih memegang kotak kayu itu, sangat terasa tangan itu gemetar hebat.

 

“tolong… selamatkan… putriku…” Bangsawan Cho menganggukan kepalanya.

 

“anda jangan khawatir aku akan menjaga Putri Kim dengan seluruh hidupku. Aku mohon Tuan bertahanlah…” Tuan Kim tampak menggelengkan kepalanya.

 

Tiba-tiba tubuh Tuan Kim menegang, dan pegangan tangannya mencengkram tangan Bangsawan Cho dengan sangat kuat. Sebelum akhirnya, pegangan itu melemas dengan sendirinya ketika Tuan Kim selesai menghembuskan nafasnya yang terakhir.

 

“T-Tuan… T-Tuan Kim…” Bangsawan Cho tampak panik, dia kemudian memeriksa denyut nadi calon ayah mertuanya itu, namun sayang, dia tidak merasakan denyutannya lagi disana. Perasaan Bangsawan Cho sangat sesak. Amarah dan rasa sedih kini berkumpul di dadanya. Airmatanya hanya menggenangi pelupuk matanya.

 

‘kenapa… kenapa kau harus mengorbankan nyawamu untukku? kenapa…’ raung Bangsawan Cho dalam hati.

 

Tidak berapa lama Jung Dae dan satu orang temannya, datang menghampiri Bangsawan Cho.

 

“Tuan…” panggil Jung Dae menatap cemas pada Bangsawan Cho.

 

“kalian pulanglah, dan rawatlah teman kita yang terluka. Jangan mengatakan hal ini pada ayah. Kejadian malam ini, cukup hanya kita yang mengetahuinya” pinta Bangsawan Cho, dan kedua orang itupun mengangguk paham.

“aku akan mengantarkan “ayahku” pulang. Kalian pergilah!” perintah Bangsawan Cho.

 

Selepas kedua temannya pergi, Bangsawan Cho mencabut pedang yang masih bersarang di punggung Tuan Kim. Lalu, dengan hati-hati, ia menggendong Tuan Kim di punggungnya. Tidak peduli noda darah yang mengotori pakaiannya. Ia berjalan dengan agak terhuyung. Tangan kanannya memegangi pedangnya, bersiaga jika ia menemukan ancaman di depannya. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Sepanjang perjalanannya menuju Istana Timur, kepalanya di penuhi rencana-rencana yang tidak mungkin untuk direalisasikan. Apa yang harus ia katakan jika Putri Kim bertanya tentang ayahnya. Apa yang akan terjadi jika dia kehilangan kepercayaan dari putri Kim.

 

Pagi hampir menjelang, Bangsawan Cho telah tiba di Istana Timur. Dengan hati-hati dia menurunkan Tuan Kim dan membaringkannya di tanah. Ketika ia akan memasukan pedang kedalam sarungnya, tiba-tiba beberapa pelayan melihat dirinya dan Tuan Kim yang terbujur kaku. Mereka mulai berteriak histeris melihat keadaan Tuan mereka. Bangsawan Cho tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, dia terlalu kaget pada apa yang dilakukan para pelayan itu. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang harus ia lakukan. Hingga tidak berapa lama, dari balik kerumunan para pelayan itu, muncullah satu sosok wajah yang sangat ia kenal. Dengan tatapan kagetnya dia menatap kearah ayahnya. Dan matanya terbelalak sempurna ketika melihat dirinya yang berdiri disamping jasad Tuan Kim.

 

Bangsawan Cho tidak bisa menatap manik mata cokelat itu lebih lama lagi.

 

‘maafkan aku Putri Kim… maafkan aku…’ bisik Bangsawan Cho dalam hati.

 

~o~

 

Di malam setelah jasad Tuan Kim dikuburkan, Bangsawan Cho datang menemui Lee. Baginya, tidak ada orang yang bisa ia percayai selain pria itu, Lee Sungmin. Tanpa kebohongan apapun, Bangsawan Cho menceritakan semuanya pada Lee. Bagaimana kematian Tuan Kim yang sangat menyesakkan dadanya. Awalnya, memang Lee tidak percaya, tapi ia melihat kejujuran dari sinar mata Bangsawan Cho.

 

“jika kau melakukan itu, maka Putri Kim akan membencimu” ingat Lee.

 

“gwenchana… mungkin akan lebih baik, jika dia membenciku. Bagaimanapun juga, akulah penyebab ayahnya meninggal. Jika Tuan Kim tidak mendorongku pada saat itu, mungkin saat ini aku yang sudah mati” Bangsawan Cho menahan emosinya, matanya terpejam dan tangannya terkepal sempurna.

 

“Lee… aku harap kau bisa membantuku” Lee menganggukan kepalanya mengerti. “dan, bisakah kau menjaga ini?” tanya Bangsawan Cho sambil menyerahkan kotak kayu pemberian Tuan Kim.

 

“bukankah ini…” Lee mengernyitkan alisnya. Dia sudah tahu pasti apa isi didalam kotak itu. Sebuah cincin giok berwarna hijau. Dan Tuan Kim pernah mengatakan padanya, bahwa ia akan memberikan cincin itu pada menantunya, ketika hari pernikahannya tiba.

 

“saat ini, aku masih belum pantas menerimanya. Jadi, bisakah kau menyimpannya untukku?” tanya Bangsawan Cho.

 

“baiklah…” angguk Lee sambil menerima kotak kayu itu.

 

*Flashback End*

Bayang-bayang itu selalu terlihat jelas dalam benak Bangsawan Cho. Bagaimana ia dengan matanya sendiri melihat Tuan Kim yang ditusuk pedang, dan bagaimana ketika Tuan Kim meminta Bangsawan Cho untuk menjaga Putri Kim. Selama ini, yang ia lakukan adalah bertujuan untuk menjaga Putri Kim dari tangan Gubernur Yun. Melalui sebuah kebohongan, dia mengharapkan agar Putri Kim tetap berada disisinya, dan di lain pihak, dia akan merencanakan pembalasan pada apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Yun.

Bangsawan Cho menghembuskan nafas berat. Mungkin malam ini, sebaiknya ia tidur bersama dengan Putri Kim. Walaupun tidak dipungkiri, setiap melihat wajah cantiknya yang terlelap, terbesit rasa sakit di ulu hatinya. Ketika ia melihat mata Putri Kim yang sembab, ia mengutuk dirinya sendiri yang menyebabkan Putri Kim menangisi takdir hidupnya. Kemudian, Bangsawan Cho mengenakan kembali pakaian formalnya yang tersampir di ujung ranjang.

“setidaknya, dengan melihat wajahnya, beban hidupku terasa berkurang, walaupun hanya sedikit” bisik Bangsawan Cho sambil meninggalkan kamar pribadinya.

~o~

Lee menceritakan semua yang terjadi pada Putri Kim. Semua yang dikatakan oleh Bangsawan Cho pada malam itu, ia katakan kembali pada Putri Kim. Gadis itu tidak bisa menahan airmatanya lagi. Dia menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“maafkan aku… seharusnya aku mengatakannya sejak awal” sesal Lee.

“bagaimana bisa kau melakukan semua ini padaku Lee? Sejak dulu aku selalu mempercayaimu. Tapi sekarang? Kau bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku. Kau menyembunyikan kebenaran yang seharusnya aku ketahui sejak awal. Bagaimana bisa kau sekejam ini padaku…” Putri Kim bangkit dari duduknya, lalu menangis sambil bersandar di pohon sakura didekatnya.

Perasaannya bercampur baur saat ini. Kecewa, sedih, marah, semuanya berkumpul menjadi satu di dalam dadanya.

“aku pikir semuanya akan baik-baik saja, dan aku tidak mengira bahwa keadaannya akan semakin memburuk seperti sekarang ini”

“Tunggu…, apakah kau sengaja membuatku menikah dengan Bangsawan Cho, karena kau sudah tahu kebenarannya?” desis Putri Kim.

“Tuan Kim telah memberikan restunya pada Bangsawan Cho, aku hanya ingin mempermudah hubungan diantara kalian” ujar Lee sambil mengulurkan kotak yang berisi cincin giok dari Tuan Kim. Tapi Putri Kim mengabaikan itu.

“Lee… untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku sangat kecewa padamu. Kau tahu, karenamu, aku hampir membunuh Bangsawan Cho” bibir Putri Kim gemetar menahan emosi. Ia teringat ketika ia melewati malam pertamanya bersama Bangsawan Cho.

“sudah aku katakan sebelumnya, jika kau ingin membunuhku setelah aku ceritakan semua kebenarannya padamu, maka lakukanlah!” Lee mengulurkan pedang miliknya kehadapan Putri Kim.

“untuk apa aku membunuhmu? Kematianmu tidak akan ada gunanya untukku” kata Putri Kim sambil berlalu dari hadapan Lee.

Mendengar perkataan Putri Kim barusan membuatnya diam mematung. Perkataan yang membuat perasaan hatinya terkoyak. Apakah ini akhir hubungan dirinya dengan Putri Kim? Tangan kanannya meremas kotak kayu yang diacuhkan oleh Putri Kim. Saat ini dirinya sangat merasa bersalah, apa yang dikatakan Putri Kim memang benar. Karena kecerobohannya, hampir membuat gadis itu membunuh suaminya sendiri.

Awan mendung yang sejak tadi berarak tipis, kini semakin menggelayut di wilayah utara. Sinar bulan pun kini telah tertutup sempurna karena tebalnya mendung yang menghalangi. Rintik air mulai membasahi bumi. Tetes demi tetes, air hujan itupun membasahi wajah Lee yang masih terdiam di tempatnya. Rintik gerimis itu berubah menjadi semakin deras, tapi Lee masih tidak bergeming dari tempatnya. Dia masih berdiri mematung merasakan dinginnya airhujan yang masuk kedalam pori-pori tubuhnya. Ia mengharap, air hujan akan memadamkan hatinya yang bergolak panas. Ia mengharap airhujan itu akan menyapu bersih rasa sakit dihatinya. Tak ada satupun yang menyadari diantara airhujan yang mengalir itu, tersembunyi airmata Lee yang tertahan sejak tadi.

“tidak apa-apa… aku telah melakukan hal yang benar dengan mengatakan semuanya pada Putri Kim…” desisnya sambil tersenyum pahit.

~o~

Beruntung Bangsawan Cho telah berada didalam kamar Paviliun Anggrek Biru ketika hujan masih berupa rintik gerimis. Tapi dia heran ketika menemui kamar yang dalam keadaan kosong tanpa orang. Bangsawan Cho membuka mantel yang agak basah terkena rintik air tadi, lalu menggantungnya di sudut kamar.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka, lalu kemudian tertutup lagi. Bangsawan Cho segera melihat mungkin Putri Kim yang datang. Dan memang benar dugaannya, Putri Kim perlahan melangkahkan kakinya memasuki kamar. Bangsawan Cho tampak kaget melihat keadaan Putri Kim dengan mata yang sembab dan hidung yang memerah. Dari luar, terdengar suara hujan yang perlahan berubah menjadi deras.

“kau darimana malam-malam begini?” tanya Bangsawan Cho.

Putri Kim tidak menjawab. Mata sembabnya menatap Bangsawan Cho penuh dengan rasa penyesalan. Lalu tiba-tiba…

Putri Kim menurunkan tubuhnya, kini dia bertumpu pada kedua lututnya. Bangsawan Cho yang heran melihat sikap Putri Kim membelalakan mata melihat istrinya yang kini tengah berlutut dihadapannya.

“ada apa? apa yang terjadi?” Bangsawan Cho mencoba bertanya.

“maafkan aku… aku mohon, maafkan aku…” Putri Kim menundukkan kepalanya.

“maaf? Untuk apa?”

“aku telah mengetahui semuanya. Semua yang terjadi pada malam ketika ayahku meninggal” Putri Kim menggigit bibirnya.

Bangsawan Cho terhenyak mendengar apa yang dikatakan Putri Kim. Dia merasa heran, bagaimana Putri Kim mengetahui kejadian itu.

“aku mohon…. Maafkan aku… selama ini aku telah salah menilaimu… seharusnya… aku memperlakukanmu dengan baik, tapi… tapi aku selalu bersikap buruk padamu… maafkan aku Bangsawan Cho… maafkan aku…” entah berapa kali ia menangis malam ini, airmatanya kini pun membasahi mengalir di pipi halusnya.

Bangsawan Cho segera menghampiri Putri Kim lalu memeluknya dengan lembut.

“bukan kau yang seharusnya minta maaf. Semua ini adalah salahku… aku yang membuat ayahmu meninggal. Mianheyo…” bisik Bangsawan Cho lembut sambil mengusap lembut punggung Putri Kim. Airmatanya menggenangi pelupuk matanya, jika ia mengingat bagaimana tragisnya kematian Tuan Kim.

“kau mencoba untuk melindungiku, tapi aku telah salah mengartikan sikapmu. Dan… aku… aku malah mencoba untuk menghilangkan nyawamu… mianhe…” Putri Kim sangat menyesali sikapnya pada Bangsawan Cho. Seandainya tadi Lee tidak mencegahnya untuk pergi menemui Gubernur Yun, maka dia tidak tahu apa yang akan terjadi saat ini. Putri Kim sangat menyesal pada kecerobohannya sendiri.

“uljima… aku mohon, jangan pernah menangis lagi. Kau tahu, setiap melihat airmatamu, hatiku selalu merasa sakit. Maaf, karena aku juga tidak pernah mengatakan kebenarannya padamu. Maafkan aku Putri Kim” kata Bangsawan Cho pelan sambil mengusap airmata Putri Kim.

~To Be Continue~

*huwaaah, aku baru sadar, berapa banyak airmata yang ditangiskan oleh Putri Kim di chap ini… 🙂 V

*abaikan adegan berkelahinya. Emang terasa sangat aneh, ketika kita membayangkan apa yang terjadi, dan mengubahnya menjadi bentuk kata-kata, akhirnya feel-nya gak kerasa. Maaf.. 😦

*Dan aah, Lee…. Segera kasih payung buat Lee. Terus gantiin bajunya, kasian dia, malam-malam mesti ujan-ujanan.. Hhehe…

*Bagaimana chap ini? Hehe.. Tau kok, sangat me-ngantuk-nisasi kan?? Semoga, rahasia yang selama ini disimpan oleh Bangsawan Cho tidak membuat  kalian kecewa. *eh, kayak gini aja rahasianya?* naah, semoga gk seperti itu. 😀

Okeh, sampai jumpa di chap berikutnya yaa.. 😉

Byee~~

 
24 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 19, 2014 inci (FF) Moonlight Melody, Fanfiction

 

Tag: , , ,

Moonlight Melody Chap 7

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody
Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun
Rated : T
Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)
Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
*selamat membaca*
~o~

Lee tidak dapat memejamkan matanya walau hanya sekejap. Yang dia ingat adalah bagaimana keadaan Putri Kim saat ini. Apakah gadis itu akan baik-baik saja? ataukah dia akan terluka oleh katana yang ia berikan padanya tadi? Atau gadis itu akan mencelakai Bangsawan Cho? Hingga fajar menerangi ufuk timur, dirinya masih mondar-mandir gelisah di dalam kamarnya.

Setelah matahari pagi benar-benar telah bersinar terang, dia segera menunggu Putri Kim keluar dari kamarnya. Dengan perasaan cemas dia menunggu hingga Putri Kim berada di hadapannya. Tak berapa lama, Putri Kim tampak keluar diiringi oleh dua orang pelayan di belakangnya. Dirinya diminta untuk sarapan bersama dengan Tuan dan Ny. Cho. Bangsawan Cho sejak pagi telah meninggalkan paviliun ada satu urusan yang harus ia kerjakan terlebih dulu.

“Putri Kim…” suara Lee mencegah langkah kaki gadis itu, tak berapa lama ia menengokkan kepala menatap Lee.

“Lee, kau disini?” Putri Kim bernafas lega.
“kalian tunggu sebentar, ada yang harus aku bicarakan dengan Lee” pinta Putri Kim pada kedua pelayannya.

Putri Kim menarik tangan Lee agar menjauh dari sana. Wajah Putri Kim tampak berbinar. Berbeda dengan wajah Lee yang kusut.

“apakah anda baik-baik saja?” tanya Lee pada akhirnya.

“heeumh” angguk Putri Kim sambil tersenyum.

“dia… tidak menyakiti anda kan?” tanya Lee dengan mata yang menelisik wajah Putri Kim.

“tidak Lee… aku baik-baik saja. lihat, aku masih bisa tersenyum seperti ini” Putri Kim menunjukkan senyum manisnya.

“tapi, semalam…” Lee tidak mengerti.

Putri Kim teringat kembali apa yang terjadi padanya semalam.

***

“walaupun tidak mungkin untukmu mencintaiku lagi, tapi tetaplah berada disampingku…. Itu sudah cukup untukku” kata Bangsawan Cho lembut sambil menatap mata cokelat Putri Kim.

Putri Kim menatap manik mata Bangsawan Cho. Wajah pria itu semakin mendekati wajahnya. Gadis itu segera mengalihkan pandangan matanya. Dia tidak sanggup menatap wajah Bangsawan Cho yang saat ini tepat berada satu senti dari wajahnya. Hangat nafasnya dapat terasa menghembus diwajahnya yang pucat. Tangan kanan Putri Kim semakin erat memegang katana, dia sudah tidak sabar untuk segera mengeluarkan pisau itu untuk melukai Bangsawan Cho.

Bangsawan Cho memiringkan wajahnya. Ditatapnya bibir mungil istrinya yang merekah merah. Dia dapat melihat bagaimana ia bergetar pelan. Mungkin karena rasa gugup, atau lebih tepatnya, takut. Tangan kanan Bangsawan Cho tepat berada di tengkuk Putri Kim. Menahan agar kepala gadis itu tetap mengarah padanya. Jarak kedua wajah itu kian terhapus. Bangsawan Cho mencoba meraih bibir Putri Kim. Bahkan mata pria itu terpejam ketika ingin menyentuhkan bibirnya diatas bibir Putri Kim.

Namun tiba-tiba tangan Bangsawan Cho melepaskan tengkuk Putri Kim. Dengan nafasnya yang menderu, Bangsawan Cho berdiri menjauhi gadis itu. Putri Kim hanya menatap tidak mengerti pada kelakukan Bangsawan Cho. Dapat ia rasakan betapa frustasi-nya Bangsawan Cho malam ini.

“tidurlah dengan nyenyak!” hanya itu kalimat yang diucapkan oleh Bangsawan Cho.

Dengan wajah yang datar, Bangsawan Cho mengeluarkan selimut tebal dari dalam lemari kecil yang ada di sudut kamar. Kemudian ia menggelarnya diseberang tempat tidur Putri Kim. Lalu, tanpa mengganti pakaiannya, pria itu memejamkan matanya disana.
***

“tidak terjadi apa-apa semalam. Dia hanya memegang pipiku, setelah itu, dia tidur. Tidak ada sesuatu yang terjadi” pandangan mata Putri Kim seolah memberikan ketenangan pada Lee.

“benarkah itu?” Lee tampak tenang “Haaah, syukurlah. Sejak semalam aku tidak bisa tidur takut jika sesuatu yang buruk menimpamu” kata Lee dengan nafas lega.

“kau tenang saja. Katana yang kau berikan, akan selalu melindungiku dengan baik” angguk Putri Kim.
“mianhe, aku harus segera menemui kedua mertuaku, mereka sudah menungguku sejak tadi” sesal Putri Kim.

“aah, ya, silahkan Putri …” senyum Lee mengembang sambil memberikan jalan untuk Putri Kim.
~o~

Pagi itu, adalah pagi pertama yang dijalankan oleh Putri Kim sebagai menantu keluarga Cho. Ketika Putri Kim telah menempati tempat duduknya dan disampingnya telah duduk Bangsawan Cho, maka candaan khas pengantin baru diberikan oleh Tuan dan Ny. Cho pada kedua anak menantunya ini. Putri Kim hanya menundukkan kepala dengan wajah yang memerah. Apa yang dibicarakan oleh kedua mertuanya itu tidaklah ia rasakan semalam. Toh, tidak ada yang terjadi diantara dirinya dan Bangsawan Cho. Bangsawan Cho hanya memberikan respon yang seadanya saja. Sesekali dia hanya akan tersenyum simpul mendengar kata-kata orang tuanya.

“ayah harap, kalian segera memberikan ayah cucu. Sudah sangat lama kami menantikan adanya tangis bayi di tempat ini” kata Tuan Cho menatap pengantin baru dihadapannya bergantian.

Putri Kim hanya memandang piring dihadapannya dengan pandangan nanar. Seorang cucu? Mengapa Tuan Cho tidak mengadopsi seorang bayi saja untuk meramaikan suasana rumah ini. Begitulah yang ada dalam pikiran Putri Kim saat ini.

“ayah, kami baru saja menikah. Haruskah membicarakan tentang seorang cucu sekarang?” Bangsawan Cho ingin menghindar dari topik pembicaraan seperti ini, karena membuat dirinya tidak nyaman.

“dasar anak nakal. Suatu hari, jika kau sudah berumur seperti ayah, maka kau akan merasakan sendiri bagaimana perasaanku sekarang” kata Tuan Cho tidak mau kalah.

“sudahlah, kalian ini mau makan, atau mau bertengkar” Ny, Cho menengahi. “maafkan jika kau merasa tidak nyaman, menantuku. Kami sudah terbiasa seperti ini” kata Ny. Cho dengan suara yang lembut sambil menatap Putri Kim.

“tidak apa-apa ibu… justru aku lebih merasa nyaman berada di suasana yang menyenangkan seperti ini” angguk Putri Kim.

Putri Kim merasakan bagaimana kedua orang tua itu sangat menyayangi dirinya. Tidak ia pungkiri, sangat tenang rasanya berada di tengah-tengah keluarga Cho. Kasih sayang seorang ayah dapat ia rasakan dari Tuan Cho, dan kasih sayang seorang ibu, yang telah lama tidak ia rasakan, dapat ia peroleh dari Ny.Cho.

~o~

Hari-hari berlalu dalam kehidupan rumah tangga Putri Kim. Tanpa terasa pernikahannya hampir menginjak usia dua bulan. Kegiatan rutin yang sudah bosan Putri Kim jalani. Setiap pagi, dia akan sarapan bersama dengan suami dan mertuanya. Siang hari, jika tidak ada lagi pekerjaan, maka dia akan menghabiskan waktu untuk membaca buku di perpustakaan keluarga, atau menyulam bersama ibu mertuanya. Malam hari, dia akan tidur di paviliunnya ditemani oleh Bangsawan Cho.

Walaupun dia dan Bangsawan Cho tidur dalam satu kamar, tapi tidak pernah sekalipun terjadi kontak fisik diantara mereka. Bangswan Cho akan tertidur dengan beralaskan selimut disebelah tempat tidur utama. Diantara tempat tidur itu terpisahkan oleh meja yang memang sengaja Putri Kim tempatkan disana.

Malam itu, Bangsawan Cho memasuki Paviliun Anggrek Biru dengan keadaan yang lelah. Pembukuan keuangan kerajaan mengalami masalah dengan ditemukannya beberapa orang pejabat yang melakukan korupsi. Dengan kepala yang berat, ia menarik selimut tebal dari sudut ruangan. Dan menggelarnya diatas lantai. Tubuhnya yang memang sudah sangat lelah, ia baringkan disana. Perlahan, Bangsawan Cho menatap tempat tidur utama dimana istrinya telah lelap tertidur. Wajahnya yang bersih, dan rambut panjang yang tergerai disamping tubuhnya menambah kesan cantik alami dari wajah Putri Kim. Matanya yang indah kini tertutup rapat, menjadikan gerbang yang memisahkan antara dunia nyata dan dunia mimpinya.

Bangsawan Cho tidur dalam posisi menyamping, dengan kepala yang beralaskan lengan kirinya. Pada posisi seperti ini, membuat dirinya dengan leluasa menatap wajah Putri Kim yang terlelap. Kembali dia menelusuri setiap inchi wajah istrinya. Alisnya yang melengkung sempurna membingkai wajah itu dengan indahnya. Hidung yang kecil tampak sempurna melengkapi wajah Putri Kim. Dan jangan lupakan bibir yang berwarna merah muda itu, tampak mungil dan membuat Bangsawan Cho tidak tahan untuk menatapnya berlama-lama.Tulang pipi itu, kini tampak semakin menonjol dan juga rahang yang terlihat semakin tegas. Dirinya tahu, secara emosional, Putri Kim tidak pernah merasa bahagia tinggal bersamanya disini. Tapi, hati kecilnya tidak pernah rela untuk melepaskan Putri Kim dari sisinya.

Perlahan, Putri Kim menggerakkan kepalanya dengan gelisah. Ingin rasanya Bangswan Cho mengelus keringat yang keluar dari dahi istrinya, namun, dia hanya menatap lekat dari kejauhan, mengharapkan ia segera terbangun dari mimpi buruknya, seandainya dia memang tengah bermimpi buruk saat ini.

Putri Kim membuka kelopak matanya. Pemandangan pertama yang ditangkap oleh indra penglihatannya adalah Bangsawan Cho yang tertidur nyenyak di seberangnya. Setelah mengetahui suaminya telah tidur dengan lelap, Putri Kim memejamkan matanya kembali.

~o~

Sepintar-pintarnya tupai melompat, akhirnya dia akan jatuh juga. Sebisa mungkin Bangsawan Cho merahasiakan apa yang telah ia lakukan pada Tuan Kim, kabar itu akhirnya tiba juga di telinga kedua orang tuanya. Kemarin, Gubernur Yun tiba-tiba saja berkunjung ke kediaman Tuan Cho. Dengan alasan dia ingin memberikan ucapan terima kasih pada Bangsawan Cho. Ketika Tuan Cho menanyakan alasan mengapa Gubernur Yun berterima kasih padanya, barulah ia mengetahui kejadian yang sebenarnya dari mulut Gubernur Yun. Bagaimana dengan heroiknya, Bangsawan Cho telah menghabisi nyawa penjahat negara, Tuan Kim Myung Oh.

Saat ini, Tuan dan Ny. Cho sedang duduk didalam kamarnya. Ny. Cho tampak memandang teh yang ia pegang di pangkuannya dengan tatapan kalut, begitupun dengan suaminya.

“yeobo… bagaimana ini? Aku sudah merasa sejak awal ada sesuatu yang aneh antara putra kita dengan Putri Kim” kata Ny. Cho membuka pembicaraan.

“apa maksudmu? Apakah kau mempercayai apa yang Gubernur Yun katakan kemarin?” tanya Tuan Cho sambil menatap wajah istrinya.

“aku tidak mengatakan bahwa aku percaya pada kata-katanya, hanya saja, kau lihatlah, sikap menantu kita. Sikapnya begitu pemurung, dan setelah mendengar perkataan Gubernur Yun kemarin, semakin membuat aku yakin pada pemikiranku” jelas istrinya.

“hentikan pemikiran anehmu itu, istriku. Aku yakin jika putra kita tidak pernah melakukan hal seburuk itu. Apalagi pada mertuanya sendiri” terang Tuan Cho.

“sebaiknya kau menanyakannya langsung pada Kyuhyun, apa saja yang telah ia lakukan pada ayah mertuanya!” saran Ny. Cho.

“ide yang bagus. Nanti jika dia sudah kembali, maka aku akan menanyakannya langsung padanya” angguk Tuan Cho.

~o~

Suatu siang, Ny. Cho mengajak Putri Kim berjalan-jalan disekitar Istana Bangau Terbang. Suasana asri dapat Putri Kim rasakan seolah ia berada di Istana Timur. Memikirkan keadaan rumahnya saat ini membuat dadanya sesak. Sejak pernikahannya dengan Bangsawan Cho, Putri Kim tidak pernah mendengar kabar tentang Istana Timur lagi, bahkan dari Lee sekalipun. Saat ini hatinya diliputi kerinduan pada rumah yang telah menjadi tempatnya bernaung sejak ia masih kecil. Mengenai bisnis dagang ayahnya, tidak pernah ia dengar lagi laporannya. Saat ini, Putri Kim harus menerima takdir bahwa dirinya telah kehilangan segalanya. Rumah, dan juga bisnis ayahnya. Dia menerima takdirnya dengan hidup sebagai “budak” di keluarga Cho. Walaupun keluarga itu memperlakukannya dengan sangat baik bahkan tidak jarang mereka sangat mengistimewakan dirinya, tapi tetap saja dalam hatinya ia seolah merasa terpenjara. Seumpama burung yang hidup didalam sangkar emas, begitulah perasaan yang dirasakan Putri Kim saat ini.

“menantuku, kau jangan sungkan tinggal disini. Anggap saja ini adalah rumahmu sendiri. Selama ini… kenapa kau selalu bersikap seperti tamu di rumahmu sendiri, padahal saat ini kau sudah menjadi bagian dari anggota keluarga Cho” kata Ny. Cho lembut.

Sebelum menjawab, Putri Kim tersenyum lembut.

“aku sangat berterima kasih pada perhatian ayah dan ibu. Oleh sebab itu, aku tidak mungkin bertindak sesuka hati di Istana ini. Walaupun tempat ini memiliki kesamaan dengan Istana Timur, tapi tetap saja ada ayah dan ibu yang harus aku hormati disini” terang Putri Kim.

“aigoo, kau ini sangat baik. sangat beruntung Putraku menikah denganmu” sahut Ny. Cho sambil membelai pipi Putri Kim. Dapat Ny. Cho lihat bagaiamana keadaan Putri Kim saat ini. Dia menjadi lebih kurus dibandingkan saat pertama datang ke rumahnya ini.

“mianhe, ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Tunggulah sebentar disini, ibu akan segera kembali. Arra!” pinta Ny. Cho seolah baru mengingat bahwa dirinya memiliki satu urusan.

“jika ibu memang sedang sibuk, aku tidak keberatan untuk berjalan-jalan sendirian” kata Putri Kim melihat kegusaran di wajah ibu mertuanya.

“kau yakin kau tidak akan apa-apa?”

Putri Kim hanya mengangguk sambil tersenyum.

“kalau begitu, ibu pergi dulu ne”

“iya ibu. Silahkan” angguk Putri Kim.

Ny. Cho berjalan menjauhi Putri Kim. Langkah kakinya terlihat tergesa. Putri Kim hanya mengantarkan kepergian ibu mertuanya dengan tatapan heran.

‘ada apa dengan ibu? Apakah ia memiliki urusan yang sangat penting?’ tanya hati Putri Kim.

Setelah ibu mertuanya menghilang dari pandangannya, Putri Kim memutuskan untuk masuk kedalam ruangan yang ada disampingnya. Dari namanya, dapat diketahui bahwa tempat itu adalah perpustakaan kecil. Tapi Putri Kim tidak pernah memasukinya sama sekali. Dia selalu membaca buku-buku di perpustakaan utama. Dan baru kali ini dia mengetahui keberadaan tempat ini. Perlahan, dia mendorong pintu yang kebetulan tidak terkunci. Ketika masuk kedalam ruangan itu, dapat dipastikan bahwa tempat itu bukanlah perpustakaan kecil seperti nama yang tertera di ambang pintu. Putri Kim menatap sekeliling tempat itu dengan teliti. Sebuah meja kecil terlihat di depan dinding sebelah kiri. Sebuah lukisan hutan bambu menjadi penghias di atas buffet kecil. Ruangan itu sangat bersih dan rapi, mungkin lebih cocok jika tempat ini dinamakan sebagai ruang kerja seseorang. Putri Kim berjalan mendekati meja kecil itu. Dari jauh, ada satu buah buku yang menyita pandangannya.

Setelah berada di depan meja, Putri Kim segera menggeserkan buku yang tertumpuk diatas buku yang ia lihat tadi. Ketika tidak ada lagi yang menghalangi, Putri Kim tampak terkejut melihat keberadaan buku itu disini. Tanpa menunggu lama, dia segera menyambar buku bersampul hijau keemasan itu. Lalu membukanya dengan jantung berdegup kencang.

“kenapa laporan keuangan ayah berada di sini?” tanyanya pelan dengan jemari yang terus membuka setiap halaman buku. Matanya membulat sempurna ketika ia melihat kegiatan bisnis yang terakhir dicatat disana.

“ini… bulan kemarin?… Bagaimana bisa?” Putri Kim menatap tidak mengerti pada catatan keuangan dihadapannya ini.

~o~

Begitu Ny. Cho tiba di ruang kerja suaminya, dia bersegera masuk kedalam ketika mendengar suara suaminya yang berteriak agak kencang.

“jangan menguji kesabaranku lagi Cho Kyuhyun. Apa yang sudah kau lakukan pada Kim Myung Oh?” tanya Tuan Cho dengan wajah panik. Sejak tadi, Bangsawan Cho hanya menundukkan kepalanya. Tidak berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan ayahnya mengenai kematian ayah Putri Kim.

“maafkan aku ayah. Aku sungguh-sungguh minta maaf padamu” saat ini Bangsawan Cho pasrah menerima hukuman apa yang akan diberikan oleh ayahnya sendiri mengenai menginggalnya teman karibnya itu.

“kau jangan hanya meminta maaf, katakan yang sebenarnya padaku!” perintah Tuan Cho sambil meremas kerah baju anaknya.

“yeobo-ya… hentikan!” teriak Ny. Cho panik. Segera dia melerai suaminya.”apa yang terjadi?” tanya Ny. Cho pada suaminya.

“aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran anak itu. Kau tanyakan sendiri padanya” Tuan Cho menghempaskan tubuh anaknya di lantai. Setelah itu, Tuan Cho pergi meninggalkan ruang kerjanya.

Ny. Cho segera menghampiri putranya yang terduduk di lantai. Bahkan iapun duduk disamping anaknya yang saat ini hanya menundukkan kepalanya.

“anakku… benarkah kabar mengenai kematian Tuan Kim itu… adalah karena dirimu?” dengan suara lembutnya Ny. Cho bertanya pada anaknya.
“jangan takut, jika memang kau tidak memiliki kesalahan, kau jangan takut untuk mengatakannya” Ny. Cho membelai rambut Bangsawan Cho dengan lembut.

Perlahan Bangsawan Cho mengangkat kepalanya. Melihat sinar keteduhan dari wajah orang yang telah mengandungnya itu, memberikan sedikit ketenangan di hati Bangsawan Cho.

“ibu… aku telah melakukan kesalahan. Tuan Kim… dia meninggal karena aku… maafkan aku ibu, maafkan aku” tunduk Bangsawan Cho dengan bahu yang bergetar. Airmatanya tidak dapat dibendung lagi. Selama ini dirinya selalu menahan perasaannya seorang diri. Dan kali ini, dirinya tidak memiliki pilihan lain selain mengeluarkan semua beban dalam hatinya. Airmata yang keluar adalah airmata penyesalan pada perbuatan yang sudah ia lakukan. Melihatnya menangis, Ny. Cho segera memeluk Bangsawan Cho, dengan pelan ia menepuk-nepuk bahu putranya itu.

“tenanglah… ibu ada disini. Kau bisa mengatakan semuanya pada ibu” kata Ny. Cho dengan suara lembutnya, dapat ia rasakan lengan anaknya yang mulai memeluk dirinya seolah meminta perlindungan padanya.

Tuan Cho yang saat ini berdiri di luar hanya mampu menunggu putranya untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Sebagai seorang ayah, dia lebih tahu bagaimana sikap Bangsawan Cho. Selama ini putranya memang lebih dekat dengan sang ibu, dan tidak sedikit rahasia yang ia ungkapkan sang ibu ketimbang pada dirinya. Maka dari itu, dia mempercayakan istrinya untuk mendapatkan kebenaran dari putranya itu.

~o~

Putri Kim terpekur sendirian di dalam kamarnya. Buku yang tadi siang ia temukan, telah selesai ia baca. Tangannya mengepal sempurna dan nafasnya terasa sesak menahan rasa marah dalam dada nya. Dia tidak menyangka, selain telah membunuh ayahnya, bahkan Bangsawan Cho juga meneruskan bisnis yang telah dijalankan ayahnya sepuluh tahun belakangan ini.

“apa maksud semua ini? Kenapa aku harus menerima takdir seperti ini?” umpat Putri Kim menahan marah. Giginya bergemeretak menahan airmata agar tidak jatuh membasahi pipinya.

Tidak berapa lama, terdengar pintu kamar yang terbuka, dan kemudian menutup kembali. Putri Kim mendongak, dan menemukan Bangsawan Cho yang berdiri di ambang pintu. Dia hanya berdiri disana sambil menatap Putri Kim yang duduk didepan meja.

“kau belum tidur?” tanya Bangsawan Cho merasa heran karena sudah selarut ini, istrinya masih terjaga.

“kenapa kau melakukan hal ini padaku? Katakan apa salahku Bangsawan Cho!” desis Putri Kim tajam.

Bangsawan Cho menatap wajah istrinya yang menatap dirinya penuh dengan kebencian. Dia tidak menjawab, dia hanya diam ketika Putri Kim perlahan-lahan bangun dan menghampirinya sambil membawa sesuatu ditangan kanannya. Sesuatu yang selama ini ia sembunyikan keberadaannya dari Putri Kim.

“buku itu…” bisik Bangsawan Cho.

“kenapa? kau heran bagaimana aku bisa menemukannya?” tanya Putri Kim menahan emosinya.

“bagaimana kau bisa…” Bangsawan Cho memberikan tatapan penuh tanda tanya pada Putri Kim.

“apa yang kau rencakan padaku? Apakah kau tidak puas dengan membunuh ayahku dan juga memperlakukan aku seperti ini, dan sekarang, kau juga menjalankan bisnis ayahku. Apa yang kau inginkan? Katakan padaku! Kesalahan apa yang telah keluargaku lakukan padamu?” tanya Putri Kim dengan mata yang berkaca-kaca.

“itu… kau tidak perlu tahu apa yang aku rencanakan. Memangnya kenapa, jika aku menjalankan bisnis ayahmu? Bukankah itu bagus? Dan jangan lupa, Tuan Kim sendiri lah yang memberikan bisnis itu untukku, jika aku telah sah menjadi suamimu” terang Bangsawan Cho sambil tersenyum.

“kau jahat. Seandainya kekayaan keluargaku yang kau inginkan, maka lepaskan aku! Atau jika kau ingin menjadikan aku budak, maka perlakukanlah aku seperti budak-budak yang lainnya. Kenapa kau menyiksaku seperti ini? Hiks…” Putri Kim sudah tidak sanggup menahan airmatanya lagi. Di pipinya telah terbentuk aliran sungai kecil yang berasal dari matanya. Perlahan tubuhnya berlutut didepan Bangsawan Cho.

“aku mohon, jangan siksa aku lagi. Aku sudah tidak tahan lagi… setiap hari aku harus berpura-pura tersenyum didepan kedua orang tuamu. Itu membuatku lelah… Aku mohon Bangsawan Cho. Izinkan aku pergi… kau bisa mengambil apapun yang kau inginkan, tapi lepaskan aku… hiks…” Putri Kim memohon di kedua kaki Bangsawan Cho sambil menangis tersedu. Melihat itu, Bangsawan Cho hanya memejamkan matanya.

“mianhe” dengan suara yang berat, Bangsawan Cho mengeluarkan suaranya. “aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Aku masih belum bisa meraih apa yang kuinginkan, jadi… dengan terpaksa, kau harus tetap tinggal disini” wajah Putri Kim berubah pucat mendengar kata-kata Bangsawan Cho. Dengan matanya yang memerah, dia menatap Bangsawan Cho yang perlahan beranjak keluar meninggalkan dirinya sendirian didalam kamar.

‘kau sangat kejam Bangsawan Cho. Aku tidak tahu apa kesalahan keluargaku hingga kau berbuat seperti ini padaku… kau… aku tidak akan pernah memaafkanmu. Atas nama ayahku, aku sendirilah yang akan menghancurkanmu’ tekad Putri Kim seraya meremas roknya dengan penuh emosi.

~o~

Malam itu, Bangsawan Cho masih belum datang kedalam kamarnya. Dari pelayan yang melayaninya, Putri Kim dapat mengetahui bahwa malam ini suaminya akan sangat sibuk karena ada tamu undangan dari China yang menginap di kediamannya. Saat ini, tekadnya sudah bulat, Putri Kim meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju istal kuda.

“aku akan mengakhiri semua ini. Aku tidak akan pernah membiarkanmu hidup tenang, Bangsawan Cho” lirih Putri Kim sambil memegang tali kekang pada seekor kuda hitam. Dia harus memberanikan diri untuk menunggangi kuda itu sendirian. Jika dia tidak berani, maka bagaimana dia akan membalaskan dendamnya pada Bangsawan Cho.

Sebelum kuda itu keluar dari pintu kandangnya, tiba-tiba sebuah tangan juga memegangi tali kekang itu. Hal itu membuat Putri Kim terkejut, dan segera menatap orang yang berada disampingnya itu.

“Putri Kim…” tanya orang yang tidak lain adalah Lee itu.

“Lee. Kau sedang apa disini?” tanya Putri Kim sambil mengalihkan tatapannya pada kuda hitam yang berada didepannya.

“seharusnya aku yang bertanya. Apa yang anda lakukan disini?” tanya Lee sambil mengernyitkan alisnya.

“apa aku harus melaporkan semua yang aku lakukan padamu Lee?” tanya Putri Kim sinis.

“tidak… Tentu saja tidak. Aku hanya merasa penasaran, ini sudah malam, dan anda akan bepergian dengan menunggangi kuda sendirian?” Lee menatap Putri Kim lekat. Dapat ia lihat wajah Putri Kim yang tidak seperti biasanya. Sinar kehidupan di matanya kini telah meredup menyisakan tatapan penuh dengan kesedihan. “anda baik-baik saja Putri?” tanya Lee khawatir.

“hmh, kau bertanya padaku, apa aku baik-baik saja?” tanya Putri Kim sambil tersenyum miris. “tentu saja keadaanku sangat baik. kau bisa melihat sendiri, betapa baik dan bahagianya hidupku saat ini” nada suaranya lebih mengejek pada dirinya sendiri.

“Putri Kim… apa yang terjadi?” Lee melembutkan suaranya.

“ada banyak hal yang telah terjadi, kau tahu, dia… meneruskan bisnis ayah. Aku tidak tahu seberapa besar keinginannya untuk menguasai apa yang ayahku miliki. Tapi aku sudah tidak bisa menahan diri lagi. aku sudah tidak kuat, kesabaranku ada batasnya Lee” terang Putri Kim sambil menatap mata Lee. Pandangannya memburam karena airmata yang berkumpul di pelupuk matanya.

“apa? selama ini dia menajalankan bisnis Tuan Kim?” tanya Lee pelan.

“kau tidak tahu, atau kau pura-pura tidak tahu Lee? Aku sangat yakin, seharusnya kau telah mengetahui hal ini sejak dulu” baru kali ini Putri Kim meragukan Lee. Terlihat dari tajamnya tatapan mata yang ia berikan untuk Lee, membuat pria disampingnya itu bersikap gelisah.

“apa maksud anda? Aku… aku benar-benar tidak tahu tentang kejadian ini” bela Lee.

“baiklah, tidak perlu memperpanjang masalah lagi. sekarang, biarkan aku pergi. Aku harus menemui seseorang malam ini” putus Putri Kim sambil merebut tali kekang dari tangan Lee.

“tapi, kemana anda akan pergi?”

“Gubernur Yun” mendengar nama itu disebut, membuat Lee melotot tidak percaya.

“apa? untuk apa anda datang kesana?” Lee segera menahan lengan Putri Kim yang akan membuka pintu kandang kuda itu.

“kau tahu, betapa buruknya hubungan Gubernur Yun dan Keluarga Cho, aku bisa memanfaatkan dirinya sebagai alat untuk membalasakan dendamku pada Bangsawan Cho” Putri Kim menyeringai.

Lee menggelengkan kepala tidak mempercayai keputusan yang diambil oleh Putri Kim.

“terlalu beresiko jika anda menggunakan Gubernur Yun” bisik Lee.

“beresiko katamu? Hah. Aku tidak peduli. Selama ini, aku selalu bertahan disampingnya karena kau yang memintaku melakukan itu. Tapi sekarang, tidak. Aku tidak akan pernah berpura-pura lagi dihadapan keluarganya. Aku akan mengatakan dengan sangat jelas pada kedua orang tuanya, bagaimana ia telah membuhuh ayahku. Putra yang selama ini mereka banggakan adalah seorang pembunuh. Aku tidak peduli lagi, jika Gubernur Yun akan mengirimku kerumah gisaeng negara, ataupun akan membuangku di pulau tak berpenghuni, aku tidak peduli. Selama dendamku pada Bangsawan Cho telah terbalaskan, aku akan menjalankannya dengan rela” jelas Putri Kim dengan penuh amarah.

“Putri Kim… ada apa denganmu? apa anda sadar dengan apa yang anda katakan barusan?” Lee menatap tidak percaya.

“tentu saja Lee. Apa kau akan mencegahku melakukan rencanaku?” tantang Putri Kim.

“ikut aku!” tanpa segan Lee mencengkram pergelangan tangan Putri Kim, membuat gadis itu meringis, lalu menariknya dengan paksa agar mau mengikutinya menuju pelataran belakang yang agak sepi.

“Lee… kau menyakitiku” desis Putri Kim sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Lee.

Setiba di pelataran belakang, Lee melepaskan pegangannya dengan kasar. Putri Kim segera memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit.

“apa anda sudah gila? Mengapa merencanakan sesuatu tanpa memberitahuku lebih dulu?” tanya Lee menahan emosinya.

“untuk apa memberitahumu Lee? Selama ini apa yang sudah kau lakukan untukku?” bibir Putri Kim gemetar., matanya yang redup menantang mata foxy pria dihadapannya ini “kau mengatakan padaku akan membalasakan kematian ayahku, tapi mana buktinya? Selama ini kau hanya diam. Kau selalu diam ketika melihatku menangis sendirian. Kau selalu diam ketika aku meminta bantuanmu agar melepaskan aku dari cengkaraman Bangsawan Cho. Kau selalu diam ketika aku membutuhkanmu Lee. Kau… hiks…” Putri Kim tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Putri Kim…” Lee mencoba meraih bahu Putri Kim, tapi gadis itu mengelak. Dia menggelengkan kepalanya pada Lee.

“terkadang aku ragu… apakah aku masih bisa mempercayaimu Lee” kata-kata Putri Kim terasa menusuk hati Lee. Dia tidak bermaksud menyakiti perasaan gadis itu. “katakan padaku! Apakah kau masih bersamaku? Atau kau sudah meninggalkan aku sendirian?” tanya Putri Kim pelan.

Lee menatap mata Putri Kim yang berkaca-kaca karena tangisan. Pertanyaan yang dia sendiri tidak memiliki jawabannya. Lee hanya menundukkan kepala sambil memejamkan matanya.

“aku tahu itu… aku sudah tahu…” gumam Putri Kim lemah. “semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku. Bahkan dirimu Lee. Seharusnya aku sudah tahu, sejak pernikahanku dengan Bangsawan Cho, aku telah kehilanganmu…” Putri Kim membalikkan badannya.

Ingin rasanya ia meninggalkan tempat itu, tapi kakinya yang lemas membuatnya jatuh terduduk ditengah pelataran. Bulan purnama yang malam itu bersinar dengan terang, tampak menerangi punggung Putri Kim yang bergetar. Telapak tangannya menahan tangisan yang keluar dari mulutnya. Lee hanya berdiri melihat Putri Kim yang menangis di hadapannya. Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Dia hanya berdiri sambil mengepalkan tangannya. Dalam hatinya dia terus membisikkan kata ‘mianhe’…

To Be Continue

Haah, serius, saya cape dan lelah menulis ff ini. Entah kenapa ketika menulis cerita ini, hati saya selalu dipenuhi oleh emosi yang dirasakan oleh Putri Kim. 😦

Arrayo, ini terlalu lambat, bertele-tele dan bkin ngantuk. Mianhe… tapi, semoga masih bisa diterima ya 🙂

Sampai jumpa di chap berikutnya.

Annyeong…

 
25 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 8, 2014 inci (FF) Moonlight Melody, Fanfiction

 

Tag: , , ,

Moonlight Melody Chap 6

moonlight melody yuhuu

Moonlight Melody

Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

Beberapa hari ini, kesehatan Putri Kim mulai pulih. Wajahnya kini sudah tampak berbinar kembali, walau sesekali terlihat raut kesedihan ketika dia mengingat kematian ayahnya. Pagi itu, Hyosun membantunya untuk menghias rambutnya. Hanbok berwarna biru langit telah melekat indah menutupi tubuhnya yang ramping. Senyuman kecil tampak di wajahnya yang kini terlihat semakin tirus.

“apakah ada hal yang sangat membahagiakan hari ini, sejak tadi saya liat anda terus tersenyum?” tanya Hyosun dengan nada suara yang riang sambil melirik Putri Kim.

“tentu saja Hyosun-ah. Hari ini adalah hari ulang tahun ayah. Tolong siapkan kue kesukaan ayah dan juga sup rumput laut. Biar aku sendiri yang membawakan ke kamarnya” Perintah Putri Kim secara tidak sadar.

Putri Kim kembali menatap cermin dan sesekali merapikan aksesoris rambutnya yang tertempel indah di kepalanya. Hyosun tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepala sambil menggigit bibirnya. Seolah sadar dengan apa yang telah ia katakan, Putri Kim menatap Hyosun dengan pandangan nanar. Sebelum kata-kata keluar dari mulutnya, gadis itu menghembuskan nafasnya pelan.

“mianhe Hyosun, aku lupa… ayah telah tiada” suara Putri Kim tercekat.

“Putri Kim…” bisik hyosun lirih.

“sebaiknya kita jalan-jalan ke taman saja. Sudah lama aku tidak menghirup udara segar di Istana Timur ini” kata Putri Kim sambil berdiri, mencoba mengalihkan kesedihan yang melingkupi hatinya saat ini. Hyosun mengangguk lalu mengikuti Putri Kim dari belakang.

Ketika membuka pintu, tampak Lee tengah berdiri di ambang pintu. Dari raut wajahnya saat ini, dapat diterka bahwa dia mendengar apa yang dikatakan oleh Putri Kim didalam.

“selamat pagi Putri Kim, bagaimana tidur anda semalam? Apakah nyenyak?” tanya Lee sambil menatap mata merah Putri Kim, mungkin gadis itu menahan tangisnya saat ini.

“selamat pagi Lee… tidurku semalam… nyenyak seperti biasanya” jawab Putri Kim disertai dengan senyum manis yang terlihat dipaksakan.

“anda mau pergi kemana?” tanya Lee menatap heran Putri Kim yang berdandan rapi di pagi ini.

“aku hanya ingin melihat pemandangan disekitar taman. Kau mau menemaniku?”tanya Putri Kim, dengan nada yang lebih mengarah pada sebuah ajakan.

“tentu saja. mari” angguk Lee seraya mempersilahkan Putri Kim untuk berjalan didepannya.

Putri Kim berjalan dengan sangat anggun. Warna biru lembut yang dikenakan pada hanboknya menambah kesegaran di pagi hari yang cerah ini. Dari dahan pohon sakura, terdengar cicitan burung yang memberikan kedamaian bagi orang yang mendengarnya. Cahaya matahari yang hangat dan juga semilir angin menambah kenyamanan yang dirasakan oleh Putri Kim saat ini. Mereka bertiga berjalan dalam diam. Tidak ada yang membuka suara, mereka seolah terlena mendengar suara alam yang seakan memberikan ucapan selamat pagi untuk mereka.

Sebelum tiba di taman, langkah kaki mereka kini terhenti di depan ruangan Tuan Kim. Dari luar, keadaan tempat itu masih terlihat sama seperti ketika pemiliknya masih ada. Putri Kim menatap sendu beranda luar kamar ayahnya. Biasanya setiap pagi dia akan membawakan secangkir teh untuk ayahnya. Kini, semua kebiasaan itu hilang seketika. Putri Kim menolehkan kepalanya pada dua orang yang ada dibelakangnya.

“aku ingin berada didalam. Tolong jangan ada seorangpun yang masuk. kalian mengerti?” tanya Putri Kim sambil menatap Lee dan Hyosun bergantian.

“baik Putri… kami mengerti” angguk Lee dan Hyosun.

Putri Kim tersenyum, lalu dia membuka pintu kamar ayahnya. Setelah berada didalam, tak lupa Putri Kim menutup kembali pintunya. Ditatapnya ruangan yang biasa dijadikan ruangan pribadi ayahnya. Beberapa tumpukan buku terlihat bertumpuk rapi diatas meja. Bahkan bunga segar kesukaan Tuan Kim yang setiap hari diganti, tampak menemani tumpukan buku disebelahnya. Ruangan tersebut sangat bersih, tidak ada debu sedikitpun. Para pelayan dengan telaten membersihkan ruangan itu walaupun pemiliknya telah tiada.

“ayah…” bisik Putri Kim pelan sambil menatap tempat duduk yang biasa ditempati ayahnya.

Perlahan kaki kecilnya melangkah menuju depan meja, lalu ia duduk disana. Ditatapnya tempat kosong dihadapannya dengan tatapan sendu.

‘ayah, hari ini, bukankah kau berulang tahun? Selamat ulang tahun untukmu ayah… bagaimana kabarmu disana? Kau tahu, hidupku sekarang terasa berbeda. Tidak ada lagi sapaan yang biasanya aku berikan untukmu di pagi hari. Bahkan disaat ulang tahunpun, aku tidak bisa lagi memberikan semangkuk sup rumput laut untukmu’

‘kau tahu ayah, hari ini aku sengaja mengenakan hanbok berwarna biru. Karena aku tahu, biru adalah warna kesukaanmu. Tapi, apakah disana kau bisa melihatku? Ayah, aku ada disini… hiks… berikan aku kekuatan untuk hidup… berikan aku keberanian untuk membalas apa yang telah orang itu lakukan padamu… hiks… ayah… bogoshipda…’ Putri Kim menangis dalam diam. Raungan kesedihan itu hanya terdengar dalam hatinya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya dihadapan orang lain. Dia tidak ingin siapapun melihat airmatanya.

Terdengar suara ribut-ribut diluar kamar. Putri Kim menolehkan kepalanya ketika mendengar pintu kamar yang terbuka. Dia segera menghapus airmata di pipinya, sambil melihat siapa yang masuk kedalam kamar ayahnya ini.

“kau disini?” tanya orang itu sambil menatap Putri Kim.

“kau. Bagaimana bisa kau masuk kemari? Lee…” Putri Kim tampak panik mencari keberadaan Lee. Saat ini dia tidak ingin bertemu dengan pria ini. Pria yang telah merenggut nyawa ayahnya.

“tenanglah. Aku sudah meminta ijin dari pengawalmu untuk masuk kemari” kata Bangsawan Cho sambil tersenyum sinis.

“apa yang kau inginkan?” tanya Putri Kim dingin sambil menantang mata Bangsawan Cho dengan amarah yang tertahan.

“aku hanya ingin mengatakan padamu, bersiap-siaplah! Tengah hari nanti tandu akan datang untuk menjemputmu” jelas Bangsawan Cho.

“mwo? Bersiap-siap? Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan tetap tinggal disini” kukuh Putri Kim.

“aku tidak ingin mendengar alasanmu. Aku yakin, Lee akan memberikan ijin padamu, selama kau bersama dengannya” seringai Bangsawan Cho.

Putri Kim mengepalkan telapak tangannya, lalu segera berjalan kehadapan Bangsawan Cho.

“aku tidak akan pergi kemanapun. Ini adalah rumahku, kau tidak berhak menyuruhku untuk meninggalkan tempat ini” desis Putri Kim dengan tatapan mata yang tajam.

Setelah itu, ia mendorong pintu dengan kasar, dan mendapati Lee yang berdiri di luar sambil menatap cemas pada Putri Kim.

“Putri….” bisik Lee pelan. Putri Kim hanya melirik sekilas. Terlihat kemarahan dari sorot mata Putri Kim.

“anda baik-baik saja?” Lee kembali bertanya.

“wae? kenapa kau memberinya ijin untuk menemuiku didalam? Bukankah aku sudah meminta kalian agar tidak membiarkan seorangpun masuk kedalam” suara Putri Kim meledak karena rasa marahnya. Dia berteriak dihadapan Lee dan Hyosun.

“maafkan kami Putri Kim” tunduk Hyosun ketakutan. Ini pertama kalinya Putri Kim berteriak padanya.

“tolong maafkan kami, Putri. Tadi…”

“apa? apakah dia mengancam akan membunuhku jika dia tidak diijinkan masuk kedalam? Kurasa itu lebih baik daripada aku harus melihat wajahnya” Putri Kim menatap tajam Lee. Nafasnya tersengal karena emosi yang meluap-luap. Sementara itu, Lee dan Hyosun hanya menundukkan kepalanya, merasa menyesal pada apa yang telah mereka lakukan tadi.

Putri Kim berjalan meninggalkan kedua orang itu. Dari dalam, Bangsawan Cho hanya termenung. Dengan telinganya sendiri ia dapat mendengar betapa gadis itu telah sangat membenci dirinya. Perasaan gadis itu terdengar jelas dari intonasi suaranya ketika ia memarahi Lee dan Hyosun. Bangsawan Cho menghembuskan nafasnya dengan berat. Hari-hari yang akan ia lalui nanti, pasti akan terasa lebih sulit jika Putri Kim bersikap seperti ini padanya.

Sementara itu, disudut Istana Timur, tepatnya didepan danau buatan di taman Istana, Putri Kim duduk diatas batu besar yang menghadap tepat pada bibir danau itu. Kepalanya diteduhi oleh rimbunan daun bambu kecil yang batangnya menjorok kepermukaan danau. Beberapa ikan koi merah tampak berenang didalamnya. Sesekali mereka menampakkan dirinya diatas permukaan air. Danau buatan itu terlihat sangat bersih dan juga pepohonan kecil yang tampak terawat indah sangat menawan mata yang memandang. Putri Kim duduk termenung disana. Jemari lentiknya tampak mempermainkan ujung kepangan rambutnya yang berada di pangkuannya. Semilir angin membuat air danau tampak beriak dan juga membelai wajah halusnya. Putri Kim tertunduk membiarkan poni rambutnya bergerak-gerak karena hembusan angin. Gadis itu memejamkan mata,mencoba menghilangkan rasa marah yang tadi sempat ia rasakan.

Dari arah belakang, terdengar langkah kaki yang pelan dan semakin mendekat. Putri Kim seolah telah mengetahui siapa yang datang dibelakangnya itu.

“mianhe… aku tidak bermaksud untuk berteriak padamu tadi” kata Putri Kim lirih.

Terdengar langkah orang itu yang semakin mendekat pada Putri Kim. Dia lalu berlutut dengan sebelah kakinya dan matanya memandang wajah gadis pujaannya itu dengan tatapan mata yang teduh.

“tidak apa-apa… aku mengerti bagaimana perasaanmu. Jika berteriak padaku bisa membuatmu lebih baik, maka lakukanlah!” perintah pria itu dengan suara yang rendah.

“Lee, seharusnya kau marah. Bagaimanapun juga aku telah berteriak-teriak memarahimu. Tidakkah itu membuatmu sakit?” tanya Putri Kim sambil menatap wajah Lee yang berada sejajar dengan wajahnya karena posisi pria itu yang berlutut dihadapannya.

“aku tidak merasa sakit… percayalah!” sebuah senyum lembut terlihat menghiasi wajah tampan Lee. Putri Kim segera mengalihkan pandangannya kearah tengah danau.

“kenapa kau melakukan itu Lee? Kau tahu sendiri betapa bencinya aku pada Bangsawan Cho, kenapa kau membiarkan dia menemuiku?” tanya Putri Kim dengan mata terpejam.

“maafkan aku Putri, aku sungguh menyesal telah memberinya ijin menemuimu..” Lee menundukkan kepalanya merasa menyesal.

“kenapa kau tidak langsung membunuhnya? Bukankah dia yang telah membunuh ayahku, kenapa kau tidak langsung memenggal kepalanya tadi?” tanya Putri Kim, raut wajahnya kembali mengeras mengingat pengakuan Bangsawan Cho beberapa hari yang lalu.

“aku tidak bisa melakukan itu Putri” Lee menatap wajah cantik Putri Kim.

“kenapa? bukankah kau akan melakukan apapun untuk membalas kematian ayahku? Kenapa kau seperti ini? Apakah kau juga akan mengkhianati kepercayaanku?” tanya Putri Kim dengan mata berkaca-kaca.

Lee menggeleng pelan.

“bukan seperti ini caranya” suara lembut Lee tidak berubah, tetap datar dan lembut.

“lalu?” Putri Kim mengerutkan alisnya.

“dia bukanlah orang yang bodoh… kita tidak bisa melawannya dengan cara seperti ini. Tapi kita membutuhkan rencana yang matang untuk menyerang titik kelemahannya. Jika kita langsung menghabisinya disini, di tempat ini, maka pengadilan akan dengan mudah menangkap kita semua, mungkin hukuman ringan yang akan kita terima adalah mengisi pulau tak berpenghuni, tapi bagaimana jika hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman mati? Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi” geleng Lee sambil tersenyum.

“jadi maksudmu?” suara Putri Kim gemetar, dia tidak pernah memikirkan hal sampai sejauh itu. Yang dia inginkan adalah menghabisi nyawa Bangsawan Cho dengan tangannya sendiri atau melalui Lee.

“turuti saja apa yang menjadi keinginannya saat ini, sambil kita merencanakan cara yang tepat untuk membalas kematian Tuan Kim” kata Lee penuh dengan keyakinan.

Putri Kim tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya senyuman itu muncul di wajahnya.

“aku setuju dengan usulmu Lee…  pasti akan menyenangkan jika aku sendiri yang bisa menghabisinya” seringai Putri Kim terlihat di sudut bibirnya. Tapi, Lee menggelengkan kepalanya.

“tidak… bukan anda yang akan melakukan itu” kata Lee sambil menarik tangan Putri Kim, lalu mengusapnya pelan. “aku tidak akan membiarkan tangan halus ini ternoda. Biarkan aku saja yang melakukannya, anda hanya duduk dan tunggu saja untuk menyaksikan kekalahan Bangsawan Cho” Lee tersenyum lembut, begitupun dengan Putri Kim.

~o~

Seperti yang dikatakan oleh Bangsawan Cho. Tepat di tengah hari, sebuah tandu telah siap didepan ruangan kamar Putri Kim. Dengan diiringi rasa takut, bimbang, maka iapun bersedia untuk mengikuti perkataan Bangsawan Cho. Putri Kim berada didalam tandu, dan Lee menggunakan kuda untuk menemani perjalanan Putri Kim menuju tempat kediaman Bangsawan Cho. Selama didalam tandu, Putri Kim meyakinkan hatinya, bahwa ini adalah hal yang benar yang ia lakukan. Ini adalah keputusan yang tepat yang ia ambil dalam hidupnya. Hanya tinggal di kediaman Bangsawan Cho, tidak akan membuat dirinya mati.

Dari arah sampingnya terdengar langkah kaki kuda yang pelan. Gadis itu menyibak tirai yang tertutup, dan dapat ia lihat pemuda tampan yang selalu menemani dan melindungi dirinya kini tengah menunggangi kuda berwarna hitam. Mereka berdua hanya saling melempar senyum lembut. Dengan melihat senyum lembut itu, membuat Putri Kim tidak ragu lagi pada pilihan hatinya. Mengikuti apa yang disarankan oleh orang yang sangat ia percaya, Lee Sungmin.

Perjalan berakhir tepat ketika matahari kembali ke tempat peraduannya. Kediaman Bangsawan Cho tampak lebih mewah dari Istana Timur. Pintu gerbangnya saja dihiasi oleh ornamen-ornamen kayu mahal yang didatangkan dari China. Pelataran didepan ruang utama terlihat sangat luas. Keindahan tempat itu semakin mempesona dengan bermandikan cahaya jingga yang berasal dari senja di sebelah barat. Dari ambang pintu ruang utama, terlihat dua orang yang berdiri menantikan kehadiran putra mereka dan juga calon menantu di rumahnya ini. Senyum lembut terlihat di wajah sang ibu, dan senyum bangga diperlihatkan oleh sang ayah, manakala putra mereka dengan santun menolong Putri Kim untuk turun dari dalam tandu.

Setelah keluar dari dalam tandu, Putri Kim menatap sekitarnya. Perjalanan yang lama dan melelahkan membuat kepalanya sedikit pusing. Pandangannya tertuju pada dua orang tua yang sejak tadi memperhatikan mereka.

“mereka adalah orang tuaku. Bersikap hormatlah pada mereka!” bisik Bangsawan Cho sambil berjalan beriringan menuju orang tuanya.

Setiba di hadapan Tuan dan Ny. Cho, maka Putri Kim menundukkan kepalanya sambil tersenyum lembut.

“apa kabar Tuan dan Nyonya Walikota” tunduk Putri Kim penuh dengan keanggunan.

“aigoo, jangan menyebut kami seperti itu… panggillah kami dengan kata “ayah” dan “ibu”” perintah Ny. Cho seraya menghampiri Putri Kim.

“selamat datang di Istana Bangau Terbang. Aku sangat senang, akhirnya bisa melihat wajah menantuku yang cantik ini” puji Ny. Cho sambil mengusap-usap wajah Putri Kim.

Mendengar perkataan Ny. Cho, membuat Putri Kim tersipu malu.

“terima kasih atas sambutan Nyonya…”

“jangan pernah mengatakan kata itu lagi. panggil dia dengan sebutan ibu” Tuan Cho mengingatkan Putri Kim.

“maafkan saya, ayah… ibu” tunduk Putri Kim sambil menatap Tuan Cho dan Ny. Cho bergantian.

“sudahlah yeobo, lihat, kau membuatnya merasa tidak nyaman” Ny. Cho mendelik pada suaminya.

“ayo, mari kita masuk kedalam. Hari sudah mulai malam” ajak Ny. Cho sambil menarik tangan Putri Kim untuk masuk kedalam Istana Bangau Terbang.

Mereka berlima, duduk disebuah ruangan yang besar, atau sebut saja sebagai ruang tamu. Lee duduk disamping Putri Kim. Tuan dan Nyonya Cho memperlakukan Lee sebagai tamu mereka. Tidak ada perbedaan dalam memperlakukan Lee walaupun secara status Lee hanyalah seorang pengawal bagi Putri Kim. Ny. Cho tidak hentinya memuji kecantikan Putri Kim. Ini adalah kali pertama dirinya bertemu langsung dengan Putri Kim. Jika saja dia mengetahui sejak awal bahwa Tuan Kim memiliki putri secantik ini, maka sudah lama dia akan menjodohkan putranya dengan putri dari mentri tata negara itu.

“kami turut merasa berduka atas meninggalnya ayahmu. Bagaimanapun juga, ayahmu telah banyak membantu tugasku dalam urusan kenegaraan. Kami tahu, kau pasti sangat sedih akan hal ini. Tapi, semoga keberadaanmu di tempat ini dapat menghilangkan semua kesedihan yang kau rasakan” kata Tuan Cho sambil menatap Putri Kim lekat.

“terima kasih atas kebaikan… ayah. Karena telah bersedia menerimaku untuk tinggal disini” jawab Putri Kim lembut.

Rasanya dia sangat ingin mengatakan bahwa putra mereka lah yang telah menghilangkan nyawa ayahnya. Tapi, mengingat bahwa dia adalah seorang putri yang memiliki adat kesopanan yang baik. Tidak mungkin bagi dirinya mengatakan secara gamblang bahwa Bangsawan Cho lah tersangka utama atas meninggalnya ayah yang ia sayangi.

Bangsawan Cho menyesap cangkir teh yang isinya tinggal setengah. Dengan ekor matanya dia melirik Putri Kim yang menundukkan kepala. Setiap mereka menyebutkan nama “Tuan Kim” membuat rasa bersalah yang dirasakan hatinya kian menguat. Walau bagaimanapun, tidak mudah untuk menghilangkan rasa penyesalan yang dirasakannya kini. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah menghadapi kebencian Putri Kim pada dirinya.

“semoga kau bisa kerasan untuk tinggal disini. Anggaplah kami sebagai pengganti kedua orang tuamu” Ny. Cho berbicara dengan nada yang lembut. Sama seperti seorang ibu yang memperlakukan putrinya sendiri. Putri Kim hanya menganggukan kepala sambil tersenyum.

“dan untuk masalah pernikahan, kami telah sepakat untuk mempercepat waktunya. Besok lusa adalah waktu yang tepat. Sudah tidak ada alasan lain lagi untuk menunda pernikahan ini” kata Tuan Cho sambil menatap Bangsawan Cho dan Putri Kim bergantian.

Putri Kim hampir saja tersedak dari minuman yang ada di kerongkongannya saat ini. Mempercepat tanggal pernikahan itu bukanlah yang dia inginkan. Bukankah, Bangsawan Cho hendak menjadikan dirinya sebagai seorang budak. Atau budak dalam pengertian lain. Hidup dengan perasaan hati yang menderita, selamanya, dalam cengkraman pembunuh ayahnya sendiri. Putri Kim menatap tegang lantai yang ia pijak saat ini. Begitupun dengan Lee. Dia hanya menatap sendu wajah Putri Kim. Ini merupakan awal dari rencana yang akan ia jalankan nanti.

“aku akan mengikuti apa yang telah ayah rencanakan” jawab Bangsawan Cho sambil tersenyum memandang Putri Kim.

“t-tapii…” Putri Kim seolah kehilangan kata-katanya. Dia menatap Bangsawan Cho dengan tatapan yang penuh dengan ketakutan. Kata pernikahan tidak pernah ada dalam rencananya.

Ny. Cho menatap Putri Kim sambil tersenyum lembut. Sebagai seorang perempuan, dia mengerti bagaimana perasaan Putri Kim saat ini.

“kau tenang saja Putri Kim. Sebagai seorang ibu, aku tidak akan mempersulit pernikahan kalian. Justru dengan adanya pernikahan, akan lebih mudah bagi kami dalam menjalankan amanat mendiang ayahmu” angguk Ny. Cho penuh dengan kesabaran.

Putri Kim hanya menatap wajah calon ibu mertuanya itu dengan tatapan sedih. Mereka tidaklah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh putra mereka pada dirinya. Bagaimana mungkin dirinya siap menerima sebuah pernikahan, sedangkan rasa cinta dihatinya kini telah benar-benar mati. Dan berganti menjadi rasa benci yang teramat sangat pada Bangsawan Cho. Lee yang duduk disampingnya hanya diam seribu bahasa. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hatinya merasa perih pada kenyataan ini, tapi bagaimana lagi. Inilah salah satu yang harus dilalui oleh Putri Kim.

“apakah kamar untuk Putri Kim telah selesai disiapkan?” tanya Ny. Cho pada pelayan.

“telah siap untuk ditempati, Nyonya” jawab pelayan sambil mengangguk.

“naah, anakku, antarkan Putri Kim ke kamarnya. Buatlah ia nyaman berada di paviliun yang telah kau bangun beberapa tahun yang lalu itu” perintah Tuan Cho.

“baik ayah. Kalau begitu, kami permisi” angguk Bangsawan Cho berpamitan pada kedua orang tuanya.

Tangan Bangsawan Cho terulur, meminta tangan Putri Kim. Dengan ragu, Putri Kim menerima uluran tangan itu. Pria itu dapat merasa, bagaimana dinginnya jemari tangan Putri Kim. Dia menariknya perlahan dan membawa Putri Kim keluar dari ruang tamu, disusul oleh Lee dari belakang.

Setiba di luar, Putri Kim segera menghempaskan tangan Bangsawan Cho.

“jangan pernah memintaku untuk menyentuh tanganmu lagi” desis Putri Kim penuh kebencian.

Lee hanya menyaksikan bagaimana amarah tertahan yang saat ini dirasakan Putri Kim.

“aku hanya akan memperlakukanmu seperti itu dihadapan orang tuaku saja. Sekarang ikuti aku!” perintah Bangsawan Cho sambil berjalan mendahului Putri Kim dan Lee.

Mereka bertiga menyusuri selasar Istana Bangau Terbang. Hingga beberapa saat berlalu mereka tiba disebuah ruangan yang terpisah dari bangunan utama. Letaknya berada di samping kanan Istana Bangau Terbang.

“mulai sekarang inilah tempat tinggalmu. Paviliun Anggrek Biru” kata Bangsawan Cho sambil menyeringai.

Putri Kim menatap sedih bangunan yang ada dihadapannya ini. Baginya ini adalah penjara yang berupa istana megah. Dengan langkah yang berat, ia pun memasuki paviliun itu.

“dan kau Lee, kau bisa menempati ruangan yang ada di ujung kanan. Bagaimanapun juga, kau adalah pengawal pribadi dari calon istriku, jadi, kau tidak akan terlalu jauh dari paviliun ini” kata Bangsawan Cho sambil menunjukan ruangan untuk Lee tinggal nanti.

Tak berapa lama, tiga orang pelayan datang memasuki ruangan Putri Kim, dengan sikap yang sopan mereka bertiga memberi hormat pada Putri Kim.

“mereka bertiga adalah pelayan pribadimu. Katakan saja semua yang kau inginkan, maka mereka akan melakukannya untukmu” kata Bangsawan Cho.

Putri Kim hanya menggigit bibirnya dengan rasa marah dihatinya. Kenapa Bangsawan Cho tidak membunuhnya sekalian, daripada ia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan pria yang sangat ia benci. Sebelum keluar dari kamar, Bangsawan Cho menatap tiga pelayan pribadi Putri Kim.

“layani dia dengan baik. Dia adalah calon istriku” kata Bangsawan Cho dengan mata yang menatap tepat di mata cokelat Putri Kim.

Sepeninggal Bangsawan Cho, Putri Kim meminta ketiga pelayannya untuk meninggalkannya bersama Lee. Ketiga pelayan itu menurut, mereka kembali ketempat mereka tadi. Putri Kim menatap Lee dengan mata yang berkaca-kaca.

“apakah aku harus melakukan ini? Lee, aku tidak bisa” geleng Putri Kim panik.

“anda harus bisa. Demi rencana yang telah kita buat, anda pasti bisa melalui semua ini. Percayalah padaku” yakin Lee sambil meremas lengan Putri Kim.

“tapi ini terlalu berat untukku. aku… aku tidak bisa menikah dengannya” mohon Putri Kim. Airmatanya mulai berjatuhan di pipinya yang lembut.

Tidak tega rasa hati Lee melihat Putri Kim yang bersedih seperti ini. Ingin dia memeluk Putri Kim, namun hal itu tidak mungkin ia lakukan.

“kalau begitu, lupakanlah rencana balas dendammu pada Bangsawan Cho… jika memang ini sangat sulit untukmu, maka lupakanlah rencana itu” saran Lee dengan suara yang penuh dengan pengertian.

Mendengar perkataan Lee membuat Putri Kim termenung memikirkan perkataan pria dihadapannya ini. Jujur, jika harus melupakan rencana ini, dia sangat tidak rela. Baginya, kematian Bangsawan Cho akan menjadi pengobat luka yang telah dia torehkan dalam lubuk hatinya. Putri Kim melepaskan pegangan tangan Lee, lalu berbalik memunggungi pria yang kini telah menjadi pengawal pribadinya itu. Gadis itu harus memikirkan kembali apa yang harus ia lakukan.

“…baiklah, demi ayah… aku akan melakukan pernikahan ini” angguk Putri Kim pada akhirnya. Walaupun dengan suara yang lemah, tapi, tersimpan sebuah ketegaran didalamnya.

“terima kasih Putri… terima kasih” Lee berbinar lega.

~o~

Seperti yang biasa kita rasakan. Jika sesuatu yang berat akan kita hadapi, maka waktu terasa berjalan sangat cepat. Dan apabila kita menanti sebuah kebahagiaan, maka waktu berjalan laksana langkah kura-kura sangat lamban dan lama. Begitupun yang dirasakan oleh Putri Kim. Tanpa terasa, hari ini, adalah hari pernikahannya dengan Bangsawan Cho. Untuk menghargai perasaan Putri Kim yang masih berkabung atas meninggalnya sang ayah, maka Tuan Cho memilih menggelar pesta yang sederhana. Jika suatu hari nanti, perasaan dan kebahagiaan Putri Kim telah kembali, Tuan Cho berjanji akan menyelenggarakan pesta yang meriah untuk anak dan menantunya itu.

Putri Kim tampak sangat cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna merah menyala. Dikepalanya tampak hiasan tusuk konde yang memanjang melewati hingga telinganya. Bibirnya diberikan warna merah senada dengan gaun pernikahannya. Hanya saja, yang kurang dari wajahnya adalah sinar mata yang tampak redup dan bibirnya yang tidak sedikitpun tersenyum. Tuan dan Nyonya Cho menyangka bahwa Putri Kim merasa terharu dan sedih karena ayahnya tidak berada di sisinya saat ini. Namun, Lee dan Bangsawan Cho sangat mengetahui alasan dibalik wajah murung sang mempelai wanita.

Selepas senja, pelayan mengantarkan Putri Kim ke paviliunnya. Ia mendapatkan ijin dari kedua mertuanya untuk masuk ke kamar pengantin lebih awal karena Bangsawan Cho masih harus menerima tamu dari kolega ayahnya. Setiba di kamar, Putri Kim tampak duduk gelisah diatas ranjang yang telah dihiasi dengan taburan kelopak mawar merah. Kedua tangannya saling meremas, menghilangkan rasa gugup yang dirasakan jantungnya saat ini.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan masuklah Lee kedalam kamar. Melihat Lee yang masuk, Putri Kim segera berdiri, dan menghampirinya.

“Lee… ottoke?? Aku sangat takut Lee…” suara Putri Kim terdengar gemetar.

“tenanglah Putri. Yakinkan, bahwa anda bisa melewati malam ini dengan baik” angguk Lee.

“tapi…” Putri Kim memegang tangan Lee, meminta aliran ketenangan dari pria yang selalu melindunginya ini. “aku sangat takut Lee. Bagaiamana jika nanti dia menyakitiku?” wajah Putri Kim tampak pucat dan gemetar di tangannya belum hilang.

Perlahan, Lee melepaskan pegangan tangan Putri Kim. Lalu mengambil sesuatu dari balik bajunya.

“ini adalah yang bisa aku berikan untukmu. Gunakan ini, jika memang diperlukan. Ingat, gunakan ini jika memang keadaan yang sudah tidak memungkinkan untukmu bertahan” kata Lee sambil menyerahkan sebuah pisau katana ke tangan Putri Kim.

Putri Kim menatap pisau di tangannya dengan pandangan yang buram. Dia masih ingat, ketika dulu ia memberikan pisau ini untuk Lee, dan saat ini, Lee memberikannya kembali pada dirinya sebagai sebuah perlindungan menggantikan keberadaan Lee.

“aku harus segera pergi sebelum Bangsawan Cho kembali” pamit Lee yang dibalas anggukan Putri Kim.

Setelah Lee meninggalkannya, Putri Kim semakin terpekur dalam kesendiriannya ini. Tangan kirinya memegang sarung pisau dan tangan kanannya telah siap sedia untuk menarik pisau kapanpun ia mau. Beruntung, karena gaun pengantin yang besar, membuatnya dengan leluasa menyembunyikan pisau itu dengan aman. Agak lama, ia menantikan kedatangan Bangsawan Cho di kamarnya. Semakin malam, semakin degup jantungnya berdetak tidak karuan.

“jika dia berani menyentuhku, maka ada kemungkinan, aku atau dia yang akan mati” tekad Putri Kim bulat.

Terdengar suara pintu kamar terbuka, dan masuklah Bangsawan Cho kedalam kamar. Putri Kim menahan nafas ketika ia melihat suaminya mengunci pintu kamar.

“kau sudah lama menunggu?” tanya Bangsawan Cho yang dijawab oleh kesunyian kamar itu.

Dia menatap pengantinnya dengan pandangan penuh cinta, namun sayang, tidak dengan tatapan Putri Kim. Kepalanya tertunduk dan bibir yang tergigit. Perlahan Bangsawan Cho mendekati Putri Kim, lalu duduk disamping Putri Kim. Gadis itu agak beringsut dari tempat duduknya sekarang. Dia tidak ingin Bangsawan Cho mendekati dirinya.

“wae? apa kau takut padaku?” tanya Bangsawan Cho sambil menahan lengan Putri Kim.

“jangan menyentuhku…” kata Putri Kim tercekat.

“bukankah kita sudah sah menjadi suami istri?” tanya Bangsawan Cho menggoda.

“kau sendiri yang menyetujui pernikahan ini. Aku tidak pernah memberikan jawabanku padamu” sebisa mungkin Putri Kim berusaha agar suaranya bisa terdengar oleh Bangsawan Cho.

Bangsawan Cho tersenyum lembut, lalu tangannya mengelus pipi Putri Kim yang membuat gadis itu membeku di tempatnya kini. Putri Kim berusaha untuk menolehkan kepalanya kearah lain, namun tangan Bangsawan Cho memaksanya untuk menatap wajah pria dihadapannya ini.

“kau sangat cantik dengan gaun ini” bisik Bangsawan Cho tepat di telinganya yang menyebabkan darah gadis itu seolah berhenti mengalir. Tangan Putri Kim semakin erat mencengkram pisau yang ada di tangan kanannya.

Tangan Bangsawan Cho masih berada di pipi Putri Kim, lalu ia mengelus bibir kecil Putri Kim dengan ibu jarinya, sambil dia menyeringai melihat Putri Kim yang ketakutan akibat ulahnya saat ini. Walaupun wajah Putri Kim menghadap tepat di wajah Bangsawan Cho, namun, matanya melihat kearah lain. Dia tidak ingin melihat wajah Bangsawan Cho. Setiap melihat wajah itu, luka di hatinya seolah ditaburi garam yang membuatnya semakin kesakitan.

Bangsawan Cho semakin mendekatkan wajahnya, hingga ia dapat menghirup aroma dari bedak yang digunakan untuk merias wajah Putri Kim. Sesaat ia terlena pada aura kecantikan yang dikeluarkan oleh gadis yang kini telah menjadi istrinya ini. Bangsawan Cho dengan jelas dapat merasakan tubuh Putri Kim yang gemetar.

“tatap aku Putri Kim…” kembali dia berbisik di telinga Putri Kim. Namun, gadis itu tidak menghiraukan perintah pria yang telah menjadi suaminya kini. Malah tatapannya semakin menjauh dari wajah Bangsawan Cho.

“aku bilang, tatap wajahku!” Bangsawan Cho menarik wajah Putri Kim hingga jarak mereka hanya beberapa senti saja. Otomatis hal ini membuat Putri Kim membelalakkan mata.

“apakah kau sangat membenciku, hingga tidak ingin menjawab kata-kataku?” tanya Bangsawan Cho. Mata Putri Kim mulai berkaca-kaca, dia sangat tidak menyukai situasi seperti ini.

“walaupun tidak mungkin untukmu mencintaiku lagi, tapi tetaplah berada disampingku…. Itu sudah cukup untukku” kata Bangsawan Cho lembut sambil menatap mata cokelat Putri Kim.

To Be Continue

Waaaaa… mianhe, chap ini kepanjangan yah. hehehe… V.

Gilaaaaa, aku makin cinta sama sosok Lee. Aah, ngebayangin Sungmin senyum lembut, suara yang rendah dan dalam, aaah aku kelepek-kelepek ini. *hehehhe*

Kyaaa, kalian sudah liat Kyuhyun di Moon That Embrace Sun??? OMG OMG OMG, bagiku, dia adalah visual dari Bangsawan Cho. Hahaha. Pertama liat fotonya dia, yang aku lakukan adalah teriak-teriak gaje *dalam hati sih*. Benarkah dia Kyuhyun? Kenapa dia bisa berperan saeguk seperti itu… huwee… ibarat pepatah “laksana khayalan yang menjadi kenyataan” hadeuh pepatah dari mana ini? Wkwkkw. Aku bisa ngeliat visualnya Bangsawan Cho. *terlalu banyak emosi ini mah*

Naah, wajah Bangsawan Cho udah keliatan yah. kalian bisa bayangin dia di dramus itu. Untuk Lee, kalian bisa ngeliat Sungmin waktu di dramus Hong Gil Dong (mian kalo typo). Putri Kim, kalian bisa cari sendiri deh, wajah Wook yang yang paliiiiinggg cantik. Hahaha. Untuk gaun pernikahan Putri Kim tadi,  reader bisa tanya sama teman saya “mbah gugel” *euleuh teman 😛 * untuk memperlihatkan bagaimana gaun pernikahan korea di drama-drama saeguk. Kkkk.

Udah ah, dari pada errornya kelamaan, sebaiknya saya segera chao. Sampai jumpa di apdetan berikutnya, eummh tahun depan mungkin. Kkkkk. Byee… 🙂

*selamat menunggu* 🙂 V

 
35 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 22, 2013 inci (FF) Moonlight Melody, Fanfiction

 

Tag: , , , , ,

Moonlight Melody chap 5

moonlight melody yuhuu

 Moonlight Melody

Cast : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action, (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

“bagaimana jika nanti, aku bisa membuktikan bahwa kau memang menjual candu pada para pejabat istana…  Apa yang akan kau lakukan?” tanya Gubernur Yun sinis. Tuan Kim tidak bisa melakukan apapun lagi, dia menatap mata Gubernur Yun penuh dengan permohonan.

“tapi Tuan, sedikitpun saya tidak pernah menjual candu-candu itu” bela Tuan Kim.

“aku sangat percaya padamu. Tapi, kau sudah tahu kan aku orang yang seperti apa? aku tidak suka jika ada orang yang tidak patuh padaku. Dan aku juga tidak suka pada orang yang mengabaikan permintaanku” Gubernur Yun menyeringai, Tuan Kim menutup mata  sebelum mengeluarkan perkataannya.

“apa maksud Tuan?” tanya Tuan Kim dengan jantung yang berdegup kencang.

“Putrimu… Bagaimana dengan keinginanku tempo hari itu. Kau sudah mengabaikannya terlalu lama” kata Gubernur Yun.

Deg

“itu…” ucapan Tuan Kim dipotong oleh Gubernur Yun.

“aku tidak ingin mendengar alasan lagi. Besok, bawa Putri Kim padaku. Kau jangan khawatir, aku bisa membuat hidupnya bahagia” kata Gubernur Yun kesal.

“maaf, Tuan, tapi saya tidak bisa melakukan hal itu” Tuan Kim memberanikan hatinya.

“apa? maksudmu, kau ingin menentang keinginanku?” tanya Gubernur Yun geram.

“maafkan saya Tuan, tapi saya sudah terlanjur menjodohkan putri saya dengan seseorang” kata Tuan Kim gemetar.

Braaak

Gubernur Yun yang geram segera memukul meja di hadapannya hingga terbelah. Menyalurkan emosi yang saat ini ia rasakan.

“beraninya kau melakukan hal itu. Aku sudah memintanya terlebih dulu, tapi kau malah menjodohkannya dengan orang lain. Hah… kau…” merah padam wajah Gubernur Yun, dan giginya bergemeretak.

“maafkan saya Tuan. Maafkan saya” Tuan Kim menundukkan kepalanya dengan mata terpejam. Ia sudah pasrah jika saat ini Gubernur Yun akan menebas lehernya dengan pedang di sampingnya.

“hah… baiklah, jika memang begitu. Kau… pulanglah. Lupakan pertemuan hari ini” kata Gubernur Yun dengan suara yang tenang, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia tengah merancang sesuatu untuk Tuan Kim.

“baiklah. saya permisi Tuan…” pamit Tuan Kim sambil meninggalkan ruangan kerja Gubernur Yun.

Sepeninggal Tuan Kim, Gubernur Yun masih terduduk di tempatnya. Tangannya tampak membulat menahan semua emosi yang dia rasakan.

“sialan… beraninya dia melakukan hal ini padaku… hah… lihat saja, kau tidak akan pernah bisa selamat dariku…” Gubernur Yun menyeringai.

~o~

Matahari baru saja terbit dari ufuk timur. Pagi itu, suasana di Istana Timur tampak sangat kacau. Para pelayan masih menangisi Tuan Kim yang telah tewas. Begitupun dengan Putri Kim. Dia tampak setia disamping jasad ayahnya sambil menangis. Matanya telah bengkak karena sejak tadi ia terus menangis disana. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mungilnya begitupun dengan Lee dan Bangsawa Cho yang berdiri tidak jauh dari Putri Kim.

“ayaah… hiks…” sesekali Putri Kim memanggil-manggil ayahnya, bahkan mengguncangkan tubuhnya yang telah kaku, aroma amis darah yang membeku di tanah sangat terasa jelas di tempat itu.

“Tuaann… tuaaan…” raung para pelayan. Mereka sangat merasa kehilangan majikan yang sangat baik pada mereka.

Dari jauh, terdengar suara derap langkah kuda yang mendekati kediaman Tuan Kim, lalu kemudian…

Braaakkk

Pintu gerbang dibuka dengan paksa. Tampak petugas kepolisian memasuki halaman. Putri Kim, beserta yang ada disana, terperanjat dan menatap heran pada petugas kepolisian itu. Dari arah belakang, terlihat Gubernur Yun dengan seragam kebesarannya berjalan angkuh memasuki pelataran Istana Timur.

“geledah tempat ini. Sekarang!” suara Gubernur angkuh itu terdengar menggelegar, memberikan perintahnya pada anggota kepolisian istana yang datang bersamanya.

Lee beranjak bangun, lalu mendekati Gubernur Yun dengan tatapan tidak mengerti. Untuk apa seorang pejabat seperti dirinya datang ke tempat ini dengan diiringi polisi istana, begitulah yang ada dalam benak Lee.

“ada apa ini Tuan?” tanya Lee. Dari jauh, tampak dengan lemas, Putri Kim bangkit dari duduknya.

“kau? Aku mendengar kabar bahwa Tuan Kim telah menjual candu pada pejabat di istana. Aku akan mencari kebenarannya hari ini” kata Gubernur Yun.

“apa yang anda maksud Tuan?” Lee mengernyitkan alisnya.

“kau tidak mendengar atau pura-pura tuli? Majikanmu telah menjual barang haram dan mengedarkannya di Istana, aku harus menangkap Tuan Kim sekarang. Dimana dia?” tanya Gubernur Yun sambil mendecih.

“maaf Tuan. Tolong jaga bicara anda” Lee menatap tajam Gubernur Yun. “Tuan Kim bukanlah orang yang seperti anda duga” kata Lee dengan nada tidak suka.

“aku tidak peduli. Jika bukti itu ditemukan, maka apa yang akan kau lakukan pada Tuanmu itu?” Gubernur Yun menatap Lee dengan kesal.

Dari arah ruangan Tuan Kim, dua orang petugas menghampiri Gubernur Yun dengan tergopoh-gopoh sambil menyerahkan dua buah bungkusan ke tangan laki-laki tua itu.

“Tuan, kami menemukannya. Barang-barang ini kami temukan di kamar Tuan Kim” kata salah satu petugas itu sambil menyerahkan kedua bungkusan yang isinya berupa serbuk berwarna putih ke tangan Gubernur Yun.

Gubernur Yun dan beberapa petugas yang lain, memastikan apakah serbuk itu adalah candu yang mereka maksud, dan anggota kepolisian itu menganggukkan kepala pada Gubernur Yun, bahwa mereka telah berhasil menemukan barang bukti. Lee hanya menatap tidak mengerti pada Gubernur angkuh yang ada di hadapannya ini. Seolah mengerti dengan tatapan mata Lee, laki-laki tua itu mengeluarkan suaranya.

“ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh Tuanmu. Ternyata memang benar, dia telah menjual candu. Kau lihat, aku tidak pernah berkata tanpa bukti. Sekarang dimana Tuanmu itu? Biarkan para petugas ini menangkapnya” kata Gubernur Yun dengan nada melecehkan.

“apakah anda tidak lihat apa yang sedang terjadi disini?” tanya Lee geram, Gubernur Yun hanya memutar bola matanya dengan bosan.

“memangnya ada apa? haruskah aku mengetahui apa yang sedang terjadi di kediaman seorang penjahat negara? Aku pikir tidak”

“anda tidak akan bisa menangkap Tuan Kim, semalam beliau terbunuh, dan kami masih belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepadanya” kata Lee pelan.

“terbunuh? Hahaha…. Itu bagus. Sudah seharusnya seorang penjahat negara menghilang dari negara ini” Gubernur Yun tertawa dan diakhir perkataannya, dia menyeringaikan bibirnya.

“bawa jasadnya ke pengadilan istana, biar tubuhnya menjadi makanan untuk anjing-anjing disana” perintah Gubernur Yun mutlak, Lee membulatkan tinjunya geram, ingin rasanya dia memasukkan kepalan tangannya untuk menutup mulut Gubernur Yun.

Mendengar perkataan Gubernur Yun yang tidak berperasaan itu, Putri Kim segera menghampiri pejabat tua itu dan dengan nafas terengah dia mencegah agar ayahnya tidak diperlakukan sekeji itu.

“Tidak Tuan, anda tidak bisa melakukan hal ini pada ayah saya, dia tidak bersalah. Seseorang pasti telah menjebaknya” geleng Putri Kim putus asa. Airmatanya mengalir kembali di pipinya.

“aah, apakah kau adalah anak dari penjahat itu?” Gubernur Yun menyeringai.

“jika yang Tuan maksud “penjahat” itu adalah ayah saya, Tuan salah. Ayahku bukanlah penjahat. Selama ini dia menjalankan bisnisnya secara jujur. Dan dia tidak pernah menjual barang haram itu” bela Putri Kim.

“haah, tidak perlu mengatakan kebohongan. Bukti sudah berada di depan mata. Kau hanya tinggal memilih hukuman apa yang akan kau jalani. Diasingkan di pulau tak berpenghuni atau kau menjadi gisaeng negara? Pilihlah salah satu!” angguk Gubernur Yun menyebalkan tak lupa sebuah seringaian terlihat di sudut bibir pejabat itu. Mendengar kata “gisaeng negara” mampu membuat lutut Putri Kim gemetar hebat. Dia adalah seorang putri terhormat, tidak mungkin dia akan bernasib menjadi seorang gisaeng negara.

“Bawa Putri Kim ke kantor kejaksaan. Sekarang!” perintah Gubernur Yun pada pengawalnya.

Dua orang laki-laki berseragam, akan membawa Putri Kim, tapi dengan cepat, Lee mengulurkan pedangnya pada leher petugas itu, sehingga keduanya mundur.

“aah, jadi kau berani melawan petugas kepolisian?” tanya Gubernur Yun pada Lee.

“aku tidak akan membiarkan kalian membawa Putri Kim ke kantor kejaksaan. Dia tidak bersalah apapun” terang Lee.

“itu benar” terdengar suara Bangsawan Cho dari arah belakang.

“siapa kau?” tanya Gubernur Yun sambil menatap Bangsawan Cho.

“aku adalah Putra Walikota Han Yang. Namaku Cho Kyuhyun” kata Bangsawan Cho.

“aah, ada apa putra Walikota Han Yang berada disini? Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Gubernur Yun sebal. Sudah sejak lama, ia memiliki hubungan yang buruk dengan Walikota Cho.

“hah. Apakah anda tidak merasa heran, siapa orang yang telah membantu tugas anda hari ini?” tanya Bangsawan Cho sambil menyeringai.

“apa maksudmu?” Gubernur Yun tidak mengerti.

“aku juga mendapat kabar yang sama sepertimu. Aku mendengar kabar, bahwa Tuan Kim memperdagangkan candu di kalangan pejabat istana. Dan semalam, aku menyelidikinya sendiri, ternyata hal itu memang benar” angguk Bangsawan Cho, matanya menantang mata Gubernur Yun berani.

“kau… apa yang kau bicarakan?”

“aku… aku adalah orang yang telah membunuh Tuan Kim. Dengan kata lain, aku yang telah membunuh seorang penjahat negara dengan tanganku sendiri” kata Bangsawan Cho lantang.

Putri Kim, Lee dan semua yang ada disana menatap tidak percaya pada ucapan Bangsawan Cho. Mata Putri Kim mulai berkaca-kaca menatap Bangsawan Cho. Jantungnya terasa lepas dari tempatnya dan berhenti berdenyut, aliran darahnya seolah terhenti yang membuatnya membeku mendengar perkataan Bangsawan Cho.

“apa maksudmu? Kau jangan mengada-ada. Mana mungkin kau yang telah membunuhnya?” Gubernur Yun merasa sangat geram. Rasanya ia ingin memukul anak muda yang menghalangi rencananya itu.

“itu benar. Akulah yang membunuh Tuan Kim. Aku tidak bisa membiarkan negara ini dipenuhi oleh orang-orang sepertinya” Bangsawan Cho tampak menahan amarahnya pada Gubernur Yun. “Bahkan beraninya mereka memperjualbelikan barang haram di negara ini. Tapi anda tenang saja, karena Tuan Kim kini telah menghilang dari permukaan bumi ini” jelas Bangsawan Cho dingin.

Putri Kim menahan nafasnya. Rasanya ia ingin menangis meraung-raung mendengar penjelasan Bangsawan Cho. Tidak mungkin orang yang ayahnya percayai malah menghkianatinya. Tidak mungkin Bangsawan Cho yang membunuh ayahnya.

“anak muda, kau jangan bercanda denganku” Gubernur Yun mendekati Bangsawan Cho.

“yang aku katakan ini adalah kenyataan Tuan Gubernur. Aku tidak mungkin mengada-ada untuk urusan seserius ini. Dan aku sudah memberitahukan hal ini pada kepala kantor kejaksaan. Putri Kim, tidak bersalah apapun. Dia tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya. Jadi aku telah meminta ijin untuk menjadikan Putri Kim sebagai budak di kediamanku” kata Bangsawan Cho.

“apa…?” putri Kim lemas, dia jatuh terduduk. Dia tidak mengira bahwa inilah sifat Bangsawan Cho yang sesungguhnya. Airmata sudah tidak dapat ia tahan lagi.

Lee, menatap Bangsawan Cho tidak mengerti.

“apa yang kau bicarakan? Kau sengaja membunuh Tuan Kim?” Lee hampir menarik pedangnya. Rasanya ia ingin menebas leher Bangsawan Cho saat ini juga. Tapi, dia segera menahan emosinya.

“sudah seharusnya aku mendapatkan hadiah atas apa yang telah kulakukan ini. Bukankah begitu Tuan Gubernur? Dan aku ingin hadiah itu adalah Putri Kim. Biarkan dia ikut dengan saya!” pinta Bangsawan Cho dengan nada yang tenang.

“sialan…” Gubernur Yun menggeram. Dia tidak dapat menerima kenyataan ini. Kejadian ini diluar prediksinya.

“lakukan apapun yang kau mau!” kata Gubernur Yun akhirnya. Kekalahan telak yang harus ia dapatkan dari seorang putra walikota. Setelah itu, ia dan rombongannya segera meninggalkan kediaman Tuan Kim.

“apa kau sadar dengan apa yang kau katakan tadi?” tanya Lee sambil menghampiri Bangsawan Cho dengan penuh emosi.

“tentu saja. itu memang kenyataannya” Bangsawan Cho menyeringai.

“kau… katakan padaku, apakah benar, kau yang telah membunuh Tuan Kim?” tanya Lee sambil meremas baju Bangsawan Cho. Pemuda itu tidak menjawab. Kembali dia memperlihatkan seringaiannya.

“bagaimana kau melakukan hal ini pada Tuan Kim padahal dia sangat mempercayaimu…” teriak Lee.

Buuuagghh

Dengan segenap kekuatannya, Lee meninju pipi Bangsawan Cho hingga terjatuh.

“apakah kau manusia? Teganya kau pada Tuan Kim” Lee kembali menarik Bangsawan Cho. Tinjunya sudah membulat sempurna. Bangsawan Cho tidak berbicara, terlihat darah di sudut bibirnya. Lee menatap wajah Bangsawan Cho dengan seksama. Tangannya yang sudah membulat, perlahan ia turunkan. Lee melepaskan pegangannya di baju Bangsawan Cho lalu mendorongnya ke tanah sambil mendengus kesal.

“jagalah Putri Kim disini. Nanti aku akan kembali kemari” kata Bangsawan Cho pelan sambil mengusap sudut bibirnya, dia berusaha bangkit.

Bangsawan Cho mengambil seekor kuda, lalu meninggalkan Istana Timur dengan menaiki kuda itu. Tadinya Lee hendak mengejar Bangsawan Cho, namun ia segera teringat pada Putri Kim. Perlahan, didekatinya Putri Kim yang tengah terduduk dengan wajah kaget.

“anda, tidak apa-apa?” Lee meremas bahu Putri Kim.

“Lee… ayah… bangsawan Cho… hiks… Lee…” Putri Kim menangis sambil meremas roknya sendiri. hatinya merasa sangat sakit mengetahui kenyataannya ini.

“menangislah. Untuk hari ini, menangislah Putri…” Lee membawa Putri Kim kedalam pelukannya. Dia membiarkan gadis itu tersedu di dadanya. Tangan kanan Lee mengusap punggung Putri Kim menyalurkan rasa tenang pada gadis itu.

Baik Lee maupun Putri Kim tidak pernah mengira bahwa hal ini akan menimpa mereka. Kesakitan yang hati mereka rasakan saat ini adalah karena orang yang sama. Bangsawan Cho. Tiba-tiba tangisan Putri Kim terhenti, dan tubuhnya melemas. Ia pingsan didalam pelukan Lee.

~o~

Putri Kim kecil tampak tengah bermain-main dihalaman belakang Istana Timur. Dia berlonjak-lonjak dengan gembira mengejar seekor kupu-kupu yang barusaja hinggap diatas bunga lili putih. Tubuhnya terlihat sangat lucu, dengan balutan hanbok berwarna kuning. Dia terus berlonjak-lonjak. Tidak ia hiraukan kata-kata ibunya yang mencemaskan dirinya.

“Putriku sayaang, hati-hati nanti jatuh” suara merdu ibunya mengingatkan. Tapi apalah yang dirasakan anak berumur enam tahun seperti dirinya. Dia terus saja melanjutkan kegiatannya sambil tertawa senang. Hingga kakinya tiba-tiba menginjak batu kerikil, dan menyebabkan ia terjatuh dengan posisi tertelungkup.

“ibuu… huwee…” Putri Kim kecil menangis sambil memanggil ibunya.

“aigoo, kamu tidak apa-apa kan sayang?” ibunya segera berlari menuju Putri Kim lalu membangunkannya dan mengusap-usap perut serta lututnya.

“ibu… sakiittt… huweee…” tangis Putri Kim pecah.

“sstt… uljima… kamu Putri yang kuat. Jadi jangan menangis ya!” ibunya membelainya dengan sayang.

Pengasuh yang berada di belakang Nyonya Kim segera mengambil kotak obat dan menyerahkan kotak tersebut pada Nyonya Kim.

Dengan telaten ibunya membersihkan luka yang ada di lutut Putri Kim.

“ibuu… sakiitt…” rengek Putri Kim.

“tenang saja, ibu akan selalu menjagamu. Ibu tidak akan membiarkanmu kesakitan” ibunya membelai rambutnya sayang. Putri Kim mengeratkan pelukannya.

~o~

“ibu…. Ayaaahh… ” bisik Putri Kim sambil menggerakkan kepalanya kearah kanan dan kiri. Keringat dingin tampak di dahi Putri Kim. Bibirnya bergetar ketika memanggil kedua orang tuanya.

Hyosun duduk disamping Putri Kim. Dia mencoba membangunkan Putri Kim, dia menepuk-nepuk pelan bahu Putri Kim. Merasa cemas jika majikannya ini bermimpi buruk.

“Putri… bangunlah… Putri…” kata Hyosun pelan. Tapi, jangankan membuka mata, Hyosun dapat merasakan tubuh Putri Kim yang bergetar.

“Putri… anda jangan menakuti saya… saya mohon bangunlah…” Hyosun terisak

“ada apa Hyosun-ah?” tanya Lee yang memasuki kamar Putri Kim dengan wajah cemas, takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada Putri Kim.

“sepertinya Putri Kim bermimpi buruk. dia tidak mau bangun. Bagaimana ini Lee?” tanya Hyosun masih terisak.

Lee segera mendekati Putri Kim, disentuhnya dahi yang berkeringat dingin itu dengan telapak tangannya.

“ambilkan handuk basah, kita harus mengompresnya agar dia tidak demam” kata Lee.

“baiklah…” angguk Hyosun sambil keluar dari kamar.

Lee duduk disamping Putri Kim sembari menggenggam telapak tangan mungil milik gadis yang sangat ia cintai itu. Wajahnya yang biasanya tampak berbinar, kini tertutup oleh awan duka, yang terlihat kini hanyalah pucat pasi seperti bulan yang kehilangan sinar redupnya. Lee mengerti bagaimana perasaan Putri Kim saat ini. Kehilangan ayahnya, dan juga pengkhianatan Bangsawan Cho padanya, pasti terasa sangat menusuk perasaan gadis tidak bersalah ini.

“anda harus bersabar Putri. Aku yakin, semua ini akan segera berakhir. Aku tidak akan membiarkan Bangsawan Cho hidup dengan tenang setelah apa yang dia perbuat pada keluarga anda. Anda harus bangun untuk melihat bagaimana aku bisa membuat kehidupannya hancur. Bangunlah Putri… bangun…” bisik Lee sambil meremas telapak tangan mungil itu.

Hyosun datang sambil membawa baskom yang terisi air dan juga selembar handuk kecil. Pelayan itu segera membasahi handuk lalu menyerahkannya ke tangan Lee. Tentu saja, karena saat ini posisi Lee yang lebih dekat pada Putri Kim, sehingga Hyosun meminta Lee untuk mengompres dahi Putri Kim. Dengan lembut, Lee mengusapkan handuk basah itu di kening Putri Kim. Gadis yang terbaring itu mulai menggelengkan kepala dengan pelan sambil bergumam tidak jelas. Perasaan Lee sangat sedih melihat keadaan Putri Kim yang seperti ini. Dia menaruh handuk kecil itu di kening Putri Kim, lalu beranjak dari duduknya.

“kau mau kemana Lee?” tanya Hyosun sambil mendongakkan kepala.

“aku akan meminta tabib Gon membuatkan obat untuk Putri Kim. Jagalah dia dengan baik disini” perintah Lee yang dibalas anggukan Hyosun.

~o~

Bangsawan Cho kembali ke kediamannya dengan perasaan remuk redam. Dia sangat tahu bagaimana ia telah menghancurkan perasaan Putri Kim saat ini. Dia sangat tahu, kepercayaan yang selama ini ia tanamkan di hati Putri Kim telah hilang tak berbekas. Seharian dia hanya mengurung diri dalam kamarnya, tidak berniat untuk menjumpai siapapun, walaupun itu orang tuanya sendiri. Pria tampan itu duduk di sudut kamarnya, membulatkan tinjunya dengan perasaan geram.

“maafkan aku Putri Kim, aku terpaksa melakukan ini” bisik Bangsawan Cho penuh penyesalan.

~o~

Hyosun dan Lee duduk didalam kamar Putri Kim. Mereka menunggui putri Tuan Kim itu dengan sabar. Asap masih mengepul dari cawan yang berada diatas meja, berisi ramuan dari Tabib Gon untuk Putri Kim. Kesunyian meliputi kamar itu, hanya terdengar desahan nafas teratur dari tiga orang di dalamnya. Senja baru saja tiba, warna ungu gelap menyelimuti langit Istana Timur. Kedua orang itu masih tetap pada posisi mereka, dengan mata yang menatap satu objek yang sama, wajah pucat Putri Kim.

“apakah Putri akan baik-baik saja?” tanya Hyosun cemas.

“tentu saja. dia bukanlah orang yang lemah, aku yakin dia pasti bisa melewati semua ini” jawab Lee pelan.

“uhuk… uhuk…” terdengar suara Putri Kim terbatuk, matanya masih terpejam dan tubuhnya tetap berbaring lemah di tempat tidurnya.

Hyosun segera mendekati Putri Kim, begitupun dengan Lee, hanya saja dia agak menjaga jarak dari kedua gadis itu.

“Putri Kim…” bisik Hyosun.

Putri Kim mulai membuka kelopak mata. Penglihatannya agak kabur, akibat dari sinar lampu yang agak redup yang ada didalam kamarnya. Putri Kim melirik Hyosun yang tepat disebelah kanannya.

“Putri Kim… anda sudah siuman” kata Hyosun sambil tersenyum cemas.

“Hyosun-ah…” bisik Putri Kim agak gemetar, tatapan matanya menelisik dimana tempatnya berada kini, setelah ia menyadari bahwa dia berada didalam kamarnya sendiri, Putri Kim memejamkan matanya sambil menarik nafas dengan berat.

“anda baik-baik saja Putri?” kembali Hyosun bertanya, kali ini hanyalah anggukan kecil yang diperlihatkan oleh Putri Kim.

“tolong, bantu aku untuk duduk!” pinta Putri Kim, sepertinya dia belum menyadari kehadiran Lee disana.

“baik Putri” tangan kiri Hyosun menahan bahu Putri Kim, dan tangan kanannya menarik lengan Putri Kim, sehingga saat ini Putri Kim dapat duduk dengan baik.

“kau ada disini Lee…” tanya Putri Kim dengan suara parau.

“iya, Putri” angguk Lee hormat.

“bagaimana… dengan… ayah?” tanya Putri Kim menahan kesedihannya. Bibir pucatnya agak gemetar ketika mengucapkan kata “ayah”.

“aku dan para pelayan telah menguburkan jasad beliau. Maaf tidak menunggu anda siuman Putri” jawab Lee kembali menundukkan kepala.

Putri Kim menarik sudut bibirnya sehingga tercipta senyuman kecil di wajahnya yang sendu.

“gwencanha…  memang sebaiknya aku tidak melihat proses penguburannya. Mungkin akan terasa sangat sulit untukku” Putri Kim mencoba menegarkan hatinya, sangat sakit perasaannya saat ini, tapi dirinya harus bertahan, dia tidak ingin terlihat lemah.

“anda harus bertahan, aku tidak akan pernah membiarkan orang yang tega mengkhianati Tuan Kim, hidup tenang. Aku akan membalas atas apa yang telah ia lakukan pada keluarga anda. Aku berjanji Putri” tekad Lee.

“terima kasih Lee. Terima kasih…  aku sangat tahu, kau tidak akan pernah mengkhianati aku ataupun ayahku. Terima kasih…” Putri Kim menundukkan kepala, airmata yang coba ia tahan sejak tadi, kini tumpah membasahi kedua pipinya yang tirus. Saat ini, dia hanya memiliki Lee, orang yang bisa ia percayai. Dia tidak sendirian, masih ada seseorang yang bisa ia jadikan tempat untuk bergantung. Lee Sungmin. Dialah orangnya.

~o~

Malam beranjak naik. Hyosun berada didalam kamar, menemani Putri Kim yang telah terlelap tidur. Ramuan dari Tabib Gon, membantunya untuk beristirahat dengan baik. Lee menyandarkan dirinya pada tiang di depan kamar Putri Kim. Dia tidak bisa pergi jauh dari tempat ini. Bagi Lee, keselamatan Putri Kim saat ini adalah hal yang sangat utama. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Putri Kim ketika dia tidak ada disana.

Dari bawah pohon, terdengar suara langkah kaki mendekati tangga. Lee bersiaga sambil memegangi sarung pedang yang ada di pinggangnya. Dia berkonsetrasi pada langkah kaki yang mulai mendekati dirinya itu.

“bagaimana keadaan Putri Kim sekarang?” mendengar suara itu, Lee segera membuka mata. Tanpa segan, dia menarik pedang yang berada di ikat pinggangnya itu. Rasanya ingin sekali Lee memenggal orang ini. Orang yang tanpa perasaan sedikitpun menghilangkan nyawa orang yang sangat Lee hormati dan sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Orang yang dengan beraninya menyakiti hati gadis yang ia cintai.

“masih berani kau menyebut nama Putri Kim?” Lee balik bertanya dengan tatapan geram.

~o~

Putri Kim membuka kelopak matanya perlahan. di sudut kamar dapat ia lihat Hyosun yang terbaring tidak nyaman. Keadaan tubuhnya kini sudah tidak terlalu lemah seperti tadi. Ia sangat berterima kasih pada tabib keluarganya, Tabib Gon, dia adalah seorang laki-laki tua yang sangat pandai meramu dan meracik tumbuhan menjadi obat yang sangat mujarab.

Putri Kim terduduk ditempatnya. Matanya menatap bunga pemberian dari Bangsawan Cho yang berada diatas meja. Sinar matanya berkilat ketika menatapi bunga-bunga yang tidak bersalah itu. Suara Bangsawan Cho kembali terngiang jelas di telinganya.

“mungkin saat ini kau merasa terpaksa untuk menerimaku, tapi aku pastikan, suatu hari nanti, hatimulah yang akan membawamu padaku”

Sebait kalimat itu ia kenang dengan sangat baik, ketika Bangasawan Cho mengatakan perasaannya di taman bunga kemarin. Airmata Putri Kim menetes perlahan. Bayangan indah taman bunga itu segera beralih pada kejadian tadi pagi ketika pria itu berkata di depan Gubernur Yun dengan sangat jelas.

“aku… aku adalah orang yang telah membunuh Tuan Kim. Dengan kata lain, aku yang telah membunuh seorang penjahat negara ini dengan tanganku sendiri”

Perkataan yang telah sangat menghancurkan hatinya. Dengan kejam Bangsawan Cho menyebut ayahnya sebagai seorang penjahat negara. Bagaimana mungkin dia mengatakan hal seperti ini. Ketika ia tahu bahwa ayahnya sangat mempercayai Bangsawan Cho, tapi orang yang ayahnya percayai tega menusuknya dari belakang, tega membunuhnya.

Putri Kim, tidak bersalah apapun. Dia tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya. Jadi aku telah meminta ijin untuk menjadikan Putri Kim sebagai budak di kediamanku

Menjadikannya budak? Tega sekali dia berkata seperti itu. Ketika kemarin dia mengatakan sangat mencintainya. Tapi kenapa hari ini penuturannya berbeda 180 derajat. Putri Kim meremas dadanya yang terasa sakit.

“kau sangat kejam Bangsawan Cho. Kau terlalu kejam padaku. Apa kesalahanku hingga kau melakukan hal ini padaku?” tanya Putri Kim pelan sambil menutup bibirnya mencegah agar suara isakan tangisnya tidak terdengar hingga keluar.

To Be Continue

 
43 Komentar

Ditulis oleh pada November 24, 2013 inci (FF) Moonlight Melody, Fanfiction

 

Tag: , , , , , ,

Moonlight Melody Chap 4

moonlight melody yuhuu1

 Moonlight Melody

Cast    : Ryeowook, Sungmin, Kyuhyun

Rated : T

Genre : Romance, Angst, Drama, Action (GS)

Disclaimer : ff ini hasil dari imajinasi saya, semuanya hanya fiktif dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.

*selamat membaca*

~o~

Tuan Kim mengajak putrinya berjalan-jalan di selasar Istana Timur. Menikmati sejuknya udara pagi di sekitar istana.

“Bagaimana tidurmu semalam? Apakah nyenyak?” tanya Tuan Kim pada putrinya yang berjalan pelan disampingnya.

“tentu saja Ayah. Aku tidur nyenyak dan bermimpi indah” Putri Kim menjawab sambil tersenyum. “bagaimana dengan Ayah? Sepertinya kesehatan Ayah akhir-akhir ini tidak begitu baik” selidik Putri Kim.

“apa maksudmu? Tentu saja Ayah baik-baik saja” kata Tuan Kim menghentikan langkahnya sambil menatap putri kesayangannya itu.

“maafkan aku Ayah, aku tidak bermaksud menyinggung Ayah. Tapi aku sering mendengar Ayah terbatuk di kamar, selain itu, kata pelayan, Ayah sering tidak menghabiskan makanan. Ada apa?” tanya Putri Kim cemas.

“hahaha, tenang saja. Akhir-akhir ini, ayah hanya tidak terlalu berselera makan. Kau ini, sangat memperhatikan keadaan ayah” Tuan Kim terkekeh sambil mengelus kepala Putri Kim.

“tentu saja Ayah. Aku tidak ingin melihat Ayah sakit” Putri Kim menundukkan kepalanya.

“hahaha, Ayah mengerti” Tuan Kim menganggukan kepalanya. “emmh… Putriku, Ayah harap, kamu dapat menerima perjodohanmu dengan Bangsawan Cho” kata Tuan Kim menatap wajah putrinya. Hanya helaan nafas yang terdengar, sepertinya Putri Kim enggan untuk membicarakan hal ini. Wajah cantiknya hanya menatap pemandangan di depannya.

“ayah tahu, bagaimana perasaanmu pada Lee. Tapi, kamu harus ingat ada sesuatu yang membuat kalian tidak bisa bersama” Tuan Kim melanjutkan. “menurut Ayah, Bangsawan Cho adalah orang yang baik, mandiri, dan patuh pada orang tua. Selain itu, dia juga memiliki ketertarikan pada bidang bisnis. Dan Ayah pikir, tidak ada salahnya menyerahkan bisnis ayah padanya” kata Tuan Kim mantap.

Putri Kim menatap wajah ayahnya dengan serius.

“apakah Ayah begitu mempercayai Bangsawan Cho? Sehingga dapat dengan mudah mengatakan akan menyerahkan bisnis ayah padanya?” tanya Putri Kim tidak mengerti.

“iya. Ayah sangat percaya. Dia tidak seperti kebanyakan pemuda biasanya. Dia orang yang bertanggung jawab. Percayalah pada ayah!” Tuan Kim menggenggam erat tangan putrinya.

“Ayah jangan khawatir, aku akan mencoba untuk menerimanya. Aku tahu, Ayah pasti akan memberikan yang terbaik untuk hidupku. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan itu. Tenang saja Ayah, lama-kelamaan, perasaanku untuk Lee akan menghilang dengan sendirinya.. Ayah tidak perlu cemas akan hal itu” lirih Putri Kim mencoba menegarkan hatinya.

“terima kasih banyak anakku, kamu memang putri yang bisa Ayah banggakan” kata Tuan Kim bersemangat. “kalau begitu, ayah akan pergi dulu ke kantor pemerintahan. Ada yang harus ayah selesaikan hari ini. Baik-baiklah disini” pesan Tuan Kim.

“baiklah ayah” angguk Putri Kim.

Setelah itu, Tuan Kim berjalan meninggalkan putrinya disana. Tampak sebuah tandu berada tidak jauh dari sana. Putri Kim menatap punggung ayahnya yang semakin lama semakin menjauh menuju tandu itu. Hatinya merasakan desiran aneh.

“ayaah…” bisik Putri Kim.

Masih termenung di depan perpustakaan istana, Putri Kim tidak menyadari kehadiran seseorang disana. Tiba-tiba setangkai mawar merah muncul dari arah belakangnya yang membuat Putri Kim terlonjak kaget.

Ketika ia membalikkan badan, dapat gadis itu lihat Bangsawan Cho yang mengulurkan bunga itu di depan wajah Putri Kim.

“… bangsawan Cho…” Putri Kim menundukkan kepala.

“kenapa? kau kaget? Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu” Bangsawan Cho tersenyum kaku.

“tidak apa-apa. itu… salahku karena tidak menyadari kedatanganmu” Putri Kim mencoba menarik bibirnya agar ia mau tersenyum.

“euumh… ini” Bangsawan Cho kembali mengulurkan mawar itu. “terimalah!” pinta Bangsawan Cho.

Dengan agak ragu, Putri Kim mengambil tangkai mawar dari tangan Bangsawan Cho.

“terima kasih sudah bersedia menerima ajakanku. Umm, aku sudah menyiapkan sesuatu disana” kata Bangsawan Cho.

“ini… bukan apa-apa” Putri Kim menundukkan kepalanya.

“aah, sebaiknya kita pergi sekarang. Aku sudah meminta Lee untuk menyiapkan kuda untukmu” ajak Bangsawan Cho.

“apakah… tidak sebaiknya kita berjalan kaki saja?” tanya Putri Kim sambil menatap mata Bangsawan Cho.

“tentu saja tidak. Aku tidak ingin membuatmu kelelahan. Ayo!”

Bangsawan Cho melangkahkan kakinya. Tapi Putri Kim masih terdiam di tempatnya tadi. Pemuda itupun menghentikan langkah kakinya lalu menatap Putri Kim dengan tatapan tanda tanya.

“apakah… Lee… akan ikut juga?” tanya Putri Kim.

“aah itu” belum sempat Bangsawan Cho menjawab, Lee sudah berjalan menuju kearah mereka berdua sambil tangannya memegang tali kekang kuda.

“tenang saja, aku tidak akan mengganggu kalian…” kata Lee tersenyum ramah, seolah luka hatinya telah sembuh. Tangannya dengan lembut menepuk-nepuk kepala kuda yang kulitnya berwarna coklat tua, sedangkan surainya berwarna coklat madu.

Putri Kim tidak lantas naik keatas kuda itu, dia menatap mata Lee dalam.

“ekhm, baiklah Putri Kim, silahkan kau naik keatas kudamu” kata Bangsawan Cho sambil berdehem, tangannya ia ulurkan untuk membantu Putri Kim menaiki kuda itu.

Putri Kim menerima uluran tangan Bangsawan Cho, lalu dengan perlahan naik keatas kuda.

“chaa~ baiklah, kita berangkat sekarang” kata Bangsawan Cho meminta tali kekang yang dipegang oleh Lee.

“berhati-hatilah di jalan” pesan Lee.

“tentu saja” jawab Bangsawan Cho.

Bangsawan Cho berjalan sambil menarik kuda itu keluar, menapaki jalan menuju taman luar istana. Lee menatap mereka yang semakin menjauh dari dirinya. Kemudian ia mengambil jalan lain untuk mengawasi kemana Bangsawan Cho dan Putri Kim pergi. Dia tidak bisa membiarkan Putri Kim berkeliaran tanpa pengawasannya. Ia ingat bagaimana janjinya pada Tuan Kim untuk senantiasa melindungi putrinya itu.

Perjalanan Putri Kim dan Bangsawan Cho hanya ditemani oleh suara gemericik air dari sungai di samping kanan mereka, dan suara langkah kaki kuda yang terdengar jelas. Bangsawan Cho berjalan dengan langkah yang pelan, dengan tenang ia memegangi tali kekang kuda itu. Rasanya sangat menyenangkan bisa bersama dengan Putri Kim seperti saat ini. Walaupun tidak ada pembicaraan diantara mereka, tapi berada di sisinya saja itu sudah cukup membahagiakan hati Bangsawan Cho. Sesekali Putri Kim melirik Bangsawan Cho. Tangan kanannya memegang bunga mawar yang diberikan Bangsawan Cho tadi. Dia menatapnya dengan penuh arti. Hatinya berdesir senang, tapi tidak ia pungkiri bagaimana sisi hatinya yang lain merasakan sakit.

Tak terasa perjalan mereka tiba di tempat tujuan. Taman yang sama yang pernah Putri Kim kunjungi bersama Lee tempo hari. Bunga-bunga bermekaran dengan indah, karena saat ini sudah memasuki musim semi. Putri Kim menatap takjub pada pemandangan di depan matanya. Tak terasa bibirnya melengkungkan senyum yang manis.

“Turunlah. Kita sudah sampai” kata Bangsawan Cho.

“Ne” angguk Putri Kim sambil memegang tangan Bangsawan Cho yang terulur.

“bagaimana? Tempatnya sangat indah kan?” tanya Bangsawan Cho.

“iya, tempat ini adalah tempat terindah yang pernah aku lihat. Terima kasih sudah mengajakku kemari” kata Putri Kim dengan suara yang riang.

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak, menikmati indahnya bunga-bunga yang sengaja ditanam disana. Azalea, mawar, Lili, Lavender dan bunga lainnya tampak bermekaran indah. Selain itu, bunga-bunga liar yang tumbuh disana pun memberi keindahan tersendiri disana. Kupu-kupu kecilpun seolah tidak ingin kehilangan andil dalam memperindah taman itu. Putri Kim tampak tersenyum senang. Dia mendatangi bunga-bunga itu satu persatu. Menciumi aroma yang berbeda dari setiap bunga yang ia pegang. Rasanya beban hidupnya yang akhir-akhir ini terasa berat, seolah menghilang begitu saja ketika ia menikmati aroma bunga-bunga itu.

“terima kasih… tempat ini … benar-benar sangat menyenangkan” Putri Kim berkata dengan wajah yang berseri.

Bangsawan Cho hanya menganggukan kepala. Ketika melihat senyum dari orang yang dicintainya telah kembali, hatinya turut merasakan bahagia.

“apa kau senang?” tanya Bangsawan Cho sambil berjongkok, mengikuti Putri Kim yang tengah mengusap-usap kuntum mawar putih yang mekar dengan indah.

“tentu saja. rasanya sangat tenang berada disini. Semua beban yang kurasakan semuanya hilang” terang Putri Kim.

“ayo! aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu” kata Bangsawan Cho sambil menarik tangan Putri Kim. Gadis itu mengikuti langkah Bangsawan Cho sambil matanya memperhatikan tangan yang saat ini tengah menggenggamnya.

Mereka tiba di ujung taman. Dari sini, keseluruhan taman terlihat dengan sangat jelas. Berkali-kali Putri Kim merasa takjub, dia tidak mengira bahwa tempat ini sangat indah, apalagi ketika musim semi tiba seperti saat ini.

Berbeda dengan perasaan Bangsawan Cho. Dia merasa bahagia, karena bisa melihat senyuman Putri Kim. Wajahnya yang berseri yang jarang ia lihat belakangan ini, kini telah kembali. Tatapan mata yang berseri ketika melihat sebuah objek di depannya. Hari ini hanya kebahagiaan yang mereka rasakan. Ya, mereka berdua mungkin merasakan kegembiraan kecuali dengan seorang pemuda disana. Pemuda yang sejak tadi berada di lereng bukit. Pemuda yang mengikuti kemanapun Putri Kim pergi. Ingin hatinya merasakan juga kebahagiaan yang dirasakan oleh Putri Kim. Namun, apa daya, hatinya tidak sekuat batu karang, hatinya tetaplah seonggok daging yang bisa merasakan sakit. Bahkan melihat senyum Putri Kim saat ini, hatinya terasa ngilu.

“apa yang sudah kau siapkan itu?” tanya Putri Kim sambil menatap wajah Bangsawan Cho. Pemuda itu berjalan ke arah semak, lalu mengambil sesuatu dari sana.

“chaaa~ inilah yang ingin kuberikan padamu” kata Bangsawan Cho sambil memperlihatkan seikat bunga ditangannya. Bunga yang terdiri dari bunga perdu liar, lavender dan crisant yang tersusun dengan rapi.

“apa itu?” tanya Putri Kim, jantungnya tiba-tiba berdebar tidak karuan.

“ini adalah perasaan yang sedang kurasakan saat ini. Senang, gembira, gugup, bercampur menjadi satu… Dan bunga ini, mewakili hatiku” terang Bangsawan Cho sambil tersenyum. Seikat bunga itu, masih ia pegang di tangannya.

Sedikit demi sedikit, perasaan Putri Kim menjadi gugup. Entah perasaan apa yang merasuki hatinya saat ini. Hanya seperti yang dikatakan Bangsawan Cho, hatinya pun merasakan demikian. Dia membiarkan Bangsawan Cho melanjutkan kata-katanya.

“apakah bunga-bunga ini indah?” tanya Bangsawan Cho, yang dibalas anggukan kepala dari putri Kim.

“iya seperti itulah. Walaupun semua perasaanku bercampur baur, tapi semua bermuara pada satu perasaan yang indah. Cinta. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setiap melihat wajahmu, hatiku selalu berontak untuk segera mengatakan semua yang kurasakan padamu. Apalagi ketika aku melihat senyummu, rasanya aku ingin meraih bulan dengan tanganku sendiri” Bangsawan Cho tersenyum ketika melihat wajah Putri Kim yang merah merona. Tangan kanan gadis itu memainkan tangkai mawar yang ia berikan tadi. Mungkin untuk mengalihkan kegugupannya.

“aku tahu tidak mudah bagimu menerimaku. Aku tahu, bagaimana seseorang itu telah menempati hatimu yang paling dalam. Tapi setidaknya ijinkanlah aku masuk. perlahan-lahan, ijinkanlah aku untuk mencintaimu Putri Kim” kata Bangsawan Cho lugas sambil menatap mata Putri Kim lekat.

Gadis itu mendongakkan kepala. Walaupun agak canggung, tapi ia memberanikan diri menatap mata Bangsawan Cho. Dapat ia rasakan ketulusan dari sorot mata pemuda itu. Dan kata-kata yang ia ucapkan bukanlah bualan semata. Gadis itu menyadari betapa pemuda dihadapannya ini sangat mencintai dirinya. Putri Kim kembali merasakan suatu desiran aneh dihatinya. Desiran keyakinan yang meminta hatinya mempercayai semua ungkapan yang diutarakan Bangsawan Cho. Perlahan, Putri Kim menganggukan kepalanya. Dia akan mencoba meyakini hatinya mulai saat ini.

Bangsawan Cho mencoba mengartikan anggukan Putri Kim.

“apakah kau bersedia menerimaku Putri Kim?” tanya Bangsawan Cho sungguh-sungguh.

“iya, aku akan menerima perasaanmu dengan sepenuh hatiku. Seperti yang kau katakan tadi, walaupun akan terasa sulit, tapi aku akan mencoba mempercayai apa yang hatiku katakan tentangmu. Aku akan belajar, bagaimana cara mencintaimu, bagaimana cara untuk membuatmu bahagia. Itulah yang hatiku katakan. Bantulah aku, agar aku bisa seperti yang kau inginkan” kata Putri Kim yakin.

“benarkah apa yang kau katakan itu?” Bangsawan Cho terkejut dengan perkataan Putri Kim. Nafasnya seolah terhenti mendengar penuturan Putri Kim barusan.

“tentu saja. Itu adalah perasaan hatiku sekarang. Mulai saat ini, aku akan menerimamu dalam kehidupanku. Aku akan memberikan tempat khusus dihatiku, untukmu” Putri Kim menundukkan kepalanya. Wajahnya terasa sangat panas.

“benarkah ini? Haaah, aku masih tidak percaya” Bangsawan Cho tampak kebingungan, apa yang harus ia lakukan saat ini. Dia tampak salah tingkah di hadapan Putri Kim. Bahkan bunga yang terikat itu masih menempel di tangannya.

Putri Kim hanya tersenyum melihat tingkah Bangsawan Cho. Ternyata walaupun dia terlihat gagah, tapi ada saat, dimana dia terlihat sangat lucu. Seperti sekarang ini.

“apakah kau baik-baik saja?” tanya Putri Kim.

Mendengar pertanyaan Putri Kim, Bangsawan Cho mencoba mengatur nafasnya. Menjernihkan kembali kegembiraan hatinya.

“terima kasih Putri Kim. Terima kasih karena kau mau memberiku kesempatan ini” kata Bangsawan Cho dengan wajah yang tenang dan senyuman yang terukir di bibirnya.

Putri Kim tidak menjawab, dia hanya menganggukan kepalanya saja.

“aah, kalau begitu, terimalah bunga ini” Bangsawan Cho mengulurkan ikatan bunga itu dengan tangan kanannya. Tapi, dia sengaja mengulurkan bunga itu, tepat di samping telinga kiri Putri Kim. Gadis itupun merasa heran pada Bangsawan Cho. Keheranannya segera terjawab ketika Bangsawan Cho mulai menundukkan kepalanya. Putri Kim agak memundurkan tubuhnya, tapi dengan cepat tangan kiri Bangsawan Cho meraih lengan kanan Putri Kim agar tetap di tempatnya. Nafas Putri Kim tercekat dan matanya menatap kaget pada wajah Bangsawan Cho yang sudah berada sangat bahkan hampir bersentuhan dengan wajahnya. Dengan lembut, Bangsawan Cho menempelkan bibirnya di bibir mungil Putri Kim, lalu meraupnya pelan. Putri Kim benar-benar menahan  nafasnya ketika merasakan lidah Bangsawan Cho melumat bibirnya. Tangan Putri Kim yang gemetar hanya bisa memegangi tangkai mawar merah yang sejak tadi menemaninya itu dengan erat.

Dari jauh Lee dapat melihat apa yang mereka lakukan. Walaupun wajah Putri Kim terhalangi oleh ikatan bunga yang sengaja ditaruh disamping telinga oleh Bangsawan Cho, tapi ia dapat dengan jelas membayangkan apa yang terjadi disana. Lee memejamkan mata lalu bersembunyi di balik pohon maple yang ada disana. Hatinya teriris, perih. Wajar ia merasakan kesakitan itu. Dia hanyalah laki-laki biasa.

Bangsawan Cho tersenyum melihat wajah Putri Kim yang benar-benar berwarna merah padam.

“maafkan aku, mungkin ini terlalu cepat bagi kita. Tapi… bukankah upacara pernikahan hanya tinggal menunggu waktu, jadi…” Bangsawan Cho hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya.

“arraseo” jawab Putri Kim pelan.

“mungkin saat ini kau merasa terpaksa untuk menerimaku, tapi aku pastikan, suatu hari nanti, hatimulah yang akan membawamu padaku” yakin Bangsawan Cho sambil menyerahkan ikatan bunga itu ke tangan Putri Kim.

~o~

Tuan Kim telah tiba di kantor pemerintahan. Segera dia menuju ruangan Gubernur Yun.

“hahaha… bagus sekali kau tiba lebih awal disini. Tadinya aku yang akan mengunjungimu kesana” kata Gubernur Yun sambil terkekeh.

“anda tidak perlu repot-repot datang ketempat saya, kalau ada apa-apa saya pasti akan dengan segera mengunjungi anda disini” kata Tuan Kim sopan. Hatinya sedikit tidak tenang, karena mendengar selentingan kabar yang menyebutkan bahwa Gubernur Yun hendak menikahi putrinya.

“bagaimana dengan bisnismu dengan saudagar Cina itu. Apakah berjalan baik?” tanya Gubernur Yun sambil menuangkan teh kedalam cangkir.

“tentu saja Tuan, bisnis saya saat ini berjalan dengan lancar” angguk Tuan Kim.

“begitu…” Gubernur Yun mengangguk-anggukkan kepala. “barang apa saja yang kau jual-belikan dengan mereka?” selidik Gubernur Yun.

“sutera, terkadang rempah untuk obat-obatan, Tuan” jawab Tuan Kim.

“benarkah? Tapi apa kau tahu bahwa saudagar-saudagar Cina itu menjual candu?” Gubernur Yun agak mencondongkan tubuhnya kedepan.

“iya, saya pernah mendengar hal itu, tapi… saya tidak pernah sekalipun menjual barang-barang seperti itu” kata Tuan Kim, perasaannya sudah kalut saat ini.

“aku berharap bahwa semua perkataanmu memang benar. Kau tahu apa hukuman bagi orang yang menjual candu?” Gubernur Yun menatap Tuan Kim dengan tatapan liciknya.

“hukuman mati Tuan” jawab Tuan Kim pelan.

“iya hukuman mati bagi orang yang tertangkap tangan menjual candu-candu itu. Dan keluarganya harus dibuang di Pulau tak berpenghuni” kembali Gubernur Yun menatap licik Tuan Kim.

“iya Tuan, saya tahu akan hal itu” Tuan Kim menundukkan kepalanya.

“tapi aku juga mendengar kabar dari orangku, bahwa kau terlibat dengan bisnis candu ini. Makanya aku memanggilmu kemari untuk memastikannya” kata Gubernur Yun serius.

“apa maksud Tuan?” tanya Tuan Kim tidak mengerti.

“ada kabar yang mengatakan bahwa kau menjual candu pada pejabat di pusat kota. Apakah itu benar?” tanya Gubernur Yun dengan wajah yang kesal.

“itu tidak benar Tuan. Saya, tidak pernah sekalipun menjual barang haram itu, apalagi pada para pejabat. Saya berani bersumpah bahwa itu hanyalah fitnah semata” kata Tuan Kim membela diri.

“kau bisa mengatakan itu, tapi bagaimana jika aku bisa membawa bukti bahwa kau memang terlibat dalam bisnis candu dengan saudagar Cina?” Gubernur Yun dengan suara yang tenang.

“Tuan Gubernur???” suara Tuan Kim terdengar bergetar. Ia mengerti, bahwa kali ini dia tidak bisa lagi menghindar dari jebakan Gubernur Yun.

~o~

Walikota Cho dan Putranya sudah menunggu kepulangan Tuan Kim. Mereka berdua segera berpamitan untuk pulang, dan akan kembali satu hari sebelum upacara pernikahan Putri Kim dan Bangsawan Cho. Tuan Cho melihat raut wajah temannya yang begitu muram, seolah ada beban berat yang tengah ia rasakan.

“apa kau tidak apa-apa? sepertinya hari ini kau kurang sehat” kata Walikota Cho sebelum menaiki tandunya.

“aku baik-baik saja. segeralah kemari, jika waktunya sudah tiba” angguk Tuan Kim mempersilahkan temannya untuk masuk kedalam tandu.

“tidurlah yang nyenyak. Aku lihat, menantuku sangat mencemaskanmu” kata Walikota Cho sambil melirik Putri Kim yang berdiri disamping ayahnya. Mendengar kata “menantu” Putri Kim menundukkan kepalanya.

“hahaha… tentu saja. kalian berdua tenanglah. Aku pasti akan sehat-sehat saja hingga hari pernikahan putriku tiba. Hahaha” kata Tuan Kim mencoba untuk tertawa.

“baguslah kalau begitu. Kami pamit dulu” Walikota Cho masuk kedalam tandu.

Sebelum masuk, Bangsawan Cho membungkukan badan pada orang yang sebentar lagi akan menjadi mertuanya itu.

“saya pamit pulang Tuan, mohon jaga kesehatan anda” pamit Bangsawan Cho.

“iya… arraseo… berhati-hatilah di jalan” kata Tuan Kim sambil menepuk-nepuk bahu Bangsawan Cho.

“Putri Kim, sampai bertemu di upacara pernikahan” kata Bangsawan Cho sambil menatap Putri Kim yang tersenyum malu.

Bangsawan Cho menatap Lee sekilas, mereka berdua saling menundukkan kepala sebagai salam perpisahan.

Tuan Kim, Putri Kim dan Lee menatap kepergian dua tandu itu.

“haah, jika ada yang pergi, maka tempat ini terasa sepi kembali” bisik Tuan Kim pelan.

“iya ayah. Rasanya sangat berbeda ketika mereka ada disini dan ketika mereka telah pergi” Putri Kim menyahuti perkataan ayahnya.

~o~

Duduk menyendiri didalam kamarnya adalah hal yang saat ini tengah dilakukan oleh Putri Kim. Malam sudah beranjak larut, namun matanya sedikitpun tidak bisa terpejam. Walaupun tubuhnya terasa lelah, tapi matanya tidak merasa ngatuk. Dia duduk di depan meja kecilnya. Menatap seikat bunga yang ia masukan kedalam vas yang terisi air agar bunga itu selalu segar. Putri Kim tersenyum menatap aneka bunga itu. Dia mengeratkan pelukan pada kakinya yang tertekuk, menahan hawa dingin yang mulai ia rasakan. Sayup-sayup dapat ia dengar suara derap kaki Lee yang tengah berlatih pedang di halaman belakang yang tidak jauh dari kamarnya.

Ingatan Putri Kim kembali pada kejadian tadi siang di taman luar istana. Jemarinya dengan sendirinya menyentuh bibirnya yang tadi mendapat ciuman dari Bangsawan Cho. Jantungnya kembali berdebar cepat dan wajahnya terasa memanas. Putri Kim mengakui bahwa Bangsawan Cho adalah laki-laki pertama yang menyentuh bibirnya. Selama ini memang ia dekat dengan Lee, namun, jangankan untuk  berciuman, memegang tangannyapun Lee tidak akan pernah berani. Putri Kim merasakan perasaannya yang berbunga-bunga ketika Bangsawan Cho mengungkapkan isi hatinya. Ini adalah kali pertama untuk Putri Kim merasakan kebahagiaan unik ini. Walaupun dia mengakui bahwa ia juga pernah merasakan bahagia seperti ini pada Lee, tapi kali ini perasaannya berbeda. perasaannya pada Bangsawan Cho, adalah perasaan yang berbeda.

“apakah… ini yang dinamakan cinta? … jantung yang berdebar… dan… oh Tuhan…” Putri Kim menangkupkan telapak tangannya di wajahnya yang benar-benar terasa panas.

“aah, apa yang aku pikirkan? Sebaiknya aku tidur saja, ini sudah larut malam” Putri Kim segera merebahkan tubuhnya diatas kasur. Lalu memejamkan mata, walaupun tidak ada kantuk yang ia rasakan. Berharap esok pagi, jantungnya sudah berdetak dengan normal kembali.

~o~

Matahari masih belum keluar dari tempat peraduannya. Bahkan ayampun masih tertidur tanda pagi yang masih terlalu dini. Tapi suasana alam yang sunyi dan sepi harus dipecahkan oleh teriakan pelayan di kediaman Tuan Kim. Para pelayan tampak mengelilingi seseorang yang berdiri dengan pedang yang berlumuran darah segar. Dan dihadapannya tergolek seorang pria tua dengan darah yang terus keluar dari perutnya. Nyawanya telah hilang beberapa saat yang lalu.

“Tuaannn… hiks… Tuaaaannn….” raung para pelayan yang melingkar di tempat itu. Mereka berlutut sambil menangisi jasad yang ada dihadapan mereka.

Putri Kim berjalan pelan menghampiri para pelayan. Dengan langkah yang lemas, ia melihat Tuan Kim yang sudah terbujur kaku disana.

“a-ayah…” bisik Putri Kim pelan.

Nafasnya tercekat melihat siapa yang berdiri disamping ayahnya.

“Bangsawan… Cho…” bisik Putri Kim lemah.

To Be Continue

 *hahaha sengaja nggak ku protek. mengharap reader yang baik meninggalkan komentarnya setelah membaca ff ini. ayolaah, kan adil, kalian baca ceritanya, dan saya baca komentar kalian. okeh. :)*

*gomawo*

🙂

 
37 Komentar

Ditulis oleh pada November 3, 2013 inci (FF) Moonlight Melody, Fanfiction

 

Tag: , , , , ,